***
Aluna sedang berada di Kontrakan kecilnya. Setelah mendengar rekaman suara, Sejenak Aluna terdiam dan langsung menyimpan alat itu di tempat asalnya. Aluna langsung melangkah keluar ruangan tanpa mendengar sepatah kalimat yang keluar dari bibir Marfel. Wajah Marfel terlihat bingung untuk berucap, saat melihat respon Aluna.
Tidak peduli dengan suara lemah Marfel yang berusaha memanggilnya. Tidak peduli juga dengan orang suruhan Marfel yang menatapnya iba. Air mata tanpa pamit keluar dari kelopak mata, wajahnya sudah sangat kusut.
Sekarang Aluna sedang berdiam diri di depan foto ibunya, yang terpajang di dinding rumah. di raihnya foto yang saat ini sedang ia tatap, "mengapa ibu tega menjodohkan aku dengan lelaki yang tidak aku kenal? Apa Ibu tidak sayang kepadaku? Mengapa Ibu tega? Bagaimana mungkin ini akan terjadi padaku, Ibu?" ucap Aluna sambil mengusap, foto ibu telah berada di pangkuannya, ia membiarkan air mata membasahi.
Aluna masih terus menangis. Hingga tersadar saat terdengar bunyi dering telepon.
"Hallo, Fat!" kata Aluna setelah mengangkat telepon. Sebelum mulai berbicara, ia berusaha menetralkan perasaan.
"Al, kamu tidak ke Toko Kue? Orderan lagi banyak. Kamu di mana? Masa iya, aku mengerjakan semuanya sendiri?" tutur Fatma dengan suara cemprengnya.
Aluna menarik napas. Tidak ingin Fatma tahu jika ia sedang menangis. "Iya, Fatma. Aku sekarang di Kontrakan. Tadi sesudah ujian aku langsung pulang, ingin mengambil cetakan kue yang aku beli kemarin."
"Baiklah! Kamu cepatan ke sini! Aku kewalahan jika kerja sendiri," ucap Fatma dengan terburu-buru
"Okey! Aku segera ke sana!" ujar Aluna, sambil menghapus air mata yang tersisa di pipi, "masih banyak kerjaan yang harus aku selesaikan. Aku tidak boleh menangis terlalu lama. Semangat, Aluna!" Teriaknya menyemangati diri.
Di tempat berbeda, Zolan sedang berada di ruang kerjanya. Wajah ia hadapkan ke jendela membelakangi meja. Tadi ia izin ke Marfel untuk ke Kantor. Ada yang ingin ia urus dan akan kembali lagi ke Rumah Sakit.
"BRO!" Fahmi mengagetkan Zolan yang sedang melamun.
"Hemm," respon Zolan acuh, memandang ke depan. Maih ingin sendiri, satu jam lagi ia akan kembali ke Rumah Sakit.
"Kamu kenapa tadi, main pergi saja? Kamu tahu kan kita lagi rapat penting? Kerjasama kita hampir saja dibatalkan. Tetapi tenang, si ganteng dan cerdas ini bisa mengatasinya," tutur Fahmi sambil duduk di meja kerja Zolan.
Tidak ada respon dari orang yang di ajaknya berbicara. Zolan tidak menggubris cerita dari Fahmi. Ia justru berdiri dan keluar dari ruangan itu.
"Woiii! Mau ke mana kamu?" teriak Fahmi saat Zolan berdiri meninggalkanya. Ia langsung mengejar Zolan. Kaki panjang Zolan terlalu cepat melangkah.
Tidak memperdulikan panggilan Fahmi, Zolan segera menuju lift. Fahmi masih mengejarnya hingga parkiran.
"Besok kamu yang pimpin rapat!" Perintah Zolan. Tanpa menunggu respon Fahmi, ia langsung pergi menggunakan mobil hitamnya.
"Kamu mau ke mana? ZOLAAN!" teriak Fahmi.
Zolan dan Fahmi memiliki hotel yang di rintis bersama. Selain sebagai CEO perusahaan milik ayahnya, Zolan juga memiliki beberapa usaha. Tiga puluh menit lagi Zolan akan kembali ke Rumah Sakit. Ia menggunakan waktunya untuk pergi ke tempat pertama kali bertemu kekasih hati yang sampai saat ini belum tergantikan.
Sekolah SMA Pelita Bunda, di situ lah ia pernah menjalin kisah asmara dengan gadis manis bernama Sindy. Seketika ingatannya melayang pada momen terindah delapan tahun lalu.
"Sayang aku tidak suka bakso. Kenapa pesanin aku bakso?" ucap Sindy dengan suara manja. Ia menunjukan wajah sedang kesal pada Zolan.
"Kamu harus suka bakso sayang, karena aku suka. Kamu tidak ingin mencoba makan makanan kesukaanku? Nanti kalau jadi istriku, kamu yang akan selalu masak makanan buat aku. Tidak mungkinkan, kamu masak tanpa mencicipinya? Hahaha," Zolan berkata sambil tertawa. Ia sudah tahu bahwa kekasihnya itu tidak suka bakso. Hanya saja Zolan ingin menjahili. Hal terindah bagi Zolan, membuat Sindy kesal.
"Kamu, ihhh," sambil cemberut mengambil mangkok bakso di hadapannya. Sindy pun terpaksa mengikuti perintah Zolan.
"Sayang, Sebentar lagi kita akan lulus. Aku ingin kuliah di sini saja," lanjut Sindy.
"Iya, sayang! Aku juga akan lanjut kuliah di sini. Kita akan tetap bersama. Kamu tahu kan aku tidak bisa jauh-jauh dari kamu," balas Zolan dengan wajah sok manja pada Sindy.
"Apaan sih! Di ajak bicara serius malah bercanda," kesal Sindy.
