Chereads / A Love For My Little Brother / Chapter 15 - Siapa Gadis Itu? 2

Chapter 15 - Siapa Gadis Itu? 2

"Rick, Rick, lu namain nomor HP kakak lu 'Crazy Sister' ya?" tanya Yoga saat ia disuruh Ricky—yang sedang memakai sepatu—untuk memegang ponselnya.

"Lu masih nyari nomor kakak gue?" kata Ricky keki.

"Nggak. Ini ada panggilan masuk dari dia," timpal Yoga sambil menunjukkan layar ponsel android Ricky.

"Ooh, sebentar," cepat-cepat Ricky menggunakan sepatunya lalu langsung mengambil ponsel dan mengangkatnya. "Halo?"

"Kiki, kamu pulang jam berapa?"

"Jam setengah 3, mungkin," jawabnya.

"Ooh ya udah. Aku tunggu kamu di sekolah, ya?"

"Iya terserah, tapi kakak jangan—"

"Tuutt... tuutt.. tuuutt..."

Ricky melihat layar ponselnya dan mendesah.

"Kenapa lu ngasih nama kontak kakak lu itu?" tanya Yoga di sela perjalanan mereka dari mesjid menuju kelas.

"Bukan urusan lu," balas Ricky cuek.

Yoga mendengus mendengar Ricky yang keras kepala untuk tidak menceritakan perihal kakaknya itu.

Di tengah perjalanan, saat melewati ruang guru, tiba-tiba mereka melihat seorang gadis dikuncir tengah sedang asik mengobrol dengan seorang guru perempuan.

"Hai, Kiki!" sapa Aurel.

Ricky hanya tersenyum sekilas meresponnya dan terlihat sedikit enggan untuk menemuinya. Mereka langsung menyalim guru itu saat mereka berdiri dihadapannya.

"Hai Kak Aurel!" sapa Yoga dengan semangat menggebu.

"Hai juga Yoga!" balas Aurel sambil tersenyum manis, cukup membuat Yoga salah tingkah.

"Ooh, mereka adikmu, Aurel?" tanya wanita berhijab hijau itu.

"Yang ini adik saya, Ricky Alfian dan ini Yoga temannya," jelas Aurel. "Oh ya, Kiki, Yoga, ini Bu Sri, guru Biologi kalian."

"Nanti Selasa, ibu akan mengajar di kelas IPA 4. Kalian kelas IPA 4, kan?" tanya Bu Sri.

"Bukan Bu, saya IPA 3. Hari Rabu nanti ibu ngajar," jawab Yoga.

"Ooh begitu," gumam Bu Sri. "Oh ya, Kiki, ibu harap kamu juga sama pintarnya dengan kakakmu ini ya di pelajaran ibu," katanya.

"Ehmm... saya usahakan," balas Ricky ragu. "Bu, panggil saya Ricky saja. Jangan Kiki."

"Ah iya bu, panggil Ricky. Panggilan Kiki khusus untuk saya saja, katanya." Aurel memperkuat pernyataan itu.

"Ahh... begitu ya?" gumam Bu Sri sambil mengangguk lambat.

"Nggak. Bukan begitu. Saya gak bilang—"

Sanggahan Ricky terpotong karena mendengar suara bel berdering. Tanda mata pelajaran terakhir akan dimulai.

"Habis ini saya ada matematika. Bu Sri, Kak Aurel, saya duluan," pamit Yoga sambil setengah berlari menuju kelas.

"Eh Ga, Tungguin!" seru Ricky. "Bu, saya pamit juga." Kemudian ia pun menyusul Yoga.

"Kalian lagi marahan, ya?" heran Bu Sri karena melihat Ricky tidak berpamitan dengan kakaknya.

"Nggak marahan. Dia memang biasa seperti itu. Agak pemalu sama kakaknya kalau di depan umum," jelas Aurel.

Bu Sri bergumam sambil mengangguk dan melihat punggung Ricky yang semakin lama menjauh darinya.

***

Setelah berdempet-dempetan dengan siswa-siswa lain menuruni tangga dari lantai tiga menuju lantai satu, akhirnya Ricky bisa menghirup udara segar di lantai dasar. Bel pulang telah berbunyi, sebab kenapa banyaknya siswa yang menuruni tangga dengan tas-tas besarnya.

"Ricky!"

Panggilan itu membuatnya menoleh ke kirinya, ke arah lapangan basket. Ternyata Caca memanggilnya dan sudah ada Wina, Yoga, dan Eza di sana.

"Apa?" kata Ricky

"Nongkrong yuk!" ajak Yoga.

"Iya, Ricky. Gue ada tempat bagus buat makan-makan," kata Caca.

(Duh males banget. Kenapa harus dadakan, sih,) batin Ricky mengeluh. Ia kurang suka jika ada yang mengajaknya dadakan seperti itu. Ditambah, sebenarnya ia belum terlalu dekat dengan mereka berempat. Ricky tidak paham mengapa mereka langsung dekat seperti itu. Padahal seingatnya, Yoga baru berkenalan dengan Caca dan Wina saat MOS. Apa mungkin mereka memang sudah nyaman satu sama lain sehingga mereka mudah sekali dekat? Baru kenal, langsung dekat. Ricky tidak pernah tahu dan tidak pernah merasakan itu sebelumnya. Tidak ingin menggantungkan mereka terlalu lama, akhirnya Ricky buka suara sambil merogoh dompetnya. "Lu pada inget kan kalau gue lagi krismon?"

"Krismon?" bingung Wina.

"Krisis money," jawab Ricky. Ia menunjukkan isi dompetnya yang hanya berisi recehan ribuan yang tidak sampai 10 ribu itu. "Kalau kalian mau traktir dan gue ada boncengan sih boleh-boleh aja," ujarnya sambil mengedikkan bahu.

Mendengar itu, mereka saling berpandangan dan sedikit berdiskusi.

"Duit gue mau habis lagi," ucap Caca.

"Yee apalagi gue," sambar Yoga.

"Motor cuman gue sama Yoga aja yang bawa," tambah Eza.

"Ya udah, berarti gak usah ikut aja." Wina menarik kesimpulan.

"Yaah... masa gak ikut lagi sih" keluh Caca.

"Yaa mau gimana lagi?" kata Wina sambil mengedikkan bahu.

Yoga baru teringat satu hal. "Oh iya, ajak kakaknya aja. Gue denger dia masih di sini buat jemput Ricky."

"Oh iya, bener. Tumben pinter." Caca menanggapi.

Lalu mereka pum kembali menghadap koridor yang seharusnya Ricky masih ada di sana. Tapi, sekarang sudah tidak ada.

"Ke mana dia?"

"Tuh mobilnya Kak Aurel, kan?" tunjuk Wina pada mobil beetle putih yang berjalan keluar gerbang sekolah.

"Iya. Yah! Kelamaan diskusi sih lu pada," gerutu Caca.

"Lu yang mulai duluan, Ca!" protes Eza.

"Ya udah lah ya, lain kali aja kita ngajaknya. Wajar juga kan kalau dia keliatan males gitu, dia kan belum kenal banget sama kita," jelas Wina. "Sedangkan kita sendiri udah deket dari SMP," tambahnya.

"Iya juga sih. Tapi kan—"

"Udah ah Ca, ayo cabut!" Wina langsung menarik Caca menuju parkiran sekolah.