Aku tidak melarang Umar untuk mengeluh padaku, tapi ketika aku mendengar keluhannya, itu semua sungguh membuatku merasa sangat tertekan. Seolah aku adalah beban, dia mengatakan kebenaran tentang apa yang dia rasakan selama ini.
"Aku mengerti apa yang kamu rasakan, aku mengerti kenapa kamu tidak bisa bersikap seperti biasanya padaku. Aku sangat-sangat mengerti, tapi bisakah kamu mengerti bagaimana posisiku?" Umar memberi tatapan begitu dalam padaku.
Teringat akan satu hal yang tidak pernah Umar lakukan pada wanita lain, dia hanya bisa menatap wanita yang mahram baginya, diantaranya ada aku dan umi. Tapi saat ini aku sama sekali tidak melihat ketenangan dari tatapannya, lebih tepatnya ke arah kesal dan cemas.
"Aku berusaha sabar, aku berusaha untuk mengerti dengan bagaimana cara pandangmu terhadap apa yang terjadi antara aku dan Marisa. Tapi apa kamu sungguh-sungguh tidak bisa percaya padaku? Apa arti kepercayaan itu bagimu?" tanya Umar, masih dengan tatapan yang sama.