Mendengar kata style itu, ia menduga kalau Aurel pasti akan muncul. Tak lama lagi, para siswa juga siswi akan muncul dan berlenggak-lenggok di jalan yang sudah disediakan untuk memamerkan pakaian yang mereka kenakan diiringi dengan musik disko yang meriah. Aurel pasti muncul setelah mereka semua tampil.
"Hallo! Selamat siang semuanya!" Sesuai dugaan Ricky, Aurel muncul di antara 6 siswa juga 6 siswi yang baris berjajar membelakangi podium.
"Itu kakakmu kan, Rick?" tanya Yoga.
Ricky mengangguk lambat tanpa menoleh ke arahnya. Ia sudah terpaku dengan kehadiran Aurel yang saat ini sedang menjelaskan tentang style and modeling club. Kali ini ia tidak menyangka kalau gadis yang terlihat selalu riang itu adalah pelatih sekaligus pengajar dari klub yang baru berjalan selama 2 tahun tersebut.
"Bagi siapa saja yang punya minat atau bakat dalam modeling dan style, ayo masuk klub ini! Aku janji akan mengembangkan minat atau bakat kalian itu semampuku," kata Aurel semangat. "Ketua klub, yaitu Kak Tina, baru saja menawariku pekerjaan ini dan aku terima. Toh, aku juga cukup ahli dalam modeling dan style kok. Walau aku baru pertama kali melatih seperti ini, tapi setidaknya aku usahakan bisa lebih dari pelatih kalian yang dulu." Aurel tertawa sekilas. "Oh ya, aku juga punya bakat design pakaian. Kalau ada yang suka gambar-gambar baju, boleh banget gabung ke style and modeling club," tambahnya sambil tersenyum manis.
Tiba-tiba saja Jo maju ke depan sambil membawa mikrofon. "Ya, karena kebetulan Kak Aurel ada di sini dan kabar bagusnya juga mengajar klub baru di sini—"
"Oh ya maaf, aku belum kasih tahu namaku ya?" Sela Aurel cepat. "Maaf sudah menyela ya Kak Jo," tambahnya.
"Gak apa-apa," jawab Jo.
Aurel mengangguk seklias sambil tersenyum. "Perkenalkan, aku Aurelia Aurita. Biasa dipanggil Aurel," ucapnya.
Lagi-lagi Ricky mendengar suara tawa yang ditahan dari mentor kelasnya yang berdiri tak jauh di sebelahnya. Ia hanya bisa memandang sinis ke arah siswi tersebut. Ia benar-benar penasaran dengan arti dari nama kakaknya itu, sehingga bisa mengundang cukup banyak tawa yang ditahan dari senior-senior OSIS.
"Well, agak aneh memang," kata Aurel. "Aku kasih bocoran sedikit untuk adik-adik kelas 10 ini ya. Arti dari namaku itu ubur-ubur bulan. Bagi yang belajar Biologi pasti tahu deh nanti." Ia mengakhiri kalimatnya dengan tertawa sekilas.
"Nggak aneh kok, Kak Aurel," sambar Jo. "Pasti ada maksud tersendiri kenapa diberi nama itu. Tapi aku yakin maksud itu positif." Ucapan yang disampaikan Jo itu hampir sama dengan apa yang dipikirkan Ricky. Ia sendiri juga menganggap kalau arti nama kakaknya itu tidak aneh sama sekali. Justru bagus dan unik.
"Iya, aku tahu itu," balas Aurel. "Jadi, aku mau ngomong apa lagi ya?"
"Sharing cerita Kak Aurel saat di Australia dong!" sahut Fifi yang berdiri di koridor lantai satu.
"Iya, tuh," setuju Jo. "Kak Aurel kan menjadi siswi pertama yang mendapat beasiswa ke Sydney untuk melanjutkan pendidikan sebagai desainer. Terus sekarang sudah mempunyai butik terkenal yang sudah mempunyai 3 cabang di Jakarta, padahal saat baru mengembanginya, kakak masih belajar di Sydney. Tolong ceritakan sedikit tentang perjuangan kakak sampai bisa seperti ini," pinta Jo. Laki-laki berbadan bongsor itu terlihat ramah saat ini dan tidak segarang saat kemarin-kemarin.
Mungkinkah karena Kak Aurel? Atau memang seperti itu sifat aslinya? batin Ricky yang menyadari perbedaan sifat Jo itu. Tapi setidaknya Jo dan komplotannya itu tidak dendam pada Ricky setelah ia mengambil foto Aurel dari tangan mereka. Sepertinya ketiganya mendapat teguran dari pengawas, dan tidak menaruh dendam pada Ricky.
"Oh iya, soal butik itu. Sebenarnya pertama kali aku membuka butik di sana. Lalu membuka cabang di Jakarta," ralat Aurel.
