Nafasku terengah, sementara kedua kakiku terus menghentak bumi dengan harapan agar aku bisa cepat menjauh dari semua yang ada di belakangku.
Bergerak cepat di antara rumah-rumah kosong yang hancur dan sebagian rata dengan tanah, di bawah biru langit yang kini merah darah. Udara penuh dengan bau debu dan kehancuran membuat semuanya terasa lebih berat.
Aku harus tetap berlari, karena semua makhluk hitam itu terus mengejarku tanpa henti.
"TOLONG!!! TOLOOONG!!!" Aku berteriak menghabiskan suaraku, meski aku tahu itu jelas percuma. Tak ada seorang pun di sini. Semua menghilang.
"Grrrrrh..."
Rasa lelah dan putus asa membuatku akhirnya tersudut di sebuah tebing.
"Jangan mendekat!!" aku berteriak.
Sembari bergetar, aku menggeser kaki ke belakang sementara ujung tumitku menjadi sensitif untuk merasakan dimana batas pijakan. Hanya satu langkah saja menuju ombak yang ganas di antara karang-karang di bawah sana.
"Berhenti… jangan mendekat." pintaku putus asa dengan tenggorokanku yang sudah terbakar.
Aku menangis dengan hati yang hancur karena rasa sepi bercampur putus asa yang memuncak. Sementara semua makhluk hitam itu semakin dekat… sempat terbesit di kepalaku untuk mengakhiri semua, aku hanya tinggal pasrah membiarkan tubuhku menembus angin ke bawah sana.
Akan tetapi hati kecilku begitu teguh membuatku tetap berdiri tegak.
Dengan suara terakhir yang kumiliki…
"Kumohon… tolong aku..."
Tiba-tiba sesuatu jatuh dari langit, seperti halilintar menyambar. Seketika makhluk-makhluk hitam itu hancur, disintegrasi, perlahan seperti debu yang ditiup angin.
Ada sosok dibalik sambaran halilintar itu, ia berdiri tegak kemudian berkata…
"Apakah aku ketinggalan sesuatu?"
"Kamu terlambat..."
***
Pagi tiba, aku bangun dengan perasaan yang kompleks, sama seperti hari-hari sebelumnya. Ada rasa syukur karena aku masih hidup.., namun ada juga perasaan gelisah karena harus menghadapinya.
Kulihat jam di meja sisi kasur sebuah jam digital menunjukkan pukul 6 pagi.
"satu jam lebih pagi dari kemarin..."
Segera aku keluar dari tempat tidur dan berdiri tegak, melawan segala keinginan untuk kembali berselimut. Karena, jika aku melakukan itu, pasti akan kesiangan.
Kukenakan kacamataku dan bersiap untuk pergi sekolah setelah aku mandi dengan cepat. Semua sudah siap, seragam yang sudah disetrika dan menggantung rapi di dinding. Buku materi hari ini juga sudah kusiapkan di dalam tasku. Aku yakin tak ada yang terlewat.
Di luar, matahari baru saja terbit menyajikan pendaran sinar yang lembut. Sementara lampu masih menyala aku perhatikan pantulan wajahku di cermin. Seorang gadis 17 tahun dengan kulit pucat dan rambut hitam panjang dan lurus. Kusisir rambutku seadanya, hanya pada bagian yang diperlukan.
Aku diam sejenak, munculah ingatan tentang mimpi yang aku memimpikannya tadi.
"Mimpi hari ini… sangat aneh." Singkat saja komentarku tentangnya berusaha untuk tidak ambil pusing, meski sebenarnya aku tetap heran.
Aku berjalan ke pintu kamarku dengan berjinjit, tak ingin menginjak tumpukan-tumpukan koleksi buku yang sudah tak muat di rak buku kamarku. Mereka terlalu berharga untuk aku injak, meski begitu ada juga perasaan repot oleh buku-buku ini.
"Mungkin aku harus membereskan ini… ya, suatu hari nanti." Kataku dengan nada sarkas karena aku juga ingat kemarin mengatakan hal yang sama.
Kemudian aku berdiri di depan pintuku dengan tangan yang berhenti di gagangnya. Satu tahun terakhir sungguh membuatku sulit untuk membuka pintu ini setiap harinya.
