Seharusnya Alira sudah sampai di rumah. Mengingat jika hari ini sekolah dipulangkan lebih awal. Namun Alira masih berada diluar untuk menemui salah satu narasumber yang tidak lain adalah seorang santri.
Alira meminta tolong salah satu teman sekelasnya yang memiliki saudara yang tinggal di pesantren. Setelah mencari jadwal yang pas, akhirnya hari ini Alira bisa menemui saudara temannya tersebut.
"Alira?"
Alira yang sedang fokus memainkan ponselnya seketika menoleh. Melihat Leo yang sudah berdiri di hadapannya.
"Lo ngapain di sini?" tanya Leo sambil melihat ke sekitar.
"Beli tahu bulat sama sotong," jawab Alira apa adanya.
Di samping Alira duduk, terlihat jelas mobil tempat dimana penjual tahu bulat dan sotong sedang menggoreng dagangannya.
"Sendirian?" Leo kembali bertanya.
Alira mengangguk. "Lo sendiri, kenapa belum pulang?"
"Habis ngisi bensin," Leo menunjuk ke arah pom bensin yang letaknya tidak jauh dari penjual tahu bulat.
"Neng, ini pesanannya sudah siap," abang penjual tahu bulat menyerahkan tiga bungkus tahu bulat dan sotong pada Alira.
"Ini uangnya ya, Bang. Makasih," Alira tersenyum lebar setelah menerima pesanannya.
"Banyak banget belinya," ucap Leo melihat tiga kantong plastik berisi tahu bulat dan sotong.
"Kuat buat habisin sendiri?"
"Bukan buat gue," kata Alira.
"Terus?"
"Buat temen," jawab Alira masih meninggalkan rasa bingung di kepala Leo.
"Mau langsung pulang?" tanya Leo.
"Mau ketemu temen dulu. Mau bahas soal novel," jawab Alira sambil memasukkan ponselnya ke dalam tas.
Sebuah ide terlintas di benak Leo. "Gue boleh ikut?"
Mendengar pertanyaan Leo membuat Alira mendongak. Melihat wajah Leo yang masih sama seperti hari-hari biasanya.
Benar juga apa yang dikatakan Gea. Leo terkesan lebih ramah saat berbicara dengan Alira. Lain halnya saat Leo sedang berbicara dengan orang lain.
"Boleh," jawab Alira singkat. "Jalan kaki nggak papa?"
"Gue ada motor," Leo menunjuk motor besar miliknya.
"Deket sini kok. Kalo pake motor malah jadi muter-muter," kata Alira mengingat jika jalan di depannya ini hanya untuk satu arah.
"Oke," Leo beralih memarkirkan motornya di dekat penjual tahu bulat dan menitipkannya pada penjual tahu bulat.
"Ayo," ajak Leo yang segera diangguki oleh Alira.
Mereka berdua berjalan bersisian melewati trotoar. Siang hari ini matahari tidak begitu terik. Tidak banyak motor yang berlalu lalang di sekitar trotoar yang dilewati Alira dan Leo.
"Temen yang mau lo temui, jumlahnya banyak?" tanya Leo.
"Cuma satu," jawab Alira. "Dia anak pesantren. Temennya di sana kan banyak, makanya gue beli jajannya juga banyak."
Seolah Alira paham dengan maksud pertanyaan Leo, ia langsung menjelaskan mengapa tahu bulat yang ia beli jumlahnya sangat banyak.
Setelah berjalan sekitar lima menit, Alira dan Leo sampai di sebuah taman yang memiliki beberapa gazebo mini. Sejenak Alira berhenti dan mengedarkan pandangannya untuk mencari seseorang yang akan ia temui.
"Mbak Alira!"
Suara yang terdengar tidak jauh dari tempat Alira berdiri membuatnya menoleh. Seorang gadis dengan balutan pakaian muslim terlihat melambaikan tangan ke arah Alira.
Tanpa menunggu lebih lama lagi, Alira mengajak Leo untuk mendekati gadis tadi. Sebelumnya Alira sudah membisikkan beberapa kata pada Leo untuk memastikan jika Leo bisa menjaga sikap saat bertemu dengan temannya.
"Assalamualaikum," sapa Alira dengan sopan.
"Waalaikumsalam. Maaf ya Mbak jadi harus jauh-jauh ke sini," kata gadis tadi yang bernama Hilda.
