Yogyakarta
Pesantren Darussalam
Masih di aula pesantren darussalam..
"Van tunggu, aku melu"
(Van tunggu, saya ikut), kata Oyong yang ketakutan saat berhadapan dengan Kamil dan Oyong mengetahui kalau Kamil akan memarahinya.
"Eehhh.. Oyong tunggu, arep neng endi hah, maksudmu apa ngomong kaya tadi ?"
(Eehhh.. Oyong tunggu, mau kemana hah, maksudmu apa ngomong seperti tadi ?), tanya Kamil.
"Ya apura mil, abis e ibu lan bapakmu ribut terus, sebentar-sebentar ribut, ra isin apa karo santri-santri sing ana neng kene"
(Ya maaf mil, habisnya ibu dan bapakmu ribut mulu, sebentar-sebentar ribut, tidak malu apa dengan santri-santri yang ada di sini), jawab Oyong membela dirinya sendiri.
"Oh iya bener uga ya"
(Oh iya benar juga ya), kata Kamil.
"Huh, alhamdulillah lega..", sambung Oyong yang menghela nafas.
"Eh.., tapi jangan senang dulu ya kamu, Oyong Suroyong", kata Kamil.
"Inggih mil, niku asmane kula"
(Iya mil, itu namaku), sambung Oyong lagi.
"Krungu baik-baik ya Oyong Suroyong, aku tetap ra dhemen kowe ngomong kaya tadi, apalagi nang bapak ku lan ibu ku, paham kowe, Oyong Suroyong ?"
(Dengar baik-baik ya Oyong Suroyong, saya tetap tidak suka kamu berbicara seperti tadi, apalagi pada bapak ku dan ibu ku, paham kamu, Oyong Suroyong ?), tanya Kamil lagi.
"Inggih mil"
(Iya mil), sambung Oyong.
"Ya wis lanjutkan kerja ne"
(Ya sudah lanjutkan kerjanya), kata Kamil lagi.
"Inggih mil"
(Iya mil), sambung Oyong lagi.
Keesokan harinya..
Di halaman depan pesantren darussalam..
"Leh, sudah sampai pesantren darussalam, hayuk turun", kata bu Ajeng.
"Arfani, Irfandi, turun sudah sampai di pesantren darussalam, yogyakarta", sambung pak Joko.
"Inggih pak"
(Iya pak), kata Arfan.
"Nantilah pak, bu, isih ngantuk"
(Nantilah pak, bu, masih ngantuk), sambung Irfandi.
"Fan, adikmu ya", kata pak Joko lagi.
"Iya pak, Fandi hayuk turun, kita masuk ke dalam aula, eyang kakung dan yang lain sudah menunggu", sambung Arfan.
"Aah apaan sih fan, kamu saja gih duluan nanti saya nyusul, saya masih ngantuk tau", kata Irfandi lagi.
"Iya, tapi benar ya nyusul loh", sambung Arfan lagi.
"Nggih fan, nggih, yen aku eling nggih"
(Ya fan, ya, kalau saya ingat ya), kata Irfandi lagi.
"Hem..", keluh Arfan.
Di aula pesantren darussalam..
"Oh dik Ajeng akhire awake bertemu kembali, sungguh wis ra sabar aku karep bertemu denganmu, oh dik Ajeng"
(Oh dik Ajeng akhirnya kita bertemu kembali, sungguh sudah tidak sabar aku ingin bertemu denganmu oh dik Ajeng), kata pak Sobri di dalam hati.
"Mas sobri ngapa senyum-senyum kaya kuwi ya, oh ya aku tau jawabannya mbak Ajeng pastinya, awas kowe mas, neng omah mengko tak asih hukuman, hemm, entek kowe mas karo aku"
(Mas Sobri kenapa senyum-senyum seperti itu ya, oh ya aku tau jawabannya mbak Ajeng pastinya, awas kamu mas, di rumah nanti ku kasih hukuman, hemm, habis kamu mas dengan saya), sambung bu Indri di dalam hati.
"Assalamu'alaikum", pak Joko, bu Ajeng, dan Arfan memberikan salam pada semua yang ada di aula pesantren darussalam.
"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh", semua yang ada di aula pesantren darussalam menjawab salam dari pak Joko, bu Ajeng, dan Arfan.
"Selamat datang kembali nduk, leh di pesantren darussalam, ini Arfani atau Irfandi, leh ?", tanya pak kyai Abdullah.
"Saya Arfani, eyang kakung", jawab Arfan.
"Loh Irfandi mana, tidak ikut ?", tanya pak kyai Abdullah lagi.
"Ikut kok pak, leh adikmu mana ?", tanya bu Ajeng juga.
"Di mobil bu, masih tidur", jawab Arfan.
"Ya sudah bangunin suruh ke sini ya", kata bu Ajeng.
"Inggih bu, amit"
(Iya bu, permisi), sambung Arfan.
"Tadi perasaan sudah di bangunkan, kenapa tidur lagi ya anak itu, haduh", keluh pak Joko.
"Sabar, mas, sabar", kata bu Ajeng.
"Ya sudah kalau begitu kita masuk kedalam aula ya, sambil menunggu kedua anak kalian berdua", sambung pak kyai Abdullah.
"Inggih pak"
(Iya pak), kata pak Joko dan bu Ajeng.