"Aku harus tetap ke sekolah." kataku meyakinkan diri setelah menghela napas. Segera kubuka pintu kamar agar keraguan tak segera menyusul sehingga aku membuang banyak waktu hanya di depan pintu kamarku sendiri.
Menuruni tangga, kudapati Mama tengah memasak sambil menelpon Ayah.
"Maaya, kamu bangun pagi sekali. Hmmm? Ah, iya sayang. Anak kita sudah cantik seperti biasa… ya… hmm... Iya, dia baik-baik saja. Kamu tidak perlu khawatir."
Aku cuma tersenyum simpul mendengar pujian itu sambil berjalan menuju dapur. Aku mengisyaratkan dengan tanganku apakah aku bisa menggantikannya memasak. Mama hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala.
"Permisi! Susu segar!" Tiba-tiba suara terdengar dari luar saat aku akan mendekati Mama.
"Maaya, tolong Mama ya?" Pintanya menoleh ke arahku sementara tangannya masih sibuk memasak.
Aku mengangguk, meski ada perasaan enggan. Bukan karena aku malas, bukan karena aku tak suka susu segar, bukan juga karena aku tak ingin patuh pada Mama, melainkan yang mengirimi susu segar itu tak lain pasti Paman Juro.
"Pagi Maaya!" suaranya menyambar seketika saat aku membukakan pintu. "Silakan, susu hari ini. Semuanya masih segar!"
"Terima kasih, Paman." Aku melihat sekilas ke dalam kardus yang berisi susu segar, ada empat botol besar di dalamnya. "Seperti biasanya, jumlahnya pas."
"Sama-sama, Maaya. Kamu sudah siap ke sekolah?"
"Hari ini aku bangun lebih pagi, jadi ya, kenapa nggak siap-siap dari awal?"
"Cuaca cerah begini, memang cocok ya kalau bangun lebih pagi." Katanya semangat sambil melihat langit tanpa awan. "Aroma musim semi juga sudah mulai tercium."
"Paman juga semangat seperti biasanya."
"Pastinya dong, semalam aku mimpi sangat indah." Begitu kata-kata itu keluar dari mulutnya, aku sangat tahu kalau ini akan jadi percakapan yang panjang. Kenapa? karena dia nyaris selalu bercerita tentang itu. lagi dan lagi.
"Tentu saja, Paman." kataku dengan nada setengah malas.
"Eits, kamu pasti berpikir kalau aku akan menceritakan hal yang sama ya?"
"Aku bahkan tak ingat, Paman bercerita apa minggu lalu."
"Kamu mau dengar lagi? Ohoho, dengan senang hati aku akan menceritakannya! Jadi..," Inilah yang membuatku sedikit malas bertemu dengannya, terkhusus jika dia mulai bercerita soal mimpi. Selama setahun terakhir aku jadi sering bertanya-tanya, apakah menceritakan mimpi pada siapapun adalah sesuatu yang lazim dilakukan? Kenapa begitu mudahnya bisa menceritakan hal yang menurutku sangat personal seperti itu?
Mendengarnya begitu bersemangat, aku hanya bisa maklum. Aku saat ini lebih ingin mengingat bagaimana Paman Juro adalah seorang pemilik peternakan yang sangat ramah dan selalu mengundang aku, Ayah, dan Mama main ke peternakannya.
"Maaya, apakah kamu sudah selesai? bisa bantu Mama? Bilang juga pada Paman Juro terima kasih!"
"Iya, Ma!" Aku sedikit berteriak ke dalam rumah, memastikan suaraku didengar. "Paman, maaf. Mama memanggil."
"Aduh, padahal belum sampai ke bagian paling seru. Sampaikan salam pada ibumu ya."
"Baik, Paman. Hehe, mungkin lain kali."
"Kalau begitu aku permisi, pesanan susu yang lain masih menunggu."
"Baik, terima kasih, Paman. Hati-hati di jalan."
Aku masuk ke dalam, kemudian membantu Mama membereskan tempat makan dan dapur.
"Terima kasih ya, Maaya. Ayo sarapan dulu."
Sajian makanan sarapan pagi sudah tersedia di atas meja. Waktu sampai aku mesti berangkat ke sekolah pun masih tersisa banyak. Aku berpikir, apa yang mesti kulakukan di sela-sela waktu itu?
