"Jalan kaki bisa kok Mas. Ndak harus diantar jemput juga, kan?" Mbak Ayu terdengar kesal, suaranya nyaring menggelitik indera pendengaranku.
Aku duduk gelisah di ruang tamu dengan bibir cemberut.
"Sekolahnya dekat sini kok, Yu. Mas cuman mengantar sebentar,"
"Ya maka dari itu, Mas. Karena dekat ya jalan kaki saja. Jangan mentang-mentang tinggal di kota jadi lupa cara jalan kaki di desa. Dulu juga kita ke sekolah harus jalan berkilo-kilo meter,"
"Kamu ini kenapa to," Mas Radit terdengar kesal.
Perkataan Mbak Ayu jelas menyinggungku. Perasaan muak seketika menggerogoti hatiku. Dulu Mas Radit tidak akan membiarkan siapa pun membicarakanku di tengah ketidakbaikan. Sekarang dia harus pasrah ketika istrinya sendiri bersikap tak tahu diri.
Aku segera bangkit untuk keluar dari rumah mereka. Kedatanganku tidak disambut dengan baik dan ide Ibu jelas sangat buruk. Ingin sekali aku pulang ke rumah dan mengadu dengan Bapak akan sikap Mbak Ayu. Memang, sangat kekanak-kanakan tapi aku tidak terima diperlakukan begini.
Dengan kesal kutempuh jalan kerikil berdebu menuju sekolah yang jaraknya sekitar satu setengah kilo lebih. Kalau ada kesempatan, aku akan meminta motorku yang dipakai Mas Radit. Sewaktu kuliah Bapak pernah membelikanku motor. Tapi karena kampusku dan kontrakanku tidak jauh dan aku tidak tahu berkendara, kuminta Mas Radit untuk memakainya saja di desa. Sampai sekarang masih terpakai, karena mobil Masku jarang digunakan kecuali mau ke luar desa.
Aku tidak tahu kesalahanku apa ketika sebuah mobil melaju cepat nyaris menyerempetku. Belum lagi debu beterbangan membuat mataku perih. Aku sontak duduk di jalan, menahan tangisan karena kesal.
Biar saja orang-orang mengataiku aneh. Aku benar-benar tidak ada mood lagi untuk menghadapi anak-anak.
"Ana, lho?"
Aku mendongak dan mendapati sebuah motor matic berhenti di depan. Ternyata bibiku.
"Kamu kenapa duduk di jalan?"
Aku menggeleng parau. "Tadi hampir keserempet,"
"Hah? Mana orangnya?"
"Balap-balap, Bi. Ana ga tau, ini mata Ana perih sekali,"
Bibi menelisik pakaianku. "Kamu mau ngajar ya? Kok jalan sih? Sini biar Bibi antar,"
Aku menggeleng. "Ana mau pulang saja, Bibi mau antar?"
"Boleh-boleh. Ayo naik sini,"
***
Aku sedang duduk di ruang tamu dengan berbagai snack di atas meja menanti kumakan. Aku sudah mengirim pesan ke sekolah kalau aku minta cuti hari ini. Bersyukur diizinkan selagi Bapak marah-marah di telepon dengan Mas Radit.
"Pulang kamu kemari, Bapak mau bicara langsung. Bawa istrimu itu juga,"
"Pak, jangan marah-marah dulu..." Ibu berusaha mengipas amarah Bapak. Tadi setelah aku menangis, langsung mengadu dengan Bapak akan perlakuan Mbak Ayu. Bapak marah besar, menelpon Masku lalu berceramah panjang lebar sampai tersulut emosi.
"Ya namanya juga orang sudah berkeluarga Pak, kita tidak bisa mencampuri urusannya lagi. Biar Ibu belikan Ana motor untuk transportasi ke sekolah. Ndak baik ah didengar tetangga Bapak marah-marah karena sepele begitu. Kalau sampai didengar besan kan ndak enak,"
"Ibu kok belain Mbak Ayu terus?" Kataku sewot.
"Bukan belain toh, nduk. Ibu ndak mau kalian bertengkar terus. Lama-lama hubungan renggang, Ibu ndak mau diteruskan. Ibu ndak bisa bayangkan kalau Ibu Bapak sudah tidak ada, bagaimana toh kamu dan Mas Mu bisa akur kalau begini terus,"
Aku mendengus keras. Membayangkan Mbak Ayu kemari saja aku sudah muak. Belum lagi rumah ini kan milik orangtua kami, kalau Bapak Ibu sudah tidak ada, bisa Jadi Mas Radit sebagai laki-laki akan mewarisinya. Aku tidak mau hidup serumah dengan Mbak Ayu.
