"Yang sabar ya, El. Kita semua akan selalu mendukungmu disini," katanya pula. Aku hanya terdiam.
Beberapa orang juga terlihat memandangiku dengan tatapan sedih, seolah mereka juga merasakan apa yang kurasa. Bahkan tak sedikit perkataan pemberi semangat yang kudengar dari mereka, termasuk Farida.
Umi melepaskan pelukanku sambil tersenyum. Sekalipun dia memakai cadar, tapi aku tahu kalau dia sedang tersenyum. Setetes air mata tak mempengaruhinya begitu besar, dan dia kembali tersenyum sambil mengajakku duduk.
Begitu pula dengan Umar yang langsung merangkul pundakku untuk bisa duduk bersebelahan dengannya. Ternyata semua anggota keluarga sudah tahu tentang penyakitku. Mereka turut sedih mendengarnya, tapi yang lebih menyedihkan lagi menjadi aku.
"Sejak kapan kamu sakit, Mbak?" tanya Farida.
Aku pun tersenyum. "Aku tidak tahu, hasil medis baru saja diambil beberapa hari yang lalu."
