Chereads / ELYANA SEASON 2 : Air Mata Pernikahan / Chapter 29 - AKU CEMBURU 2

Chapter 29 - AKU CEMBURU 2

Dikamar aku terus menggerutu dengan dongkolnya. Kemana Habib? Kenapa dia bisa menikmati sarapan tanpaku di bawah sana? Mentang-mentang Farida yang masak, dia jadi lupa kalau punya dua istri yang harus di perhatikan.

Dia sama sekali tidak berusaha membujukku atau menawariku makan. Sama sekali tidak ada perhatiannya dan membuatku semakin kesal dan kesal. Padahal aku lapar, aku ingin makan, tapi tidak mau makan masakan Farida yang asin itu.

Heran juga, kenapa Azka dan Habib bisa menyebut udang seasin itu dengan rasa enak. Padahal itu asin, sangat asin!

"Ish, dasar suami menyebalkan!" kataku ngedumel sambil memainkan ponsel dan melirik ke pintu.

Tidak ada tanda-tanda Habib akan datang. Sebuah ponsel yang ada di tangan pun kujadikan sebagai pengalih perhatian agar aku terlihat cuek, padahal ya aku tetap menunggu Habib. Sampai akhirnya langkah kaki yang mengarah ke kamar pun terdengar.

"Mas?" Aku sudah kegirangan sendiri.

"Bukan pak Habib, Bu. Ini saya," kata Mira begitu membuka pintu.

"Ih, Habib kemana, sih? Memangnya dia tidak kalau saya lapar? Kenapa dia tidak berusaha ke sini untuk membujukku agar mau makan? Menyebalkan sekali!" lagi-lagi aku menggerutu pada Mira yang ternyata datang untuk melihat baby Rizky.

"Pak Habib sedang sarapan di bawah bersama bu Farida. Lagi pula kenapa Bu El tidak mau makan? Telat sarapan itu tidak bagus untuk perkembangan bayi Ibu di dalam perut."

"Saya mau makan, tapi saya tidak mau makan masakan Farida. Itu terlalu asin, lagi pula saya tidak ingin melihat Habib menikmati masakan Farida dengan senyuman di wajahnya. Saya tidak suka itu!"

Mira tersenyum. Bahkan dia yang bukan suamiku saja tahu kalau aku cemburu. Katanya Habib hanya sekedar sarapan saja di bawah, tidak lebih dari itu. Meskipun Mira juga tidak tahu apa yang mereka lakukan setelah dia pergi, tapi Mira terlalu yakin kalau Habib tidak akan melakukan hal yang aneh.

"Lagi pula ada Azka bersama mereka, mana mungkin mereka berani macam-macam."

"Apa kamu yakin?"

"Iya. Turunlah ke bawah, biar saya buatkan roti bakar untuk bu El," ajak Mira pula.

Akhirnya aku nurut. Sebenarnya itu hanya tawaran sederhana, tapi karena begitu lapar aku pun tidak bisa menolaknya. Mira menyuruhku turun duluan ke bawah sementara dia membereskan pakaian kotor Rizky ke dalam keranjang pakaian.

Untuk masalah mencuci pakaian bayi, memang Mira sendiri yang mengerjakannya. Tanganku yang sempat retak beberapa bulan lalu tidak bisa di ajak kompromi. Sampai sekarang masih sering ngilu kalau di ajak kerja berat.

Makanya, bajuku dan Habib di cuci menggunakan mesin. Itu juga Mira yang lakukan, karena dia tidak mau membahayakan kandunganku yang sebenarnya tidak perlu penjagaan seketat itu.

"Bagaimana? Enak 'kan?" tanya Farida pada Habib yang tidak sengaja kudengar. Posisi mereka duduk memebelakangi arahku datang dari anak tangga.

"Kamu pintar memasak, sepertinya keahlian Mas sudah kamu warisi."

"Ah, Mas Habib bisa saja. Tapi kalau Mas bilang ini enak, itu artinya mulai sekarang biar aku yang memasak untukmu. Kamu mau di masakin apa? Bilang saja padaku, ya?"

Habib mengangguk pelan. Perbincangan mereka semakin hangat saja, membuatku kesal sendiri sampai mengepal kuat. Untungnya Azka memanggilku, dia membuat api amarah yang sedang berkobar ini padam seketika.

"Ayo sarapan bersama kami, Ammah!" ajak Azka.

"Tidak, Azka. Ammah ingin mencari bubur di luar saja," tolakku lalu pergi.

Lihat, Habib sama sekali tidak bertanya 'kenapa kamu mencari makanan di luar?' atau 'biar Mas antar, ya?' sama sekali tidak. Dia kelihatan tidak peduli dan hanya melihatku pergi dengan tatapan mata kosong saja.

