"Terimakasih Bu guru..."
Aku mengangguk sebagai balasan, segera membawa peralatan mengajarku keluar dari kelas. Hari ini sudah terhitung seminggu sejak pertama aku mulai mengajar di sekolah kejuruan di desaku.
Sejauh ini, aku masih tidak begitu nyaman. Terutama dengan keterbatasan fasilitas di desa yang jauh berbeda dengan di kota. Belum lagi, teman kantorku yang berbeda usia denganku.
Namaku Ana, Liana. Lima tahun lalu aku meninggalkan desa ini setelah dinyatakan lulus jalur SBMPTN di salah satu perguruan tinggi negeri terbaik di negeri ini. Kemudahan akses dan segala macam membuatku tumbuh di tengah modernisasi. Aku menimati hidupku sebagai calon guru muda, dan sesekali mulai mengajar di platfom edukasi berbasis online.
Setahun setelah lulus, orangtuaku memaksaku untuk pulang. Kondisi Bapak yang usianya sudah rentan dengan segala penyakit menjadi pertimbangan utamaku untuk memutuskan tinggal di desa. Hingga akhirnya Masku membantuku untuk bisa mengajar di sini.
Tidak begitu buruk sebenarnya, karena jaringan internet tenyata sudah lancar, bahkan sudah ada wifi di rumah. Sangat jauh berbeda dengan lima tahun lalu.
Tapi tetap saja aku tidak nyaman. Sepupu-sepupuku juga sering menyindir dengan kalimat 'sekolah jauh-jauh ujung-ujungnya jadi guru di desa'. Kadang aku juga ingin menjambak mereka karena tidak terima, tapi ya sudahlah. Toh apa bedanya aku yang berpendidikan dengan mereka yang tidak terdidik kalau aku ikut-ikutan berperilaku jadul.
"Mbak Ana ada yang cariin," Bu Farah menghampiriku dengan wajah usil. Usianya delapan tahun di atasku, sudah menikah dan memiliki dua orang anak kembar.
"Sek,"
"Udah dari tadi lho,"
"Siapa memang?" Tanyaku, masih sibuk membereskan meja kerjaku.
"Tuh!" Bu Farah menunjuk sosok pria bertubuh tegap dan matang, sedang dikerumuni ibu-ibu guru. Aku tidak tahu kenapa dia begitu seterkenal itu.
Aku menelan ludah, merasa terintimidasi. "Ah, ya..."
Segera kubawa tasku menjauh, menghindari pertanyaan Bu Farah yang mungkin menjerumus ke area pribadiku.
Aku berdiri agak jauh dari Mas Janu, tapi pria itu bisa menangkap kehadiranku dengan cepat.
"Mas cari aku?"
"Mau jemput," jawabnya membukakan pintu mobil untukku. Ini sudah yang ketiga kalinya diantar beliau, dan sekarang malah tidak enak.
"Bapak yang suruh ya?"
"Saya kebetulan tidak sibuk,"
Oh, dia sendiri.
"Uhm..." Mas Janu mengemudikan mobilnya meninggalkan lapangan parkir, menyisahkan keheningan di antara kami berdua.
Aku paham, Mas Janu ini anak tertuanya Pak Basuki, pemilik perkebunan kelapa sawit yang luasnya berhektar-hektar itu. Sejak kedatanganku, Bapak selalu membawa-bawa nama beliau di tengah percakapan kami.
Terakhir, yang kutahu dan kuduga, Bapak hendak menjodohkanku dengan duda kaya ini.
Ya, Mas Janu adalah seorang akuntan dengan status duda satu anak. Pisah dengan istrinya dan anaknya ikut bersama mantannya itu. Mendudanya beliau membuat banyak orang tua di desa yang menyodorkan anak gadisnya untuk dinikahi oleh Mas Janu.
Tapi aku tidak pernah sepaham kalau Bapak juga hendak begitu. Karena Bapak terikat kerjasama dengan pengelolaan sawah bersama Mas Janu, barangkali bisnis mereka membuahkan hubungan baik seperti sekarang. Yang tidak aku pahami adalah, kenapa pria itu sukarela mangantar jemputku ke sekolah.
"Bagaimana mengajarnya?"
"Ya, begitulah Mas," aku tersenyum kikuk.
"Saya dengar kamu tidak suka sekolah yang ini, kenapa?"
"Gapapa sih, Mas. Aku masih menyesuaikan dengan lingkungan di sini juga, beda lah dengan yang di kota,"
"Bedanya?"
"Hm? Ya... kurang ramai saja. Teman kerja juga pada sudah berkeluarga semua, tidak ada yang seumuran dengan aku. Kalau ngobrol pasti topiknya ga jauh-jauh dari rumahtangga," keluhku.
"Oh," dia mangut-mangut membuatku tak paham.
"Mas sendiri? Kata Bapak kerja jadi auditor ya? Di desa bukannya kebanyakan UMKM? Sistem keuangannya juga lebih sederhana, tidak seperti perusahaan besar yang perlu diaudit segala,"
Mas Janu malah tersenyum tipis. "Bapak suka menceritakan saya dengan kamu?"
