Bibirnya hangat dan lembut, seperti yang kuingat, tapi sekarang juga kaku dan diam. Dia menarik napas dalam-dalam ketika dia merasakanku, tubuhnya menegang di bawah genggamanku.
Aku menciumnya lagi, merasakan percikan api neraka tua itu menjadi hidup dengan sentuhan yang paling sederhana. Dadaku bergemuruh dengan api di hatiku, dan ujung jariku yang dingin tiba-tiba terasa panas membara. Tanganku meninggalkan tangannya, dan aku melingkari pinggangnya, ingin menariknya ke dalam tubuhku sehingga aku bisa merasakan detak jantungnya melalui pakaiannya.
Tapi aku tidak pernah mendapat kesempatan.
Dia mendorongku dan melangkah mundur, jari-jarinya bergerak ke bibirnya seperti aku meninjunya alih-alih menciumnya. Dia memejamkan mata sejenak, kebencian diri tertulis di wajahnya. Dia menghapus ciumanku di jaket sebelum dia membuka matanya dan menatapku lagi. Tidak ada keinginan lagi di sana. Sekarang, hanya ada penghinaan seperti dia membenciku. "Aku sudah menikah."