Beberapa hari sudah berjalan dari pertama kali Aurel melatih di klubnya. Setidaknya hari-hari yang belakangan Ricky jalani ini, sudah kembali membaik dan ia sudah membiasakan diri dengan kehadiran Aurel yang tiba-tiba di sekolahnya karena jadwal melatihnya. Uang jajan Ricky sudah kembali ke batas normal, yaitu 100 ribu per minggu, yang sebelumnya pernah diturunkan sampai 50 ribu per minggu. Bisa dibilang lumayan untuk memenuhi kebutuhan di sekolah yang biasanya perlu minimal 15 ribu per hari. Setelah Ricky dan Aurel saling meminta maaf 'lagi' tepat di depan ayahnya, kehidupan kembali normal. Hari-hari biasa di sekolah untuk menuntut ilmu dan bertemu kawan-kawan. Namun, sayangnya, ada satu hal yang membuat Ricky sedikit jengkel untuk hari Jumat ini, 4 hari setelah kelompok untuk mata pelajaran kewirausahaan telah terbentuk dan tugas membuat kerajinan dari kain perca telah dibagikan.
"Ricky, kita ke rumah lu aja, ya?" tanya Caca.
"Kenapa harus rumah gue?"
"Ya karena yang lain pada gak bisa. Rumah gue mau ada acara nanti malam, rumah Lita lagi ada renovasi, dan rumah Fani jauh," jelas Caca.
"Rumah Andi gimana?"
"Lo tanya sendiri, gih." Caca mengedikkan kepalanya ke arah laki-laki yang sedang fokus dengan ponselnya itu.
"Gak bisa. Lagi ada acara besar, " jawab Andi tanpa menoleh sedikit pun.
Ricky mendecih sebal dengan sifat Andi yang kelewat dingin dan acuh itu. "Di perumahan gue ada taman. Di sana aja, gak jauh kok," saran Ricky.
"Oh, ya sudah terserah," kata Caca yang letih menghadapi Ricky yang keras kepala itu. "Sekarang bisa, kan?"
"Sekarang?" kaget Ricky.
"Iya, kapan lagi? Hari Senin kan tugasnya sudah harus dikumpul," jawabnya.
"Gimana kalau hari Sabtu aja, Ca?" usul Fani yang tiba-tiba muncul. "Sekarang desainnya aja dulu, baru besok di buat."
"Nah, betul tuh, sekarang desainnya aja," setuju Ricky.
"Ini aku sudah buat desainnya," Lita beranjak dari kursi dan menunjukkan model kerajinan di selembar kertas.
"Tas selempang? Boleh sih, tapi apa nanti nggak kelamaan buatnya?" kata Caca.
"Kenapa gak yang kecil-kecil aja? Kayak boneka kecil gitu?" saran Fani.
"Ohh... ehmm, ya boleh juga." Lita tersenyum tipis sambil mengambil kertasnya kembali. Walau ekspresinya tampak biasa, sebenarnya ia sedikit kecewa.
"Memangnya kenapa kalau tas?" Ricky angkat bicara. "Kan ada kakak gue, dia bisa rapihin lagi kalau nanti sudah setengah jadi."
"Ya gue terserah aja sih," kata Caca sambil mengedikkan bahu. "Lagian gak apa-apa juga kalau tas. Biar beda dari yang lain, soalnya kebanyakan yang lain itu benda-benda kecil," lanjutnya. Fani hanya mendelik tidak percaya pada Caca.
"Ya sudah, besok siang jam 1 sudah pada di taman. Nanti gue kirim lokasi ke grup chat kita," ujar Ricky. "Ada tempat teduhnya kok. Jadi gak usah khawatir panas," tambahnya, seakan ia baru saja membaca pikiran ketiga gadis itu.
***
Ini sudah 30 menit Ricky menunggu di bawah payung besar yang menaungi kursi dan meja di salah satu sudut taman. Caca bilang, ia sebentar lagi akan sampai di lokasi bersama Fani, Lita, dan Andi setelah Ricky memberitahu rute lebih rinci yang harus ditempuh. Tapi nyatanya apa? Kali ini sudah 30 menit lebih, mereka tak kunjung datang. Sampai ia mendapat pesan dari Lita, kalau ternyata mereka berempat sudah sampai di rumah Ricky dan mereka sedang duduk di ruang tamu menunggu kehadirannya.