"Engh?"
"Saya lupa kamu guru akuntansi juga,"
"Iya,"
"Saya beberapa kali dalam sebulan akan ke kota mengurus pekerjaan, di desa juga saya tetap harus mengurus perkebunan. Kerjasama dengan bapak kamu merupakan pekerjaan yang melibatkan banyak perhatian khusus,"
Mas Janu menyudahi obrolannya ketika mobilnya sudah tiba di depan rumah.
"Mampir dulu Mas, aku ambilkan minum,"
Mas Janu mengangguk, mengikutiku turun.
"Lho, anak Bapak sudah pulang po?" Sambut Bapak setelah aku menyalaminya. Sekarang beliau tidak bisa kemana-mana kalau tidak begitu penting, dokter tidak membolehkan Bapak sampai lelah.
"Duduk Janu," Bapak mempersilahkan dengan ramah.
Aku berlalu ke dapur, mendapati Ibu yang hendak ke depan. "Ada siapa to?"
"Mas Janu, Bu,"
"Oalah, ayo ganti pakaian. Ibu tak buatkan minum dulu,"
"Inggih,"
Aku tidak jadi ke dapur, berputar kembali ke tangga menuju lantai dua di mana kamarku dan kamar Mas Radit berada, walau kadang Masku itu jarang di rumah karena sudah punya rumah sendiri bersama keluarga kecilnya dengan Mbak Ayu.
Aku sebenarnya tidak begitu akur dengan kakak ipar, kami punya persepsi dan cara memandang segala sesuatu yang berbeda. Meski bisa dikatakan manusiawi, tetap saja tidak aku pungkiri kalau hubunganku dengan Mbak Ayu tidaklah sehat. Kami pernah beberapa kali terlibat percakapan panas melalui telepon karena Mbak Ayu mendesakku pulang ke desa membantu mengurus Bapak yang sakit sementara waktu itu aku masih segar-segarnya jadi sarjana.
"Sini duduk dekat Bapak, nduk," Bapak menepuk kursi di sebelahnya. Setelah memastikan tubuhku segar kembali, segera aku berlalu ke depan dan mendapati Bapak Ibu bercengkrama dengan Mas Janu.
"Ini lho, Masnya. Yang sering diceritakan Bapak,"
Aku tersenyum jengah. "Inggih, tadi sudah mengobrol Pak,"
"Ho'oh. Kamu harus banyak belajar dengan Mas Janu. Mas Janu ini banyak membantu perkembangan desa lho! Wong lulusan luar negeri, toh," Bapak tersenyum bangga. Untuk yang satu itu aku baru tahu.
"Kuliah di mana, Mas?" Tanyaku.
"NUS, singapura,"
Aku mengangguk paham, memang siapa yang tidak kenal dengan universitas terkemuka itu. Aku tidak begitu heran, orangtuanya adalah orang berada sejak dulu. Wajar kalau anaknya bisa bersekolah sejauh itu. Untuk ukuran di desa, setahuku itu perkembangan luar biasa.
"Saya masih ada urusan di perkebunan, saya pamit dulu," Mas Janu berdiri dan berpamitan dengan sopan.
Aku mengantarnya hingga ke mobil. Kami berjalan beriringan dengan aku yang penuh pemikiran ini itu. "Terimakasih Mas, maaf sudah merepotkan,"
"Tidak apa, dik,"
"Besok Mas Radit pulang kok, ada yang mengantar, Mas tidak perlu menjemput seperti biasa,"
"Hm, saya pamit,"
"Inggih," aku berdiri di depan pagar, membiarkan mobilnya mengambil haluan sebelum membunyikan klakson dan berlalu pergi.
Kuhela napasku pelan, membawa tubuhku kembali masuk ke rumah. Hari ini begitu melelahkan.
"Gimana nduk, tampan tidak?" Ibu mendekat.
"Huh?"
"Mas Janu, bagaimana menurut kamu?"
"Bagaimana maksudnya?" Tanyaku heran.
"Ya, pendapatmu toh, nduk,"
"Oalah. Hem, berpendidikan Bu,"
"Yang itu juga satu desa tahu,"
Ibu tampak mendesak. Kuteguk air sampai tandas, menyandarkan tubuh di punggung ranjang. "Lebih baik ibu telponkan Mas Radit. Suruh anter jemput Ana, kemarin Ana telpon malah diangkat istrinya," kataku malas.
"Kamu ini kenapa toh, ndak akur-akur juga dengan Mbakmu itu,"
"Ana lebih suka Mas Radit semasa lajang, Bu. Ana bisa bermanja-maja. Kalau sekarang bagimana, istrinya itu suka mengekang sana-sini, Ana risih lah Bu,"
"Masmu kan laki-laki nduk, prioritasnya bukan cuman kamu lagi. Ada tanggung jawab lain yang harus diurus, istrinya. Ya pantas lah, makanya kamu cepat menikah. Biar ada yang mengurus,"
Aku mendengus.
***
Made with love,
Searth