***
Hari ini Aluna bangun lebih pagi karena harus menyiapkan semua barang yang akan di bawa. Tidak banyak, Hanya baju satu koper dan satu kardus berisi buku-buku yang ia anggap penting. Aluna akan tetap kontrak di rumah ini karena di sini lah semua kenangan bersama ibunya. Lagian, tidak mungkin Aluna membawa semua barang yang ada di kontrakan.
Kemarin setelah mendapat pesan dari anak buah Marfel, Aluna berusaha bangkit dan pulang ke kontrakan. Tersadar, mungkin inilah yang terbaik untuknya. Tentang hati, tidak ada yang tahu, akan jatuh cinta pada siapa. Mungkin setelah hidup dengannya, Aluna bisa mencinta.
Aluna juga sudah menghubungi Fatma, hari ini Toko kue di tutup. Ia tidak mungkin bisa bekerja dalam kondisi tidak baik.
"Mungkin karena hari ini adalah minggu, semua orang libur, sehingga Pak Marfel ingin pernikahan di langsungkan hari ini," batin Aluna
Tak lupa pula, Aluna membawa satu-satunya barang berharga pemberian ibu. "Entahlah, gelang ini kalau di jual mungkin tidak akan laku," ucap Aluna. Gelang putih yang terdapat tulisan nama ayah dan ibunya. "Kata ibu ini adalah gelang pemberian Ayah setelah ijab kabul. Hari ini aku akan memakai gelang ini. Sebagai tanda ayah dan ibu hadir di hari pernikahanku," lanjutnya lagi.
"Ayah, di mana pun engkau berada. Aku izin menikah hari ini! Aku memohon restu darimu!" pinta Aluna dalam hati, sambil memandang gelang di tangannya.
Di tempat berbeda seorang lelaki sedang memegang tangan ayahnya. Menghiburnya dengan cerita-cerita lucu. Zolan terus bercerita meskipun yang ia lihat hanya senyum dan anggukan sang ayah.
"Ayah rencananya aku akan membangun hotel di Bali. Aku di bantu Fahmi jadi ayah tidak perlu takut aku kecapean," tutur Zolan yang hanya di balas anggukan, oleh Marfel. "Sesudah menikah besok aku akan mengajak istriku untuk tinggal di rumah Ayah. Dia akan bantu aku merawat Ayah agar cepat sembuh," lanjut Zolan lagi. Marfel membalasnya dengan tersenyum.
Marfel bertutur dengan suara lemahnya, "Nak, jika Ayah pergi. Kamu yang akan menjadi pewaris tunggal. Ayah harap di tanganmu perusahaan bisa semakin berkembang." Zolan mendengar dengan serius ucapan ayahnya.
Marfel yakin Zolan bisa membanggakannya. Zolan kuliah mengambil jurusan managemen dan arsitek. Awalnya ia hanya ingin kuliah di jurusan teknik arsitek. Tidak ingin menyakiti ayahnya, ia akhirnya memilih kuliah di dua jurusan sekaligus. Zolan kuliah di salah satu kampus terbaik di Negeri Sakura. Baginya, membagi waktu untuk kuliah di dua jurusan sekaligus, bukanlah hal yang sulit.
Waktu sudah menunjukan pukul 09.30. Sebentar lagi ia akan menikah. Barusan, ayahnya menyuruh orang suruhan untuk menjemput Aluna. Tiga puluh menit lagi ia akan resmi menjadi seorang suami.
Tok tok! bunyi ketukan pintu.
Pintu terbuka diikuti masuknya dua lelaki.
"Selamat pagi, Pak Marfel!" Sambil menunduk hormat ke Marfel, "Pak Zolan!" Sambil menunduk hormat ke arah Zolan, "kami dari KUA, nama saya Rozi dan ini rekan saya Zomi," ucap Rozi dengan ramah.
"Ohh, silahkan duduk, Pak! Mempelai wanitanya belum datang. Mungkin tidak lama lagi. Mohon di tunggu!" tutur Zolan pada mereka sambil mempersilahkan duduk ke sofa yang tersedia di ruangan.
Di lain tempat, Aluna sudah berada di parkiran, semua barang ia simpan dalam mobil. Sesudah menikah ia langsung di antar ke kediaman Marfel. Ia menuruni mobil dan berjalan menuju ruang inap. Saat membuka pintu, ia tidak hanya mendapati Marfel seorang diri. Ada dua pria tua dan satu lagi lelaki.
Mereka semua memandang Aluna dengan mimik wajah tidak bisa di tebak. Mungkin karena pakaian yang ia gunakan. Celana lebar panjang berwarna hitam, baju kotak-kotak yang kebesaran, wajah polos tanpa bedak, rambut di kepang dua, dan tak lupa kaca mata kebesarannya. Aluna yakin mereka menatap seperti itu karena melihat penampilannya. Seperti halnya teman-teman kampus saat pertama kali melihat Aluna di awal masuk kuliah, tatapan jijik.
Aluna tidak peduli, ia tersenyum pada mereka sambil membungkukkan badan, tanda menghormati.
"Mari, Pak! Kita mulai!" panggil Zolan dengan wajah datar, pada pegawai KUA.
