Hari Selasa ini sama menegangkannya seperti kemarin. Kakak-kakak OSIS yang marah-marah, beberapa teman yang dihukum karena perlengkapan yang tidak lengkap, sampai kejar-kejaran buku panduan sekolah—yang katanya sih harus disimpan sampai akhir hayat, tidak boleh diambil oleh kakak mentor apalagi disobek. Itu terjadi di semua kelas. Bahkan untuk kelas X-1 yang semua buku panduannya diambil oleh senior OSIS yang 'iseng'.
"Kalian mau bukunya pada dibalikin, gak?" seru senior OSIS yang bersuara lantang. Terjadi keheningan beberapa saat karena sudah terbawa suasan tegang yang dibuat oleh para senior OSIS itu. "Pada bisu semua, nih? Kalau kalian gak pegang buku ini sampai acara MOS selesai, kakak gak jamin kalau kalian masih bisa sekolah di sini," ujarnya.
(Gak bisa sekolah di sini gara-gara buku panduan? Cih, yang benar saja!) batin Ricky. Ia tampak tak peduli dengan wajah-wajah sangar dan ancaman yang dibuat para senior OSIS itu.
"Mau kak!" Akhirnya semua menyahut. Begitu juga Ricky dengan suara yang agak dipaksa dan wajah cuek.
"Baiklah kalau begitu." Sepasang mata hitam senior OSIS yang berbadan bongsor itu menyusuri setiap siswa di kelas sampai ia berhenti di laki-laki yang duduk di sudut ruangan dengan ekspresi tak acuh. "Kamu yang di sana!" tunjuknya.
Jantung Ricky hampir berhenti saat ia ditunjuk. Ia menunjuk dirinya sendiri untuk meyakinkannya. "Iya, kamu. Sini deh," pintanya.
Dengan perasaan ragu, Ricky pun beranjak dari tempat duduknya dan menghampiri laki-laki itu. Saat tepat di depanya, ia langsung merangkul Ricky dari samping dan mengarahkannya ke hadapan teman-teman kelasnya.
"Mau gak, kalau Bang Jo tukar buku kalian dengan teman kalian?" kata laki-laki yang menyebut dirinya Bang Jo itu.
Ricky cukup terkejut saat mendengar perkataan itu. Keisengan-keisengan yang akan dilakukan senior OSIS pun berputar di pikirannya.
Lagi-lagi terjadi keheningan. "3, 2, 1, Oke. Kembalikan buku-buku mereka." Jo langsung menarik Ricky keluar kelas dan buku-buku itu pun bisa dikembalikan.
"Dek, solidnya mana? Masa kalian mau menukar benda dengan teman kalian, sih?" Itu yang didengar Ricky oleh kakak mentor kelasnya sebelum ia benar-benar di tarik paksa keluar kelas.
***
Sekitar tiga senior OSIS berdiri di hadapan Ricky dengan ekspresi yang sulit untuk dijelaskan, tapi samar-samar lebih kepada kesal. Salah seorang diantara mereka menghampiri dan melihat namtagnya.
"Ricky Alfian," sebutnya. "Kamu benar adiknya Aurel?" Tanya senior OSIS perempuan yang terlihat tidak percaya dengan apa yang ia dengar dari kabar-kabar yang ia terima. Bisa dilihat dari nama di almamaternya kalau ia bernama Fifi.
"Iya," jawab Ricky.
"Gue bilang juga apa. Kemarin kan kakaknya datang main serobot aja masuk ke dalam kelas," ucap Jo.
"Wajahnya juga mirip," komentar senior OSIS laki-laki yang berkacamata dengan nama Deni.
"Iya, memang kenapa, kak?" Akhirnya Ricky membuka mulut karena terlalu penasaran dengan apa yang mereka bicarakan.
"Aurelia Aurita, kan, namanya?"
"Iya," jawab Ricky lagi.
"Eh, seriusan itu namanya?" kaget Deni. Kemudian ia terkekeh, disusul dengan teman-temannya.
Ricky serasa tidak terima nama kakaknya dijadikan bahan ejekan seperti itu. Walau ia tidak mengerti apa yang mereka tertawakan. "Memang kenapa?"
"Ah, nanti kamu juga tahu sendiri" jawab Fifi. "Setiap ada pelajaran biologi tuh, pasti kenal dengan nama itu."
"Kakak kenal Kak Aurel dari mana?"
"Cukup banyak guru yang membicarakan dia walau sudah sekitar 7 tahun dia menjadi alumnus. Terutama Bu Sri yang mengajar Biologi. Ah jadi iri," jelas Fifi.
"Terus dia kan alumnus yang terkenal karena menjadi siswa pertama di sekolah ini yang mendapat beasiswa ke Australia," jelas Jo. "Lalu disusul dengan siswa-siswa lain setelah kelulusannya," tambahnya.
"Dia lulusan sini?!" kaget Ricky.
"Kamu sebagai adiknya, tidak tahu?" Kata Deni tak percaya. Ricky ragu untuk menjawabnya.
"Terus lo ngepain bawa dia ke sini, Jo?" Tanya Fifi.
"Gue mau tunjukkin ke lu aja Fi. Biar lu percaya," jawab Jo. "Oh dan satu lagi. Kamu mau duduk di kelas lagi gak?" Tanya Jo pada Ricky.
"Mau bang."
"Dengan syarat, kamu besok harus..."
***
"Welcome home, Kiki!" sambut Aurel saat Ricky baru saja membuka pintu rumah.
Siapa yang tidak kaget waktu baru saja membuka pintu rumah, ia langsung disambut meriah dengan kakaknya itu.
