Jam di dinding kamar yang terus bergerak itu menunjukkan pukul satu dini hari, artinya sebentar lagi pagi sudah datang. Tetapi Vano masih tejaga dengan beberapa tumpuk buku serta laptop yang menyala itu. Sesekali jarinya mengetik sesuatu. Tugas dari dosennya yang tak pernah kunjung selesai.
Tangannya meraih gelas yang ada di sisi laptopnya. Gelas berisi cokelat panas yang sudah dingin itu diteguk dengan tenang. Matanya sudah merah karena kantuk. Beberapa kali Vano menguap.
"Rasanya ingin mati saja jika tugas ini belum selesai juga."
Vano menyandarkan punggungnya pada kursi belajarnya itu. Sesekali memejamkan matanya agar sedikit rileks. Satu piring kue sudah lenyap dimakannya. Vano rasa perutnya kembali berbunyi.
"Semoga berat badanku tidak bertambah karena terus makan. Huhhh.."
Vano bangkit dari duduknya itu, meninggalkan tugas yang selalu mmemanggilnya dengan brutal. Tidak peduli. Sekarang Vano melangkahkan kakinya itu keluar kamar untuk mencari makanan.
Rumahnya sudah gelap. Beberapa lampu dimatikan untuk menghemat listrik. Setelah sampai di lantai satu rumahnya itu, kaki jenjang Vano melangkah ke arah dapur. Tangan Vano meraba saklar lampu, setelah itu lampu dapur pun menyala, meperlihatkan perabotan dapur yang beberapa diantaranya barang canggih.
Dengan mata yang sudah mengantuk, Vano menyeret kakinya ke arah lemari es. Vano membukanya lalu mengambil minuman kesukaannya. Jus lemon. Lalu Vano berjalan kembali ke arah lemari makanan, membukanya dan mengambil dua snack ringan berukuran besar.
Dirasa telah cukup. Vano kembali berjalan lagi menuju ke kamarnya. Namun saat melewati ruang kerja kakaknya, Vano melihat lampu duduk di meja kerja kakaknya itu masih menyala. Kakaknya pun masih terududuk di sana dengan memakai piyama tidurnya itu.
Vano yang ingin kembali ke kamarnya pun kembali berjalan. Kini ke arah ruang kerja kakaknya. Tak lupa juga Vano mengetuk pintu terlebih dahulu.
Merasa ada ketukan di pintu, kakaknya langsung melirik dan senyumnya terlihat samar.
"Masuk Van."
Vano pun masuk dengan barang bawaannya itu. Melihat kakaknya yang langsung memutarkan tubuhnya dan menyadarkan punggungnya ke kursi itu. Vano menyimpan snack dan minumannya di nakas yang ada di dekat pintu. Setelah itu Vano mendekati kakaknya.
"Belum selesai kerjanya ?" Kata Vano sembari duduk di kursi yang ada di sebelah kakaknya itu.
"Sedikit lagi. Kamu sendiri ? Tugasnya belum selesai ?"
Vano menggelengkan kepalanya, "Belum kak, masih banyak."
Kakaknya tersenyum lalu mengelus sayang kepala Vano, "Semangat, latihan untuk di dunia kerja nanti."
"Hmm."
Kakaknya itu kembali berbalik ke depan laptopnya, mata yang terbingkai dengan kacamata bacanya itu membuat Vano hanya bisa melihatnya.
"Kenapa ?" Kata kakaknya karena meras diperhatikan terus.
"Tidak. Tapi kenapa kakak tampan ya ?"
Varel—kakak Vano, dia melirik ke arah Vano yang sedang menatapnya dari samping. Varel hanya menyunggingkan senyumnya.
"Kamu juga tampan Van, tampan juga manis."
Vano mengehela nafasnya, orang-orang selalu begitu jika menilai parasnya. Kata tamapan dan manis selalu saja beriringan.
"Kenapa ? Kamu tak suka di panggil seperti itu ?"
"Bukan begitu kak, tapi aku heran saja. Orang-orang juga bilang jika paras aku tampan dan manis."
"Ya sudah, terima saja. Memang itu adanya."
"Tapi kenapa ? Maksudnya kakak itu tampan, ya sudah tampan saja, tak ada manisnya."
Varel terkekeh, "Kakak itu sama seperti ayah. Tampan mutlak. Kalau kamu itu perpaduan ayah sama ibu. Tampannya dari ayah, manisnya dari ibu."
"Begitu ?" Kata Vano sembari menaikkan alisnya.
Varel hanya tersenyum. Memang Vano itu sudah sering memperdebatkan parasnya dengan paras Vano sendiri. Katanya itu tidak adil karena Vano lebih manis ketimbang tampan.
"Sudah, sana ke kamar. Tidur. Besok lagi kerjain tugasnya."
Vano hanya mengangguk, kemudian dengan santai Vano naik ke pangkuan kakaknya itu. Memeluk kakaknya dengan posesif. Varel lagi-lagi yanya terkekeh melihat Vano—adik satu-satunya itu yang selalu manja padanya duduk di atas pangkuannya. Varel memeluk pinggang adiknya agar tidak terjatuh.
"Vano tidur di sini saja ya kak."
"Ya sudah, tidurnya di ranjang jangan di pangkuan kakak."
Vano melepaskan pelukannya ke Varel. Lalu beranjak dari pangkuan kakaknya dan langsung merebahkan tubuhnya di sana.