"Oh begitu. Maaf deh kak," Jo tertawa sekilas. "Jadi gimana tuh ceritanya? Kali saja bisa menjadi inspirasi sekaligus motivasi bagi adik-adik kita."
"Waktunya cukup, gak, nih? Takutnya aku kebablasan cerita. Kan kasihan kalian panas-panasan di sini," ucap Aurel.
Deni menunjukkan angka satu lalu menunjukkan angka lima menggunakan satu tangannya pada Jo.
"Waktu kakak cuman 15 menit, ya," kata Jo.
"Nah, gitu dong. Oke, dimulai dari mana ya enaknya biar lebih cepat dan dapat intinya? Oh ya, aku tahu. Aku mulai dari..."
Ricky tidak terlalu detail mendengar sinopsis panjang dari sepenggal kisah Aurel selama di sekolah yang sedang diceritakannya itu. Ia tidak terlalu butuh cerita itu karena jalan pendidikan yang ia gunakan akan berbeda darinya. Ricky memang tidak mendengar ceritanya, namun ia sedikit kagum saat melihatnya berdiri di depan umum dan berbicara banyak dengan lancar.
Sebuah ingatan masa lalu tiba-tiba saja berputar di benaknya. Ingatan sekitar 7 tahun yang lalu, saat ia mendengar Aurel berbicara lantang di depannya kalau ia akan berani maju ke depan dan menjadi pusat perhatian. Awalnya Ricky meremehkannya karena setelah Aurel mengucapkan itu, keesokan harinya—di mana ia harus berbicara satu atau dua paragraf di depan warga sekolah sebagai siswi berprestasi—ia malah gemetar hebat dan hampir mau pingsan.
Namun, Aurel yang sekarang ini sudah berbeda. Banyak hal yang terjadi di Sydney yang membuatnya bisa mewujudkan salah satu impiannya untuk bisa menjadi pusat perhatian umum. Walau perangaiannya sudah tampak dewasa, tapi saat mata cokelat Aurel itu bertemu dengan Ricky, ia bisa menjadi sosok kakak kekanak-kanakan yang selalu ingin dimanja olehnya.
"Oh iya!" seru Aurel setelah ia berhenti sejenak sambil memperhatikan Ricky yang duduk di barisan kedua dari belakang di sudut kirinya. Hal itu sontak menyentakkan Ricky dan membuat perasaannya tidak enak.
"Aku punya adik laki-laki," Aurel mengangkat tangan dan menunjuknya, "Namanya Ricky Alfian. Dia duduk di sana kelas X-1."
Ricky menelan ludahnya susah payah saat semua pasang mata mengarah padanya. Ia sama sekali tidak suka menjadi pusat perhatian, tidak seperti kakaknya itu.
"Aku biasa memanggilnya Kiki kalau di rumah. Kalau di luar, aku harus memanggilnya Ricky, gak tau kenapa dia menyuruhku begitu. Oh ya, kalian jangan ikut-ikutan memanggil Kiki ya. Nanti dia marah," peringat Aurel.
Ricky mulai melihat ada beberapa siswa yang berbisik-bisik sambil sesekali memandangnya sekilas.
"Cakep, kan? Iya sih memang cakep, tapi gak tau deh dia bakal pinter di sekolah apa nggak," kata Aurel polos.
Hal itu cukup mengundang tawa dari beberapa siswa dan sekali-kali ada yang berbisik-bisik lagi.
"Dia suka banget makan pecel lele. Terus kue bi—, Ricky kamu mau ke mana?" panggil Aurel saat ia melihat punggung Ricky yang mulai menjauh darinya itu.
"Dia mau ke toilet, kak," jawab mentor kelasnya yang dimintai izin itu.
"Ooh...," Aurel mengangguk lambat, "Tadi sampai di mana kita?"
***
Ricky membanting pintu toilet sebagai pelampiasan. Rasa kesal, malu, kecewa bercampur menjadi satu dan semua itu karena kakaknya yang sudah terlampau batas.
Walau pengeras suara yang masih memperdengarkan suara Aurel itu sudah samar dan tidak terlalu jelas, Ricky tetap membuka kran air di dalam toilet untuk memastikan suara itu sudah tidak terdengar lagi.
Sudah cukup Ricky mendengar Aurel berbicara tentang keburukannya itu di depan teman-teman sejawat Aurel. Namun, tidak di depan teman-teman sekolahnya yang bisa saja berefek panjang selama 3 tahun masa putih abu-abunya ke depan.
(Ini sudah keterlaluan,) batin Ricky.
Ia akan terus di toilet itu sampai ia merasa waktu Aurel sudah habis untuk berbicara di depan dan saat ia keluar, ia akan berpura-pura tidak mengenal Aurel karena benar-benar jengkel dengannya. Seandainya ada tempat untuk memecat Aurel menjadi kakaknya, ia pasti akan baris paling depan.