Aku terus mengembangkan senyum selama di dapur, padahal tidak ada hal yang lucu, tapi tetap saja tersenyum. Entah kenapa, aku tidak bisa mengendalikan lebar bibirku saat tersenyum. Bahkan saat bunda datang pun, aku masih terus tersenyum.
Dia heran kenapa aku bisa senyum-senyum sendiri tanpa sebab, padahal aku sudah jelas tersenyum karena hal yang tidak bisa kuceritakan padanya. Tentu saja itu menjadi privasi untukku, karena hal semacam ini tidak boleh di ceritakan pada siapapun.
"Jangan lupa siapkan sarapan untuk Habib, ya?" pesan bunda sebelum pergi.
Aku pun mengangguk. Padahal ini masih jam lima pagi, tapi dia sudah menyuruhku menyiapkan sarapan untuk Habib. Tak masalah, aku akan menyiapkannya nanti. Tapi sekarang aku harus mengantarkan teh ini untuk Umar.
Suara merdunya terdengar jelas saat aku masuk ke kamar, dia kelihatan tengah khusyuk mengaji di lantai beralaskan sebuah sajadah sambil tertunduk. Aku yang melihatnya dari belakang hanya bisa tersenyum.