Tidak menunggu lama ketika Mbak Ayu dan Masku datang mengendarai motor.
"Dik, untuk tadi Mas minta maaf. Bukan maksud Mas tidak mau mengantar, Mas keluar kamu sudah tidak ada,"
Aku bergeming, masih mengunyah kue-kue yang dibelikan Ibu.
"Dik?"
"Ana mau minta motor Ana, Ana mau belajar bawa motor saja biar tidak merepotkan,"
Sontak Mbak Ayu terserang emosi. Wanita itu melotot tajam tak terima. "Ya tidak bisa lah, wong itu motor sudah di kami sejak pertama dibeli!"
"Itu Bapak yang beli buat Ana, Mbak tidak bisa sekenannya menggunakan, Ana juga waktu itu menitipkan, tidak memberi,"
"Iya, Mas akan kembalikan. Yang penting kamu maafkan Mas,"
"Ya ndak bisa lah Mas! Aku mau naik apa kalau mau ke pasar?" Mbak Ayu kontra, mempertimbangkan nasibnya yang setiap hari harus ke pasar membuka ruko mereka.
"Ya nanti Mas antar,"
"Ndak bisa, aku ndak leluasa,"
"Mbak ini kok nahan-nahan punyaku, sih?" Kataku kesal. Kami bertatapan sengit, menghembuskan napas kasar lalu aku berlalu ke kamar. Seenak jidat dia mau menguasaiku, memang dia pikir aku bodoh?
Kuputuskan untuk tidur dan ternyata tidak sengaja baru terbangun menjelang sore. Ketika keluar sudah tidak ada Mas Radit, menyisahkan Bapak Ibu di ruang tamu.
"Baru bangun cuci muka dulu, itu rambutnya berantakan, Nduk..." tegur Ibu. Aku mau duduk tapi kembali berdiri ketika tidak sadar ada tamu selain Bapak dan Ibu di sana.
"Eh, maaf," segara aku terbirit ke kamar. Jantungku berdegup tak karuan. Itu tadi ada Mas Janu, astaga memalukannya...
Segera kubasuh mukaku lalu duduk di balkon memperhatikan hamparan sawah milik Bapak karena tidak mau ke bawah, sudah kepalang malu. Ada dua mobil lain di bawah, yang satu milik Mas Janu sudah pasti, yang satunya lagi Pajero Sport entah milik siapa.
Mungkin tamu Bapak, akhir-akhir ini sudah sering aku melihat orang lalu-lalang menawarkan harga tinggi untuk membeli sawah Bapak, tapi ditolak. Warisan keluarga yang tidak boleh dialihtangankan, kata Bapak.
Kubuka ponselku dan mendapati pesan dari Mas Radit.
Dik, Masmu minta maaf kalau sudah membuatmu kecewa. Mas sudah simpan motor kamu, dirawat baik-baik ya. Kalau mau belajar tolong panggil Mas, jangan nekat belajar sendiri. Mas tidak mau mendengar kamu jatuh atau luka barang sedikit pun. Paham, dik?
Aku tersenyum di tengah kedamaian.
Inggih, Mas. Maafkan adik juga yang keterlaluan sampai kena marah Bapak.
Kusimpan kembali ponselku di atas meja, kembali memperhatikan hamparan sawah hingga ketika aku tidak sadar sedang diperhatikan dari bawah oleh Mas Janu. Aku salah tingkah sendiri, memalukan.
Beliau bergerak ke mobil, sepertinya sudah hendak pulang. Selain beliau, ada juga sepasang paruh baya yang tak asing.
Aku tersenyum ramah segera turun ke bawah mau memberi salam.
"Sudah mau pulang, Mas?" Tanyaku menghampiri.
"Iya,"
Aku mengangguk paham.
"Katanya tidak masuk ngajar hari ini, kamu baik-baik saja kan?" Tanyanya entah mendapat informasi dari mana.
"Iya, Mas. Tadi aku ada kendala sedikit," kataku tersenyum ramah.
"Sudah baikan sekarang?"
"Iya,"
"Besok saya jemput, jangan berangkat dahulu,"
***
Made with love,
Searth