"Nggak papa loh. Sekalian jalan-jalan sambil nyari udara segar," jawab Alira sesekali menoleh ke arah Leo supaya cowok tersebut mau menunjukkan senyumannya.
"Oh ya, Mbak. Ini data-data yang kemarin Mbak Alira minta. Sudah diisi sama temem sekamar Hilda," Hilda menyerahkan sebuah map berisi data-data yang diminta oleh Alira.
"Sama ini, rekaman wawancara dengan pengurus dan beberapa santri putra. Semoga bisa membantu pekerjaannya Mbak Alira," ujar Hilda tersenyum ramah.
"Wahhh. Makasih banyak, Hilda. Maaf jadi merepotkan," Alira ikut tersenyum mendengarnya.
"Kalau begitu Hilda pamit dulu ya, Mbak. Sebentar lagi ada jadwal madrasah," pamit Hilda.
"Eh bentar," Alira mengambil tahu bulat dan sotong yang tadi ia beli lalu mnyerahkannya pada Hilda.
"Buat dimakan bareng-bareng sama temen. Maaf baru bisa ngasih jajan kayak gini," ujar Alira tampak menyengir.
"Masyaallah. Terimakasih banyak Mbak Alira. Amanah dari Mbak Alira, insyaallah akan saya sampaikan ke teman-teman saya," ucap Hilda tanpa meninggalkan senyum di wajahnya.
"Kalau begitu saya pamit kembali ke pesantren Mbak Alira, Mas" Hilda menunduk sambil mengarahkan kepalanya ke arah Alira dan Leo secara bergantian.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Selepas Hilda kembali ke pesantren, Alira dan Leo masih berada di gazebo. Alira terlihat membuka isi map yang diberikan Hilda sekaligus membuka laptop miliknya.
"Mau buat cerita religi?" tanya Leo melirik sekilas ke arah berkas yang sedang Alira baca.
"Iya," jawab Alira.
Wajah Alira tampak berubah-ubah setiap kali membaca jawaban dari para santri. Sambil memikirkan jalan cerita seperti apa yang akan ia buat.
"Santri putri dinikahi sama putra kyai, kayaknya bakal seru dan banyak yang suka," gumam Alira.
"Tapi … udah banyak yang buat cerita kayak gitu," imbuhnya.
"Buat yang sama-sama santri aja," celetuk Leo asal, namun justru menarik perhatian Alira.
"Jadi nggak perlu ngeluarin tokoh kyai?" tanya Alira.
"Ya tetep ada tokoh kyai, namanya juga cerita di pesantren pasti ada pengasuhnya, kan?" ujar Leo tampak diangguki Alira.
"Kalo mau kasih tokoh utamanya itu dari keluarga pengasuh, paling nggak lo butuh data soal kehidupannya mereka. Karena sekarang yang lo punya baru data dari santri, biar simpel mending buat tokoh utamanya santri semua."
Alira mengangguk paham. Merasa setuju dengan masukan dari Leo. Jika Alira mengikuti saran dari Leo, ia tidak perlu lagi meminta data dari Hilda.
"Tumben otak lo encer," ucap Alira terkekeh pelan. "Gue pikir lo cuma bisa mikir pelajaran doang."
"Ngejek nih?" tanya Leo dengan senyum miring di wajahnya.
Alira terdiam sejenak. Menatap wajah Leo yang terlihat jelas di hadapannya saat ini.
"Lo itu ganteng, Yo. Apalagi kalo pas senyum," Alira tanpa sadar memuji Leo.
Satu hal yang sangat jarang Alira lakukan. Dan sangat mustahil untuk Leo harapkan.
"Coba aja lo sering-sering senyum kayak gini. Pasti banyak cewek yang suka sama lo," kata Alira lalu kembali menatap layar laptopnya.
Leo terkekeh pelan. "Percuma kalo banyak yang suka."
"Kenapa percuma? Harusnya seneng dong kalo banyak yang suka."
"Iya seneng," sahut Leo. "Tapi lebih seneng lagi kalo yang suka sama gue itu orang yang juga gue suka."
Alira terlihat menghentikan aktivitasnya dari balik layar laptop. Merasa terpanggil secara halus. Sekilas Alira tersenyum tanpa mengalihkan wajahnya ke arah Leo.
"Ada banyak perempuan yang lebih pantas buat bersanding sama lo. But, not me."
***
02112021 (11.33 WIB)