Pergi ke taman? Uh… lebih baik tidak, kursi dan ayunan di sana pasti masih dingin.
Membaca buku? Ah, aku sering lupa waktu. Terlebih buku yang ada sudah habis semua kubaca.
Tiba-tiba terbersit lagi mimpi yang tadi, terutama tentang lelaki yang menyelamatkanku di akhir mimpi itu. Siapa dia? aku bahkan tak bisa mengenali atau bahkan melihat wajahnya. Cukup jelas, dia adalah orang asing. Karena aku hanya mengenal beberapa orang lelaki saja dalam hidupku, bisa dihitung dengan sebelah tangan, dan itu termasuk Ayah juga Paman Juro.
"Maaya… hey, kok melamun?"
"Hmm? Nggak, Ma. Aku… aku cuma… memikirkan sesuatu."
"Kamu melamunkan apa sih…? hmm? Jangan-jangan..."
"Apa sih, Ma?"
"Cowok ya?"
"Nggak!"
"Ya ampun, anak mama sudah besar."
"Apaan sih… Bukan apa-apa kok."
"Heee, masa sih?" Mama tampak semangat sekali menggodaku.
Aku hanya menggeleng, tak menjawabnya dengan kata-kata.
"Judesnya mulai deh. Ya sudah kalau begitu, hmmm… oh iya, Mama baru dengar kalau Sakamoto-san jatuh sakit."
"Sakamoto-san?" Tanyaku dengan sepotong roti yang masih menggantung di mulutku.
"Kamu ini, masa tidak ingat dengan nama wali kelasmu sendiri?"
"Hmm? Mama kok kenal dengan Sakamoto-sensei?"
"Mama kenal dekat dengan istrinya. Kemarin saat belanja, Mama kebetulan sekali bertemu dengannya."
"Mama tahu, Sakamoto-sensei sakit apa?"
"Entahlah, tapi kata istrinya, Sakamoto-san tak bisa bangun sejak hari jumat kemarin."
"Eh? Tidak bisa bangun… yang tidak bisa bangun?" Tanyaku hambar. Rasanya mendengar ucapan Mama yang barusan langsung menghilangkan rasa di mulutku. Begitu saja aku langsung berpikir kalau Sakamoto-sensei telah meninggal.
"Bukan, bukan tidak bisa bangun yang itu. Istrinya sendiri yang bilang kalau diagnosa dokter menyatakan kalau suaminya baik-baik saja secara fisik, tapi memang tidak bangun selama dua hari berturut-turut itu sangat mengkhawatirkan."
Ponsel Mama kemudian berbunyi, sepertinya ia menerima pesan. Mama langsung mengambil dan membuka isinya.
"Hmm, baru saja dibicarakan..."
"Sakamoto-sensei?"
"Dari istrinya, katanya suaminya masih belum bangun. Dokter masih belum tahu penyebabnya… kasihan sekali. Mama nanti mau menjenguknya. Kamu mau ikut?"
Aku mengangguk mengiyakan.
"Oke, nanti Mama jemput kamu ya?"
"Eh? di sekolah?"
"Malu ya? Dih, anak jaman sekarang."
"Enggak sih..."
"Kita ketemu di Hattsu Cafe?" Tawar Mama.
Aku mengangguk sambil terus mengunyah makanan.
"Ngomong-ngomong, Maaya, kamu tahu siapa yang nanti akan menggantikan Sakamoto-san?"
"Mungkin guru yang lain… atau mungkin guru yang baru?" Kataku menebak-nebak. Bagaimana bisa aku tahu? Tentang keadaan Sakamoto-sensei saja aku baru tahu dari Mama.
Mama kemudian senyum-senyum.
"Apa lagi sih, Ma?" Kataku malas, pasti Mama tahu siapa yang akan menggantikan Sakamoto-sensei.
"Mama juga baru dengar nih, ada yang sering pulang pergi dari sekolah kamu akhir-akhir ini."
"Siapa?"
"Siapa ya??" Katanya menggodaku.
"Ih, apaan sih, Mama."
"Hehe, nanti kamu juga akan tahu."
"Gosip deh."
"Bukan dong, ini namanya jaringan informasi Ibu-Ibu." Katanya bangga.
"Aku sudah selesai." Segera aku bereskan piring dan mangkok serta mencucinya.