"Ternyata lelaki ini yang akan menjadi suamiku. Oh Tuhan. Dia sangat ganteng!" batin Aluna, sambil sesekali melihat Zolan, tak ingin ketahuan jika sedang mengagumi indahnya ciptaan Tuhan di hadapannya. Mata bulat, hidung mancung, ada sedikit janggut yang ia bisa hitung jumlahnya, kulit putih bersih, dan alis tebal yang menambah kesempurnaan wajahnya.
Di samping tempat tidur Marfel, sudah disediakan meja dan kursi untuk akad nikah. Aluna melangkah kecil menuju tempat duduk sakral itu. Hingga akhirnya tiba, tempat duduk begitu dingin. Terlihat Rozi dan Zomi, menyiapkan beberapa berkas.
"Bagaimana, apakah anda sudah siap?" tanyanya pada Zolan.
"Siap, Pak1 Kita bisa mulai!" jawab Zolan tegas tanpa tersenyum.
Situasi sangat menegangkan. Aluna memegang erat rok yang ia pakai. Tangannya sedari tadi sudah berkeringat.
"Baik, Pak Zolan!" lanjut Rozi lagi.
"Saya nikahkan engkau dengan Aluna Mentari binti Roslan dengan maskawin sebuah cincin emas di bayar tunai!"
"Saya terima nikahnya Aluna Mentari binti Roslan dengan maskawin sebuah cincin emas di bayar tunai!" Zolan berkata dalam satu nafas dan tangan berjabat dengan Rozi.
"Bagaimana saksi, sah?" tanya Rozi pada Zomi dan Marfel.
"SAH!" ucap Zomi dengan suara lantang. Terlihat senyum di wajah Marfel.
"Ternyata jika orang kaya, menikahnya tidak ribet. Aku hanya tahu beres. Mungkin Pak Zomi dan Pak Rozi sudah di bayar mahal. Hari ini aku sudah resmi menjadi seorang istri," batin Aluna. Tidak ada yang memakaikan cincin di tangannya. Zolan hanya menyodorkan kotak kecil berisi cincin untuk ia pakai sendiri.
"Terimakasih, Pak! Untuk biaya dan lainnya nanti orang kami yang akan mengurus," ucap Zolan ke Rozi dan Zomi.
"Baik, Pak! Kami permisi dulu," jawab Rozi.
Kini tinggal mereka bertiga di ruangan. Aluna, Zolan dan Marfel. Dinginnya Ac ruangan tidak sedingin tangan Aluna saat ini.
"Zolan, antar istrimu ke Rumah. Kalian butuh waktu berdua agar saling akrab. Suruh mereka masuk setelah kalian keluar, untuk menjaga Ayah," ucap Marfel.
"Iya, Ayah! Kami pamit dulu!" jawab Zolan, mencium tangan Marfel.
Aluna pun mendekati Marfel dan mencium tangannya, Marfel tersenyum. Setelahnya, Aluna berjalan mengikuti langkah panjang Zolan. Membuka pintu dan mendapati empat orang anak buah Marfel sedang duduk di kursi yang disediakan rumah sakit. Kursi itu terletak tepat di depan pintu ruang inap kelas VVIP yang digunakan Marfel.
"Ayahku meminta kalian untuk masuk menjaganya!" ucap Zolan dengan suara basnya.
"Siap, Tuan!" jawab mereka sambil berdiri tegak
"Apakah seperti ini karakter Zolan, dingin?" Aluna membatin sambil terus mengikuti Zolan.
Beberapa menit dalam perjalanan, tidak ada yang memulai percakapan di antara mereka. Hingga Aluna memberanikan diri untuk menyapa.
Dengan tangan berkeringat, "Aku Aluna," sambil mengulurkan tangan, ingin berkenalan.
Zolan hanya menatap keluar jendela, seakan tidak mendengar sapaan. Aluna yang merasa malu dengan tingkahnya, menarik kembali tangan, ia pun memandang keluar jendela mobil.
Mereka telah tiba di kediaman Marfel. Rumah megah berwarna kuning emas mendominasi seluruh ruangan. Tidak lupa foto Marfel dan istrinya juga menghiasi dinding rumah. Tiga orang asisten rumah berjalan di belakang Aluna. Mereka mengangkat barang bawaan. Aluna di perlakukan layaknya seorang ratu.
Aluna terus mengikuti langkah Zolan, hingga tiba di sebuah kamar yang ukurannya sangat besar. Di sisi kanan terdapat lemari besar berwarna coklat muda. Di bagian tengah terdapat ranjang tidur dengan perpaduan warna peach dan cream yang tampak elegan. Aluna terus memandang kagum ruangan. Tanpa di sadari, ia hanya sendiri dalam ruangan.
Zolan sudah pergi tanpa izin. Ia belum mengajak Aluna berbicara, meskipun hanya berupa sapaan atau ungkapan basa-basi. Semua asisten rumah hanya masuk, menyimpan barang, dan langsung keluar. Aluna melangkahkan kaki, ingin mengatur barang dalam lemari. Namun saat ia membuka, terdapat kertas putih dengan tulisan tinta merah. Aluna mengambil dan mulai membacanya...
Perjanjian nikah!
1. Tidak ada interaksi di antara kita kecuali di hadapan ayah
2. Tidak melakukan kewajiban suami istri
3. Tidak menceritakan status kepada siapa pun, pernikahan kita adalah rahasia
4. Tidak mencampuri urusan masing-masing
5. Tidak tidur dalam satu kamar
Aku tidak butuh persetujuan kamu atas lima point ini. Kamu hanya perlu melakukan semuanya!