Senang, sedih, kecewa, bahagia, semuanya bercampur aduk menjadi satu. Perasaan gembira serta terluka seolah menyatu menjadi satu kesatuan utuh yang tidak bisa di pisahkan. Entah itu hanya suatu kebetulan atau takdir semata, yang jelas aku hanya bisa menerima apapun pemberian Tuhan.
Di lamar seorang putra tungga pemilik pesantren terbesar di Bandung? Siapa yang akan menyangka hal itu? Bahkan belum genap sepuluh hari bercerai, aku sudah mendapatkan lamaran itu, lengkap dengan cincin juga seserahannya.
Abi bilang, mereka tidak akan mau membawa pulang kembali seserahan itu karena memang sudah di tujukan untukku. Ada perlengkapan bayi juga di dalamnya, kurasa itu untuk Nara. Dan sebuah cincin berlian dalam kotak beludru ini masih ada di tanganku sebagai cincin lamaran dari Umar.
"Pakailah cincin itu ketika kamu sudah menerima lamaranku." Begitulah yang Umar ucapkan padaku. Begitu bijak dengan bisa dengan sabar menunggu sampai masa iddahku selesai.