Habib merebahkan tubuhku di atas kasur dengan perlahan, tapi aku sama sekali tidak ingin memandang wajahnya. Rasanya enggan, malas melihat wajahnya yang selalu membuatku kesal. Bahkan setelah dia menaruh seluruh tubuhku di kasur pun, aku langsung berbalik badan dan membelakanginya.
"Apa kamu perlu sesuatu?"
"Tidak."
"Perutmu masih sakit? Mas panggilkan dokter, ya?"
"Tidak perlu."
"Baiklah, Mas akan menemanimu disini."
Aku sedikit terkejut mendengar perkataannya yang itu. Kukira dia akan langsung meninggalkanku istirahat sendirian, tapi ternyata dia masih ingin menemaniku. Memejamkan mata dan berpura-pura tidur, aku pun mendengar beberapa hal yang dia katakan sambil mengusap perut dan dahiku.
Sebenarnya aku memang berniat ingin tidur, tapi karena mendengar perkataannya semua rasa kantuk itu raib seketika entah kemana. Yang kudengar kini hanyalah suara Habib dengan ciri khas yang berat dan juga sangat berwibawa.
