"Alarm sialan ! Kenapa harus salah set !"
Vano berlari di lorong kampus menuju ke kelasnya yang mungkin sudah berlalu. Jam tangani sudah menunjukkan pukul delapan tiga puluh menit. Itu artinya Vano terlambat masuk selama tiga puluh menit.
"Permisi.. permisis.. maaf tak sengaja."
Lelaki itu menerobos setiap kerumunan di lorong kampus membuat beberapa orang tertabrak olehnya. Orang-orang itu hanya menatap kesal ke arah Vano.
Vano terli berlari sembari sesekali memeperhatikan jam yang ada di tangannya.
"Semoga Mr.Erik belum ke kelas." Harapnya.
Dua lantai sudah di lewati, kini hanya tinggal menaiki anak tangga lagi dan Vano berhasil berada di kelasnya. Saat Vano melihat ke arah kelasnya, ternyata Mr.Erik baru saja ingin masuk ke dalam. Dengan sekencang-kencangnya langkah Vano, akhirnya Vano berhasil berdiri tepat di belakangnya Mr.Erik.
"Selamat pagi untuk donsen yang baik hati."
Mr.Erik pun terkejut saat tangani sudah menempel di gagang pintu. Dosen itu melirik ke arah belakang dirinya.
"Vano ? Kenapa kamu ?"
Melihat Vano yang bercucuran keringat sedikit di pelipisnya membuat Mr.Erik terheran.
"Tidak apa-apa pak, cuma sedikit gerah saja."
Mr.Erik hanya mengangguk, "Ya sudah, ayo masuk."
"Iya mister."
Mereka berdua pun masuk ke dalam kelas. Vano langsung mengambil duduk di kursi paling belakang kelas itu.
"Tumben lo No kesiangan." Celetuk salah satu temannya.
"Biasalah, gue salah set alarm."
Temannya itu hanya mengangguk. Setelah itu Vano pun fokus karena pembelajaran sudah di mulai. Lagi-lagi matanya melihat ke atah jari kelingking kirinya yang terikat dengan benang itu.
'Kenapa benangnya bisa sepanjang ini ya ?'
Vano menggelengkan kepalanya. Terlalu pagi untuk memikirkan hal-hal yang tidak ada jawabannya.
•••
Dua jam berlalu, kelas pun sudah selesai. Vano dan beberapa temannya keluar dari kelas itu. Vano terlihat sesekali bercanda dengan temannya.
"Ya udah No, gue cabut dulu. Biasalah.. cewek gue ngajak ngedate."
"Gaya lo San ! Ya udah sana, seoga ngedate nya gak gagal lagi."
"Njing lo No."
Vano hanya terkekeh. Setelah itu Vano melangkahkan kakinya lagi ke arah dimana mobilnya terparkir. Beberapa perempuan terpesona melihat Vano yang lewat. Lelaki dengan tinggi 175 cm itu sudah menjadi incaran para perempuan sejak dirinya masuk ke kampus itu.
Pantas saja Vano menjadi incaran para perempuan. Parasnya tampan meski lebih kemanisnya. Badannya tinggi. Tubuhnya tak sekekar tapi bisa dibilang berisi. Tapi yang menjadi kelemahan bagi perempuan juga yang segan untuk dekat dengan Vano adalah beberapa orang yang terlalu iri dengan wajah Vano. Banyak orang yang menyadari jika wajah Vano itu manisnya luar biasa.
Sedangkan Vano sendiri tidak pernah merasa dirinya charming. Seperti orang-orang lainnya saja. Toh, Vano pun tidak suka menjadi pusat perhatian.
Saat Vano sampai di lantai bawah. Dirinya bertemu dengan perempuan yang katanya suka padanya. Seramah mungkin Vano menyapa perempuan itu.
"Hai Vano."
"Hai Sarah. Baru mau masuk ?"
"I-iya." Kata perempuan itu dengan malu-malu.
"Ohh.. semangat ya."
Sarah hanya mengangguk dengan wajah yang sudah memerah itu. Vano tidak peduli, dirinya langsung pergi dari sana. Mobilnya sudah menunggu untuk ditumpangi lagi.
Saat berjalan ke arah mobilnya, dari arah kangor kampus itu, Vano tak sengaja bertabrakan dengan seorang pria tinggi. Vano hampir saja terjatuh jika pria itu tidak sigap memegang tangannya.
Keduanya saling tatap untuk persekian detik. Tak lama, Vano menegakkan lagi tubuhnya dan tanpa sadar tangannya yang masih di genggam.
