Aku mengajak Umar ke kamar sebelum akhirnya kami turun ke bawah untuk makan siang. Lagi pula kami tidak akan langsung makan siang setelah Habib dan Farida pulang, mereka pasti akan ke kamarnya dulu untuk menaruh barang-barang, berganti pakaian dan sholat zuhur dulu.
Umar sama sekali tidak melawan ketika aku menarik tangannya masuk ke kamar dan segera menutup pintu. Dia begitu nurut, bahkan pandangannya tak pernah lepas dariku. Aku benci di tatap seperti itu, tapi aku harus tetap menyuarakan apa yang kurasakan.
Dia sendiri yang bilang kalau aku harus selalu jujur padanya pada setiap keadaan atau apapun yang kurasa. Kali ini aku tidak bisa tinggal diam lagi, aku benar-benar tidak nyaman dengan kedatangan Putri yang terus menerus.
"Aku tahu kedatangannya mungkin hanya untuk sekedar pekerjaan, tapi ... memangnya tidak ada orang lain yang bisa menggantikan dia? Kenapa harus dia, kenapa harus perempuan yang datang ke sini?" omelku.