"Mama nanti tunggu kamu sepulang sekolah ya, kita langsung ke rumah sakit."
"Iya, Ma."
Kemudian aku kembali ke ruanganku mengambil tas, dan kembali. Kukenakan sepatuku lalu berpamitan pada Mama.
Sampai di gagang pintu… kali ini perasaan takut mulai muncul kembali dan menggerayangi perasaanku lebih kuat. Aku sadar, kali ini aku bukan sekedar membuka pintu agar susu segar bisa masuk ke dalam rumah… yang akan aku lakukan adalah pergi berjalan, menjauh dari rumah menuju sekolah.
Perasaan itu jelas berbeda, perasaan itu jelas nyata adanya. Hingga yang kulakukan cuma diam menggenggam gagang pintu.
"Maaya? apakah kamu baik-baik saja?" Dari nada suaranya, Mama jelas khawatir. "Waktunya masih lama lho."
Tanpa menoleh, aku hanya mengatakan "Iya, aku tak apa-apa. Hanya memastikan tali sepatuku sudah rapi."
"Baik-baik di sekolah ya." Kata Mama lembut.
"Aku berangkat..."
"Oh, iya! Tunggu-tunggu! Untung saja kamu belum berangkat, hampir saja Mama lupa bekal kamu." Mama segera pergi ke dapur lalu kembali seketika, menyerahkan sekotak bekal yang dibungkus dengan kain.
"Hehe, hari ini kainnya pink. Terima kasih, Ma."
"Hati-hati di jalan."
***
Suara renyah pengunci pintu bertautan baru saja terdengar dan sesosok anak kesayangan yang baru saja meninggalkan rumah.
Sang Ibu yang dengan penuh kasih sayang dipanggil Mama oleh anaknya itu selalu saja merasa khawatir. Apakah dia baik-baik saja di jalan? Bagaimana hubungan dia dengan lingkungannya di sekolah? Apa yang anaknya lakukan? dan semua hal tentang keselamatan anaknya berlalu lalang di kepalanya.
Ponselnya berbunyi lagi. Telepon dari suaminya.
"Hai, Sayang… Iya, Maaya baru saja berangkat."
Sang Ibu berjalan pelan ke dapurnya, memastikan ia mendengar semua yang dibicarakan oleh suaminya.
"Maaya adalah anak yang kuat. Kamu tak perlu khawatir. Lalu, bagaimana dengan permohonan mutasi yang kamu ajukan?"
…
"Begitu ya, belum ada tanda-tanda positif."
...
"Iya… aku tahu kita ingin segera pindah dari sini demi Maaya. Seperti yang kubilang waktu itu, Maaya punya masalah di sekolahnya, tapi dia tak mau membuat kita khawatir."
…
"Dia anak yang kuat dan aku ingin menghargai usahanya. Biarkan aku di sini terus mensupport Maaya, Sayang. Kamu bekerjalah di sana tanpa khawatir. Biar aku yang mengurus semua tentang Maaya. Aku akan pastikan dia baik-baik saja."
…
"Iya, sama-sama. Jaga kesehatan… hmm? Ya begitulah, orang-orang di sini masih saja suka bercerita soal mimpi indah. Setiap hari! Sampai-sampai bosan dengarnya."
…
"Hmm… tapi, aku baru saja dengar suami temanku di sini tak bisa bangun."
…
"Bukan, bukan tak bisa bangun yang itu. Sudah dua hari tidak bangun setelah tidur, aku pun belum tahu pasti. Nanti siang aku dan Maaya berencana menjenguk keluarganya..."
…
"Entahlah… hmm, apa mungkin ya ini ada hubungannya dengan orang-orang di sini sering bercerita tentang mimpi sejak satu tahun yang lalu?"
…
"Aneh juga… padahal kita tak pernah mengalami yang seperti itu, ya… Sementara itu, anak kita… hmm… ya, aku mengerti."
…
"Iya… sudah satu tahun sejak kamu harus pindah kantor… hmm..."
…
"Hmm…. hmm… ya, aku tunggu kabar baiknya ya, Sayang. Sehat-sehat di sana."
Setelah ia memastikan telepon terputus, sang Ibu menghela napas kecil.
"Mama berharap, mulai sekarang kamu tidak lagi bermimpi buruk, Maaya..."
***