Ah, sudahlah. Aku sedang lapar, mari kita cari tukang bubur yang biasanya lewat di depan rumah. Pagi-pagi begini memang selalu ada tukang bubur yang lewat, dia menjual bubur kacang hijau atau bubur ketan merah. Ada juga bubur sumsum, tapi aku lebih suka bubur ayam.

Tak lama aku menunggu, akhirnya tukang bubur pun lewat. Dia berhenti tepat di depan rumah dan kupesan seporsi bubur ayam untuk sarapan.

"Lho, tumben makan bubur? Memangnya di rumah ndak masak?" tanya tukang bubur itu yang tahu kalau aku jarang membeli sarapan di luar.

"Tidak, Pak. Saya sedang ingin makan bubur saja."

Tak lama kemudian datang seorang lelaki beserta anaknya yang berusia sekitar sembilan tahunan. Itu adalah Umar dan ayahnya. Aku tidak tahu ini di sengaja atau hanya kebetulan, tapi kenapa kami jadi sering bertemu?

"Pak, buburnya satu, ya?" pesan lelaki itu dari dalam jendela mobilnya.

"Siap, Pak!"

Kuharap mereka tidak melihatku yang berdiri di belakang gerobak bubur. Tapi mustahil, sih. Karena ayahnya Umar kelihatan kepo dengan sosok yang berdiri di sini.

"Ngomong-ngomong, suami Ibu punya istri kedua, ya? Ibu adiknya yang punya rumah ini, 'kan?"

Entah kenapa mulut bapak-bapak penjual bubur ini terdengar jauh lebih menyebalkan dari pada mulut ibu-ibu komplek. Bertanya sesuatu hal yang privasi di depan orang lain, membuatku malu saja.

"Oh, jadi benar suaminya punya istri lagi? Kok bisa? Istri pertama saja sudah cantik begini, masih saja di selingkuhi. Padahal saya lihat-lihat suami Ibu itu sering ke masjid," komentarnya lagi setelah aku mengangguk.

Dan dalam waktu yang bersamaan, ayahnya Umar mendongak keluar hingga kami bisa saling bertemu pandang. Aku segera mengalihkan perhatian, tidak ingin terlalu lama bertatapan dengannya karena takut kalau sampai ada yang lihat nanti jadi omongan yang tidak-tidak.

"Assalamu'alaikum, Bu," sapa lelaki itu dari dalam mobil.

"Wa'alaikumsalam. Saya permisi," kataku pula. Kebetulan bubur pesananku sudah selesai di buat.

Aku tidak ingin berlama-lama di sana, nanti yang ada di tanyai terus oleh penjual bubur. Tapi langkahku masuk ke rumah juga sepertinya salah, pasalnya aku harus di suguhkan oleh pemandangan menyebalkan ketika melihat Farida memasangkan dasi untuk Habib.

Baru saja masuk selangkah dari pintu utama, sudah melihat kemesraan mereka lagi. Bahkan Habib tertawa geli ketika Farida salah mengikatkan dasi di lehernya. Kenapa tidak di ikat saja sekalian? Biar aku bantu tarik agar dia tercekik!

"Ya sudah, Mas berangkat, ya? Assalamu'alaikum," pamit Habib.

"Wa'alaikumsalam," jawab Farida lalu menerima sebuah kecupan di dahinya. "Eum ... Mas, kamu tidak mau mencium perutku dulu?" tanya wanita itu sebelum Habib melangkah pergi.

Aku masih berdiri disini dan memperhatikan mereka. Dalam hati aku berdo'a agar Habib menolak permintaan Farida dan langsung pergi, tapi dia justru berjongkok dan mengusap perut buncit Farida.

"Hai, ayah berangkat kerja dulu, ya? Kamu jangan nakal, jangan menendang terlalu keras juga, kasihan bundamu," kata Habib sambil mendongak ke atas, melihat Farida yang tersenyum girang.

Ih! Kenapa mereka malah semakin dekat? Kenapa juga Habib tidak sadar kalau aku ada disini?! Aku istrinya, pantaskah dia melakukan itu pada wanita lain di depanku? Farida memang istrinya juga, tapi ... ah, ayolah mereka tidak seharusnya melakukan itu.

"Mas berangkat, ya? Jangan lupa makan siangmu," pesan Habib padaku.

Aku hanya mengangguk. Mencium punggung tangannya lalu menerima kecupan di dahi. Habib memperlakukan aku dan Farida dengan perlakuan yang sama, apa mungkin rasa cintanya juga sudah sama?