"Argh sial!!" rutuk Ricky sambil bergegas kembali ke rumahnya. (Kalau sampai Kak Aurel lihat ada perempuan di rumah, bisa habis uang tabungan gue!)
Pintu yang tertutup cukup keras, cukup membuat keempat tamu yang duduk di sofa itu terhentak kaget.
"Pasti abis lari-lari," komentar Fani saat melihat Ricky yang sudah bercucuran keringat.
"Kalian... kalian ngepain ke rumah gue?"
"Emangnya kenapa, sih? Rumah lu kan gede. Buat apa ribet-ribet ke taman bawa-bawa peralatan gitu kalau rumah lu ada semuanya, Rick?" kata Caca keki.
"Ah bukan gitu maksud gue." Ricky duduk di lantai sambil menjulurkan kakinya. "Ngomong-ngomong, yang tau rumah gue di sini siapa?"
"Andi," jawab Lita. "Dia itu tetangga Ricky, kan."
"Serius? lu emangnya tinggal di mana, Di?" kaget Ricky.
"Tahu rumah warna putih yang di depannya ada patung kudanya, 2 blok dari sini?" kata Andi.
"Kayaknya pernah lihat. lu tinggal di sana?"
"Nggak. Itu rumah paman, kadang-kadang main ke sana," jawabnya sebelum matanya kembali beralih ke layar ponsel yang sedang dimainkannya.
Tiba-tiba terdengar suara klakson mobil di luar rumah. Cepat-cepat Ricky segera berdiri dan mengintip siapa yang datang. Sebuah mobil beetle putih dan ia tahu pasti siapa yang datang.
"Mending sekarang, lu pada ke kamar gue." Ricky mulai terlihat panik.
"Gue gak tau kamar lu di mana, Rick," kata Fani.
Ricky pun segera mengantar teman-temannya menuju kamarnya di lantai dua. "Yang cewek-cewek jangan berisik dulu, ya," pinta Ricky sambil menyuruh ketiga gadis itu untuk masuk ke kamarnya. "Andi, lu juga jangan--"
"Kiki?"
Sekujur tubuh Ricky merinding seketika saat mendengar suara Aurel di belakangnya. Ricky langsung menutup pintu kamarnya pelan dan berbalik arah menghadap ke Aurel.
"Eh ada Andi juga," Aurel menghampiri kedua laki-laki yang langsung menyalimi tangan Aurel itu. "Kenapa gak bilang-bilang mau ke sini? Kan aku bisa beli kue dulu nanti."
"Gak usah repot-repot," kata Andi.
"Iya, gak usah repot-repot," tambah Ricky. "Eh, tapi kakak tahu dari mana kalau ini Andi. Aku belum mengenalkannya ke kakak, kan?"
"Andi kan tetangga kita dalam satu perumahan. Jadi aku tahu," ucap Aurel santai.
"Oh gitu. Kok Kak Aurel pulangnya cepat? Nanti kakak keluar lagi gak?"
"Aku hanya mengecek butik dan menemui klien saja. Aku lagi ingin mengerjakan pesanan klien di rumah. Memangnya kenapa?" heran Aurel.
"Gak kenapa-kenapa," jawab Ricky cepat.
Aurel mengangguk lambat. "Baiklah, aku ke kamarku dulu. Semoga kamu nyaman di sini ya, Andi," katanya sambil tersenyum lembut sebelum ia melangkah melewati mereka menuju kamarnya.
Setelah itu, Ricky dapat masuk ke dalam kamarnya dengan perasaan sedikit lebih tenang.
"Cowok otaku akhirnya masuk kamar juga," komentar Fani lagi-lagi menyambut kehadirannya.
"Gue gak nyangka ternyata lu suka kartun," sambar Caca sambil melihat poster-poster yang tertempel di dinding kamar.
Ricky benar-benar merasa jengah dan rasanya ingin sekali pindah planet saat ada orang selain keluarganya yang melihat isi kamarnya yang penuh dengan poster animasi Jepang itu. Kunjungan mereka benar-benar mendadak sampai-sampai ia tidak sempat menyembunyikan seluruh koleksinya di suatu tempat.
"Setiap orang punya kesukaan beda-beda, kan, Ca," timpal Lita, bermaksud membela Ricky.