"Hahaha..." tawa Zolan terbahak-bahak, mengerjai kekasihnya adalah sesuatu yang indah bagi Zolan.
Zolan sangat menyayangi Sindy. Gadis ini belum pernah sekalipun marah pada Zolan. Sifat manja dan lucu, membuat Zolan selalu rindu padanya. Selama sekolah mereka selalu menghabiskan waktu bersama. Hingga sindy menghilang tanpa kabar.
Setelah menghabiskan waktu tiga puluh menit di Sekolah SMA Pelita Bunda, Zolan mengendarai mobil menuju ke Rumah Sakit. Ingatannya masih tertuju pada Sindy.
Malam itu adalah ulang tahun Zolan, bertepatan dengan acara kelulusan. Zolan sedang menunggu di luar pagar, menunggu sang pujaan hati. Satu jam berlalu yang di tunggu belum juga nampak. Zolan berkali kali menghubungi Sindy, namun nomornya sudah tidak aktif. Tidak ingin penasaran, Zolan membuka pagar Rumah. Ternyata Rumah minimalis berlantai satu itu telah kosong. Hanya ada lampu teras yang menerangi.
Zolan masih menaruh harapan, mungkin saja listrik rumah sedang bermasalah. Ia mengetuk pintu rumah. Tidak ada sahutan dari dalam. Tiga kali ketukan pintu sambil memanggil nama Sindy, tetapi masih tetap sama. Sepuluh kali ketukan, tidak berubah. Zolan duduk bersandar di depan pintu. Ia menunggu hingga jam satu malam. Pemilik rumah belum memunculkan diri.
Hingga sekarang ia tidak tahu di mana Sindy berada. Bukan hanya sekali ia menyuruh orang untuk mencari pujaan hatinya itu. Zolan tidak pernah lelah mencari Sindy.
"Sayang, besok aku akan menikah dengan perempuan pilihan ayahku. Aku sayang kamu dan akan tetap menjaga perasaan ini!" lirih Zolan. Matanya menatap lurus ke arah jalan.
***
"Fatmaa! Minta tolong liat kue yang ada di oven. Aku masih membungkus pesanan!" teriak Aluna dengan tangan sibuk membungkus kue.
"Iya. Tidak usah teriak, Buu! Aku juga bisa dengar," ucap Fatma.
"Fatma, jam empat toko kita tutup ya. Aku ingin keluar sebentar. Takutnya kamu kewalahan terima pesanan," pinta Aluna sambil menuju ke arah Fatma.
"Oh begitu. Iya boleh. Aku juga ingin belajar. Harusnya kalau jadwal ujian kayak begini, toko kue kita tutup sore saja. Jadi saat malam, kita bisa belajar. Kamu tahukan, aku tidak sepintar kamu. Dan kalau nilaiku ada yang error ayahku pasti mengamuk," jawab Fatma sambil sibuk memeriksa kematangan kue.
"Saran kamu boleh juga Fatma. Mulai hari ini hingga ujian kita selesai, toko akan di tutup jam 4 sore."
Setelah percakapan itu, mereka sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Sambil sesekali tetap bercanda di tengah banyaknya pesanan.
Toko kue AlMa itulah nama toko Mereka. Perpaduan Aluna dan Fatma, Nama yg bagus untuk dijadikan sebuah brand usaha. Mereka sudah akrab sejak pertama kali masuk kuliah. Aluna, gadis cerdas dan lembut. Dan Fatma, ia si gadis suara cempreng dan jail, ia anak orang kaya. Membantu usaha toko kue Aluna adalah pilihan Fatma sendiri. Semua modal usaha dari Fatma. Bagi Aluna, Fatma adalah sosok yang membuatnya, merasa masih ada orang yang menyayangi setelah ibunya pergi.
Dua jam lebih mereka sibuk membersihkan, Toko kue sudah terlihat rapi seperti semula. Hingga Aluna berpamitan untuk pulang lebih dulu ke Fatma.
Saat ini Aluna sedang berada di kuburan ibunya. Ia berdiri sudah lima menit, memandangi nisan ibu. Air mata tak mampu tertahan, terus berjatuhan.
"Ibu, mengapa Ibu menjodohkanku dengannya? Aku ingin menikah dengan pangeran yang aku impikan. Kenapa harus dia yang tidak aku kenal?" lirih Aluna sambil duduk di pusara ibunya.
"Bagaimana hidupku setelah aku menikah nanti, Bu? Apakah dia bisa menyayangiku? Apakah dia bisa menjagaku? Ibu tahu, dari kecil aku tidak pernah mendapat kasih sayang dari Ayah. Bahkan melihat wajah Ayah saja, aku tidak pernah. Tahu siapa Ayah juga tidak, Bu. Aku tidak pernah mendapat kasih sayang dari lelaki! Apakah Ibu tega menjodohkan aku dengan lelaki yang mungkin saja setelah menikah, akan menyiksaku. Ini tidak adil, Ibu! Ini tidak adil!" Aluna terus saja terisak, "Mengapa Ibu tidak menyuruhku untuk memilih, dengan siapa aku ingin menetap? Mengapa seperti ini, Ibu? Aku ingin hidup bahagia, sampai kapan aku hidup seperti ini. Mengapa harus aku yang di uji seperti ini, Tuhan? Aku menyerah! Sungguh! Aku tidak sanggup!" Dengan suara terbata-bata Aluna terus meluapkan semua isi hati, seolah ibunya mendengarkan
"Tingg!," bunyi chat handphone.
'Besok jam 10 kami akan menjemput anda di kontrakan, Pak Marfel meminta anda ke Rumah Sakit. Anda akan dinikahkan besok.'
Aluna terpaku membaca pesan pada layar benda yang di tangannya.