"Maaf, saya tidak hati-hati saat berjalan tadi." Kata pria itu.
"Tak apa. Ini juga salah saya yang tidak memperhatikan jalan." Balas Vano.
Satu menit yang lalu Vano terkejut karena tabrakan itu, lalu satu menit berikutnya Vano terkejut karena benang merah yang ada di jari kelingkingnya terhubung dengan benang merah yang ada di jari kelingking pria yang ada di hadapannya itu.
"Ya sudah, saya permisi." Kata pria itu.
Vano hanya bisa terdiam melihat kepergian sosok pria tinggi itu. Benang merah yang ada di tangannya tadi sempat menegang karena sudah dekat dan kini mengendur kembali seiring berjalannya pria itu.
"Mana mungkin..."
•••
Rey, pria itu sekarang sedang berada di kampus dahulu dirinya belajar. Dimana dari sinilah semua ilmu yang Rey dapatkan hingga bisa sesukses sekarang. Rey ke kampusnya itu memiliki keperluan untuk bertemu dengan seseorang.
Disepanjang jalan saat Rey masuk. Sudah tak terhitung berapa pasang mata yang tertuju padanya. Banyak yang terkegum-kagum dengan dirinya. Terlebih jajaran kaum perempuan. Mereka tampak menjerit tertahan bahkan sampai menatap kosong saat Rey melewatinya.
Pria dengan tinggi 188 cm itu memang selalu saja menjadi pusat perhatian. Dimana pun itu. Jadi Rey sudah terbiasa.
Kaki nya melangkahkan ke sebuah ruangan. Rey mengetuk pintu itu dan tak lama kemudian, seorang pria paru baya membuka pintunya. Tingginya hampir sama.
"Masuk."
Rey pun masuk. Tanpa disuruh oleh pria tadi, Rey duduk di sofa ruang itu. Menumpangkan kakinya. Pria yang tadi menyambutnya hanya menggelengkan kepalanya, lalu duduk di hadapan Rey.
"Apa kamu sudah tahu kenapa aku memanggilmu ?"
Rey mengangguk.
"Jadi bagaimana keputusanmu ?"
"Sebenarnya aku tidak tertarik. Tapi jika ini permintaan daddy, terpaksa aku harus menerimanya."
"Kamu terpaksa ?"
"Maybe, aku juga tak yakin."
Pria itu menghela nafasnya, "Paman mengerti Rey, tapi aku juga tidak punya banyak kuasa. Kak Hegan memang keras kepala."
Rey setuju dengan apa yang dikatakan oleh pamannya itu. Hegan—ayahnya Rey, sangat menginginkan Rey untuk mengajar di kampus itu. Karena Hegan ingin salah satu dari penerusnya bisa berada di sana. Meskipun bukan menjadi kepala di kampus itu. Akhirnya dengan berat hati Rey menerima permintaan ayahnya untuk menjadi dosen.
"Ya sudah, hanya itu kan ? Aku pulang."
Antonio—paman Rey, hanya mengangguk kepalanya sembari tersenyum. Mempersilahkan Rey untuk pulang.
Rey berjalan kembali untuk pulang. Namun saat dirinya sedang berjalan, Rey bertabrakan dengan seorang lelaki. Dengan sigap, Rey memegang tangan lelaki itu.
Rey dan lelaki itu hanya saling pandang untuk sesaat. Kemudian tak lama setelahnya lelaki itu pun membenarkan cara berdirinya.
"Maaf, saya tidak hati-hati saat berjalan tadi." Kata Rey pada lelaki itu.
"Tak apa. Ini juga salah saya yang tidak memperhatikan jalan." Balasannya.
Rey hanya mengangguk sama. Saat Rey memandang lelaki itu, matanya sedang terbuka lebar sembari memperhatikan jari kelingking kanam Rey.
'Kenapa dia ?'
Lama lelaki itu memandangi jari kelingkingnya dan jari kelingking Rey seacra bergantian. Karena sudah tida ada respon lagi, Rey pun memutuskan untuk pergi.
"Ya sudah, saya permisi." Kata Rey.
Tanpa persetujuan lelaki itu, Rey melangkahkan kakinya menuju mobilnya. Enta kenapa saat Rey tadi memandang lelaki itu, darahnya berdesir dengan cepat. Jantungnya pun berdegup kencang.
"Apa saya jatuh cinta ?"
—tbc—