"Iya, sih. Tapi ya sudah lah, ayo mau mulai dari mana?" ajak Caca sambil mengeluarkan benang dan kain perca yang dibawanya dari dalam tas.
"Eh SUMPAH! DEMI APA?" Tiba-tiba saja, Fani menjerit histeris saat meliha layar ponselnya. "Ca, lihat deh Ca! BTS kita menang award lagi!!"
"Serius lo, Fan?" Caca langsung melihat ponsel Fani dan seketika kedua gadis itu pun histeris kegirangan.
Saat Ricky hendak menegur mereka untuk tetap tenang, tiba-tiba saja pintu kamarnya terbuka dan seseorang melongokkan kepala dari luar.
"Kiki, kenapa be—oh masih ada tamu lagi." Ternyata itu Aurel. "Adik-adik, tolong jaga suaranya ya. Kakak lagi fokus kerja di kamar sebelah," tegurnya seramah mungkin.
"Maaf kak," sesal Caca dan Fani hampir bersamaan.
"Terima kasih," ucap Aurel sambil tersenyum manis. "Kiki, bisa keluar sebentar? Aku ingin bicara."
Ricky mendesah sambil berdiri. Lalu ia keluar sambil melempar tatapan sinis sekilas pada Caca dan Fani. Caca sempat tertegun mendapati tatapan tersebut, sebelum akhirnya ia mulai merasa bersalah.
***
"Mereka datang cuman buat tugas kelompok aja, kak. Gak ngepain-ngepain kok." Ricky langsung menjelaskan sebelum Aurel buka suara.
"Tapi tidak di sini bisa, kan? Di taman lagi sepi-sepinya sekarang," timpal Aurel sambil melipat tangan.
"Merekanya datang sendiri ke sini, padahal aku sudah memaksa mereka datang ke taman itu!" Semakin lama emosinya semakin meningkat. Tapi ia usahakan untuk tidak terlalu tinggi sampai ke kamarnya. "Iya aku tau kalau gak boleh bawa perempuan ke rumah itu salah satu janjiku. Tapi kenapa? Kenapa gak boleh gitu?"
Aurel terdiam dengan ekspresi dingin dan tatapan yang tidak dapat diartikan.
"Iya iya. Mau pelindung HP kan? Aku buka dulu celengannya, besok aku belikan. Tenang aja." Ricky memberikan senyum palsunya. "Aku masuk dulu."
"Tunggu sebentar," cegah Aurel sambil menarik tangan Ricky. "Gak apa-apa. Sebenarnya aku juga tidak ingin pelindung HP baru saat ini. Pelindung HP lama masih bagus. Kamu ingin tahu kenapa aku melarang kamu bawa perempuan ke sini?" Aurel kembali tersenyum dan bersikap biasa.
"Seriusan, nih? Asik!" Ricky tampak senang sekali saat tahu kalau ia tidak perlu membeli casing HP itu. "Memang karena apa?"
"Karena...," Aurel menarik tangan Ricky dan membawanya sedikit menjauh dari depan pintu kamarnya. "Umumnya, perempuan itu lebih matre dari laki-laki."
"Terus?"
"Aku takut kamu dimanfaatkan sama mereka," bisiknya.
Ricky tertawa sekilas mendengarnya. "Ya elah kak. Kerjaannya su'udzon terus," celotehnya.
"Ng-nggak su'udzon, cuman jaga-jaga aja. Soalnya—"
"Udah ah, aku mau lanjutin kerja kelompok dulu," Ricky menuju pintu kamarnya, "Lagian juga, aku bisa bedain kok mana teman yang manfaatin aja sama yang nggak." Lalu ia masuk ke dalam kamarnya.
Aurel masih terdiam di tempatnya dan hendak memikirkan sesuatu. Ia menyelipkan rambut hitamnya ke belakang telinga sambil melangkah menuju kamarnya kembali. Saat ia sudah berada di dalam kamar yang bernuansa ungu itu, tiba-tiba ia menginjak sebuah foto. Ia mengambil foto yang menampilkan dirinya sedang dirangkul oleh seorang laki-laki. Mereka berdua mengenakan seragam SMA dan terlihat sangat dekat. Aurel meremas foto itu dan melemparnya ke sembarang arah untuk meluapkan emosinya.
(Aku hanya ingin kamu tidak merasakan apa yang aku rasakan dulu, Kiki!)