"Apa, sih, Kak?" dengus Ricky. Ia berjalan masuk ke ruang tamu dan melempar tasnya ke sembarang tempat dengan wajah ditekuk dan pikiran suntuk. Terlalu banyak kejadian-kejadian di sekolah yang membuatnya lelah karena harus menahan emosi saat menghadapi senior-senior itu.
"Kau tampak lelah hari ini," kata Aurel sambil mengekor Ricky menuju ruang keluarga. "Apa mereka berbuat sesuatu padamu?"
"Ya kakak tahu sendiri kan MOS itu gimana?" kata Ricky sambil melempar tubuhnya ke sofa dan menghidupkan TV dengan remot.
"Memang gimana? Aku lupa," jawab Aurel tanpa direspon oleh Ricky. "Akan aku buatkan makanan dan minuman kesukaanmu!" serunya sebelum ia berlalu menuju dapur.
Ricky ingin memanggilnya dan bertanya apakah ia masih mengingat makanan dan minuman favoritnya, namun ia sudah pergi begitu cepat dan Ricky terlalu malas untuk berteriak.
Beberapa menit kemudian, lebih tepatnya sejam kemudian saat Ricky akan menyusul kakaknya di dapur saking lamanya ia memasak, Aurel datang dengan nampan berisi segelas ice blanded choclate cream, sepiring nasi juga pecel lele dan sambal khasnya, serta tak lupa sekotak biskuit bayi rasa beras merah.
"Walau sudah 7 tahun, aku masih tahu bagaimana rasa yang pas untuk makanan dan minuman ini," kata Aurel sambil meletakkan makanan dan minuman itu di atas meja. "Kau tahu, pecel lele juga makanan mingguanku saat di Sydney walau agak mahal."
Ricky mengangguk sambil memperhatikan satu per satu makanan yang terlihat menggoda itu. Pecel lele yang masih hangat dengan warna kecokelatan yang memikat, sambal merah yang menggoda lidah, ice blanded dingin yang menyegarkan, nasi yang sudah umum ia jumpai setiap hari, juga sekotak biskuit bayi yang sebenarnya ia sedang proses rehabilitasi untuk tidak memakan cemilan yang membuatnya candu itu. Namun mau bagaimana lagi kalau Aurel terus menawarkannya?
"Aku janji ini untuk terakhir kalinya," gumam Ricky sambil menggenggam kotak biskuit bayi itu. Walau ia merasa sudah puluhan kali ia bergumam seperti itu sejak kedatangan kakakknya 6 hari yang lalu. Aurel hanya tersenyum melihat tingkahnya. "Aku cuci tangan dulu," kata Ricky sambil berdiri.
"Gak perlu," cegah Aurel. "Aku sudah menyiapkan ini untukmu." Ia memasukkan tangannya ke dalam saku bajunya dan mengeluarkan sebuah hand sanitizer. "Mana tanganmu?"
Ricky menjulurkan tangannya. Ia mulai merasa tidak nyaman karena terlalu diperlakukan seperti seorang pangeran. Setelah Aurel menyemprotkan hand sanitizer itu, akhirnya ia bisa menyantap makanannya.
"Wah, ternyata rasanya masih sama," komentar Ricky dengan mata berbinar-binar saat mencicipi pecel lele dan sambal itu. "Bahkan lebih enak dari Bi Suli," tambahnya dengan suara sedikit dipelankan.
Kedua mata cokelat Aurel berbinar-binar mendengarnya dan senyum lebar penuh kepuasan terukir di wajah manisnya. "Akhirnya, perjuanganku tidak sia-sia!"
"Perjuangan? Bukannya sebelum Kakak ke luar negeri, Kakak biasa membuatkan ini untukku?" Heran Ricky.
"Ya, memang sih" kata Aurel. "Tapi sebenarnya tidak ada persediaan lele di kulkas. Pedagang yang biasa aku membeli lele juga tutup. Jadi, aku ikut perlombaan menangkap lele menggunakan tangan di empang Ko' Aceng di kelurahan sebelah. Dan akhirnya aku mendapat juara dua dari puluhan warga!" Jelasnya penuh semangat. "Hadiahnya lumayan. Uang 500 ribu dan beberapa lele sebanyak setengah kilo."
Ricky menatapnya tidak percaya. Ia sungguh tidak menyangka kalau kakaknya itu akan rela repot-repot ikut menangkap ikan lele hanya untuk menyuguhkan sajian yang belakangan ini sudah jarang ia makan. Ia menunduk, menatap makanan itu sambil membayangkan perjuangan Aurel dalam menangkap ikan lele dan kotor-kotoran di dalam empang. Sungguh ia merasa tersentuh. Kalau saja ia tidak gengsi, mungkin ia sudah menangis di depan Aurel.
"Oh ya, Kak," panggil Ricky disaat suapan yang kesekian. "Senior OSIS minta foto dan tanda tangan kakak."
Aurel sedikit memiringkan kepalanya sambil tersenyum yang terlihat mencurigakan. "Tanda tangan dan foto harganya 10 ribu ya"
"Ada harganya?!" Ricky hampir tersedak saat tahu akan ada harga. "Kau bercanda kan?"
Aurel tertawa sejenak. "Memang bercanda."
Ricky menghembuskan napas lega. Pasalnya, kalau Aurel sungguhan memberi patokan harga, ia akan berpikir keras bagaimana cara mengatakannya pada senior-senior itu kalau mereka tidak mau membayarnya dan mengoceh yang tidak jelas.
Tapi untungnya, Aurel bukan tipe kakak meterialistis yang selalu menyulitkan adiknya dengan masalah uang.