"Kak Varel."
"Hm."
"Liat jari kelingking aku sini."
Varel memutarkan lagi kursinya dan menghadap Vano.
"Kakak lihat ada benang merah di jari kelingking aku tidak ?" Sembari mengangkat jari kiri kelingkingnya itu.
Varel mengerutkan dahinya, "Benang apa ? Kakak tidak lihat apa-apa."
"Sungguh ?"
"Iya."
Vano menatap jari kelingkingnya itu.
'Ada benang merahnya, tapi Kak Varel tidak lihat. Kenapa ?'
"Vano ?" Varel memanggil adiknya itu yang melamun.
"Iya kak ?"
"Kenapa ?"
Vano menggelengkan kepalanya, "Tidak. Ya sudah aku tidur duluan. Kakak juga langsung tidur ya kalau sudah."
Varel tersenyum melihat adiknya yang sudah tenggelam dalam selimut. Biarpun Vano sudah kuliah, tapi Varel tidak akan berhenti memanjakan adik semata wayangnya itu. Varel teramat sayang dengan Vano. Karena Varel tau di balik keceriaan seorang Vano, hati dan pikiran adiknya itu terlalu rapuh.
Varel akan sekuat tenaga untuk tetap menjaga adiknya itu agar tidak pecah.
•••
Udara dingin semakin mencekam dan sangat dirasakan oleh Rey. Di kantornya, Rey msih terududuk dengan beberapa tumpukan berkas-berkas yang menggunung. Bajunya sudah berantakan, dua kancing kemeja atasnya terbuka meperlihatkan dadanya yang bidang. Matanya senantiasa menatap layar laptop yang berisi deretan huruf yang membiat dirinya pening.
"Huuhh.."
Rey menghela nafasnya. Rasanya pundak kokohnya sangat berat. Matanya sudah tak sanggup lagi untuk terbuka. Rey berdiri dan berjalan ke arah dispenser untuk mengambil air.
Satu gelas air lolos si kerongkongannya. Wajah lelahnya sangat terlihat dengan jelas. Rey melirim ke arah jam yang ada di nakasnya itu.
"Pukul tiga pagi ? Huh, cepat sekali."
Rey dengan langkah lunglainya mematikan dan menutup laptop itu. Berkas yang berserakan di atas meja pun sedikit di rapikan. Rey tidak peduli lagi.
"Bisa mati jika berkas-berkas ini masih terbuka."
Setelah dirasa rapi, Rey menyambar jas dan kinci mobilnya. Rey keluar dari ruangannya itu dan tak lupa mematikan lampunya. Meskipun terlihat lelah, langkah Rey tetap saja tegap. Badannya yang proporsional menjadi pemandangan indah di pagi hari ini. Untungnya tidak da yang melihat selain CCTV.
Rey masuk ke dalam lift dan turun dari ruangannya itu. Di dalam lift, Rey memperhatikan wajahnya sendiri.
"Masih tampan juga."
Tak lama, pintu lift terbuka. Rey segera berjalan keluar dari kantornya itu. Security yang berjaga selama 24 jam menyapanya dan memberk salam hormat. Rey hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya.
Rey melajukan mobil mewahnya—Ferrari 488 GTB berwarna merah metalik itu membelah jalanan yang kini sedikit ramai kembali. Tangan kirinya menyetir dan tangan kanannya memijat kepalanya yang hampir pecah itu.
"Benar, aku harus punya pasangan."
Pria berusia 27 tahun itu bergumam sendiri karena dirinya yang masih melajang sampai saat ini. Entah kenapa Rey tidak terlalu pusing memikirkan suatu hubungan. Menurutnya itu terlalu rumit dan bisa menghambat pekerjaannya. Bagaimana tidak, Rey itu di knal sebagi work holic. Bekerja sekeras mungkin agar bisa mendapatkan hasil yang memuaskan.
Tiba-tiba dirinya mendecih dan tertawa kecil.
"Kenapa orang-orang selalu saja mempercayai mitos."
Rey sedang berpikir karena orang-orang disekitar kerap kali membicarakan tentang mitos benang merah takdir. Rey selalu heran dengan mereka yang masih mempercayai mitos tersebut. Baginya, itu hanya dongen pengantar tidur saja.
Tak lama kemudian, mobil mewah itu masuk ke salah satu perumahan elit di kotanya. Pilar selamat datang yang mewah sudah tergambar jelas jika perumahan itu dikhususkan untuk orang-orang kalangan atas.
Rey berhenti di rumah paling besar di perumahan itu. Rey langsung memasukan mobilnya ke dalam garasi rumahnya. Rey turun dan melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah.
Seperti biasa, rumahnya sepi. ART yang bekerja di rumahnya sudah pulang karena waktu jam kerja hanya sampai jam lima sore. Tanpa melakukan apa-apa lagi, Rey menaiki anak tangga dan langsung masuk ke dalam kamar.
Ruangan dengan nuansa cokelat dan putih itu menyapa pengelihatan Rey yang sudah minim. Yang dipikirannya hanyalah kasur empuknya. Tanpa melepas atribut kantornya, Rey langsung jatuh di kasur itu dan tak berapa lama matanya terututup.
"Saya membutuhkan seorang pendamping hidup." Gumam Rey sebelum dirinya benar-benar jatuh tertidur.
—tbc—