Solo
Di rumah pak Krisna,
Di depan rumah pak Krisna..
"Pakde, bude, Titah suwun pangestu kagem menuntut elmi agami dhateng pesantren darussalam kondur pakde, bude"
(Pakde, bude, Titah minta restu untuk menuntut ilmu Agama ke pesantren darussalam kembali pakde, bude), kata Titah yang meminta restu pada pak Krisna dan bu Dewi.
"Inggih nduk, pakde ugi bude memberi pangestu wonten panjenengan kagem menuntut elmi agami teng pesantren darussalam kondur nduk"
(Iya nak, pakde dan bude memberi restu pada kamu untuk menuntut ilmu Agama di pesantren darussalam kembali nak), sambung pak Krisna.
"Nal bisa diam tidak kamu", keluh Tiyo.
"Iya deh iya..", sambung Renaldy.
"Untuk kalian berdua, Renal dan Tiyo, mama titip adikmu ya di pesantren darussalam", kata bu Dewi.
"Siap mah..", sambung Renaldy dan Tiyo.
"Ya sudah masuk ke mobil dan hati-hati di jalan ya", kata bu Dewi lagi.
"Iya mah..", sambung Renaldy dan Tiyo.
"Kalian bertiga hati-hati di jalan ya, oh ya satu lagi nduk, pak kyai Abdullah sudah tau kalau Renaldy dan Tiyo akan menuntut ilmu juga di pesantren darussalam, karena kemarin pakde sudah menghadap langsung ke pesantren darussalam", kata pak Krisna.
"Oh iya pakde, Titah berangkat ya pakde, assalamu'alaikum", sambung Titah.
"Wa'alaikumussalam", pak Krisna dan bu Dewi menjawab salam dari Titah.
Keesokan harinya..
Yogyakarta
Di depan kantor pak kyai Abdullah..
"Alhamdulillah, akhirnya sampai juga di pesantren darussalam, mas Tiyo dan mas Renal ini ruangan atau kantornya pak kyai Abdullah, Titah mau ke kamar dulu ya", kata Titah.
"Iya, kamu hati-hati ya", sambung Tiyo.
"Inggih, assalamu'alaikum
(Iya, assalamu'alaikum), kata Titah lagi.
"Wa'alaikumussalam", Tiyo dan Renaldy menjawab salam dari Titah.
Di depan asrama putri..
"Haduh Kamil hemm..", kata Titah.
"Eeh tunggu dulu deh yong, van, saya sepertinya mendengar suara dede Titah deh, ini pasti mimpi ini, bidadari surga ku tiba-tiba ada di sini, di pesantren", sambung Kamil.
"Mil..", kata Rivan.
"Inggih van, ngapa ?"
(Iya van, kenapa ?), tanya Kamil.
"Kowe ra lagi bermimpi, memang ana Titah"
(Kamu tidak sedang bermimpi, memang ada Titah), jawab Rivan.
"Ah sing bener kowe, van, neng endi ?"
(Ah yang benar kamu, van, dimana ?), tanya Kamil lagi.
"Neng buri mu, mil"
(Di belakang mu, mil), jawab Oyong.
"Ngapusi kowe, aku ra percaya"
(Bohong kamu, saya tidak percaya), kata Kamil.
"Iih Kamil", sambung Titah yang menginjak kaki Kamil.
"Au..", Kamil kesakitan.
"Menghalangi jalan ku wae, minggir, hemm"
(Menghalangi jalan saya saja, minggir, hemm), kata Titah lagi.
"Bener, bener kuwi dede Titah nya aku, dede Titah tunggu kang mas Kamil mu"
(Benar, benar itu dede Titah nya saya, dede Titah tunggu kang mas Kamil mu), sambung Kamil lagi.
"Mil tunggu", kata Rivan.
"Mil tunggu, itu kawasan terlarang di pesantren darussalam ini, kamu jangan masuk, haduh bahaya ini", sambung Oyong.
Di asrama putri..
"Ehh kalian mau kemana ha ?", tanya Marni.
"Mau, anu, dede Titah, Mar..", jawab Kamil.
"Kalian gak bisa baca apa ya, itu lihat, kawasan terlarang, santri putra tidak boleh masuk", kata Marni menjelaskannya pada Kamil, Rivan, dan Oyong.
"Saya tau Marni, cuma Kamil nekat mengikuti Titah sampai ke sini, hayuk mil kita pergi dari sini sebelum remuk kamu sama gajah betina satu ini kalau dia ngamuk", kata Oyong yang mengajak Kamil pergi.
"Apa kamu bilang, Marni itu gajah betina, dia bukan gajah betina tau", kata Asih membela Marni.
"Lah terus apa ?", tanya Oyong.
"Kingkong", jawab Asih.
"Padha wae, padha gede ne"
(Sama saja, sama gedenya), kata Rivan.
"Iih Asih, kowe iki ya, aku kira kowe membela aku, tapi ternyata padha wae karo si untu maju iki, hemm, lan untuk kalian pergi atau.."
(Iih Asih, kamu ini ya, saya kira kamu membela saya, tapi ternyata sama saja dengan si gigi maju ini hemm, dan untuk kalian pergi atau..), sambung Marni.
"Kabur..", kata Kamil, Rivan, dan Oyong.