Seperti biasa, Habib selalu pulang siang hari setelah menyelesaikan tugasnya di kantor dan ikut makan bersama kami di rumah. Karena tidak enak badan, aku sampai ketiduran dan lupa menjemput Azka.
Baby Rizky juga rewel sejak pagi, dia tidak mau ditinggal jauh oleh Mira bahkan hanya untuk sekedar mengambil minum saja. Farida? Dia tidak akan mau menjemput Azka, baginya itu adalah tugasku yang tidak akan pernah dia lakukan.
Buru-burulah aku mengganti jilbab untuk segera menjemput Azka. Ini sudah hampir jam satu, setelah sholat zuhur aku harus sampai di sekolah sebelum anak itu ngambek nanti.
"Saya berangkat ya, Mir. Assalamu'alaikum!" pamitku menutup pintu kamar.
"Wa'alaikumsalam. Hati-hati, Bu!"
Turun ke bawah, aku melihat Farida yang sedang menyiapkan makan siang untuk Habib. Sekarang dia jadi lebih rajin memasak, ya? Tahu saja kelemahan suami ada di masakan, sampai-sampai dia yang dulunya nggan ke dapur sekarang malah jauh lebih rajin dari pada aku.
Memmbuka pintu utama, aku justru di kejutan dengan keberadaan mobil Habib. Bukan hanya itu, tapi juga ada mobil lain yang baru saja berhenti. Itu adalah mobil ayahnya Umar, dia datang bersama Azka yang turun dari jok belakang mobilnya.
"Assalamu'alaikum!" teriak Azka langsung memeluk Habib.
"Wa'alaikumsalam. Azka? Kenapa baru pulang? Apa ammah tidak menjemputmu?"
"Dia menunggu jemputan sendirian di sekolah, Pak. Saya dan Umar jadi kasihan, dan berhubung kami satu komplek jadi tidak ada salahnya saya menawari Azka tumpangan untuk pulang bersama, bukan?" Malah ayahnya Umar yang menyahut.
Lelaki itu datang sambil menggandeng tangan Umar untuk menghampiri Habib. Aku yang merasa bahwa ada hal aneh yang akan terjadi, lantas maju beberapa langkah untuk berdiri sejajar di samping Habib.
Ingin tahu bagaimana ekspresi Habib ketika melihatku? Dia tampak sedikit kesal dan terkejut, di tambah lagi sebuah sapaan ramah dari ayahnya Umar yang sampai detik ini masih belum kuketahui namanya, membuat Habib mengalihkan pandang dengan sebal dariku.
"Terima kasih, Mas. Maaf sudah merepotkan," kataku pula.
"Tidak apa-apa, Bu. Kalau misalnya Bu El tidak sempat menjemput Azka, telepon saya saja. Biar nanti Azka saya yang jemput," balasnya sambil mengeluarkan ponsel untuk meminta nomorku.
Namun Habib dengan cepat mendorong tangan yang memegang ponsel itu untuk menjauh dariku. "Sebaiknya tidak perlu, biar saya yang menjemput Azka jika istri saya tidak sempat," kata Habib.
"Oh, tidak apa-apa, Pak. Saya—"
"Sebaiknya anda urus anak anda sendiri, karena saya tahu bagaimana caranya mengurus keponakan saya," sela Habib membuat ponsel yang tadi sudah terulur masuk kembali ke kantong.
Tak lama kemudian dia pun pamit bersama anaknya untuk pulang. Habib masih terdiam, menatap mobil putih yang perlahan pergi meninggalkan halaman. Buru-buru Habib mengajakku dan Azka masuk, bagaimana caranya menarik tanganku menunjukkan bahwa dia akan marah.
"Kamu itu bagaimana, sih?! Kenapa telat menjemput Azka? Kenapa harus sampai menumpang pada lelaki itu?" omel Habib begitu kami sampai di ruang tengah.
"Aku ketiduran karena tidak enak badan, Mas. Aku tidak sengaja," kataku berusaha membela diri.
"Lalu dimana Mira? Kenapa dia tidak menjemput Azka?"
"Mira mengurus Rizky sejak pagi, dia rewel. Kenapa kamu marah-marah seperti ini?"
Habib menaruh hand bag-nya di sofa. Wajah kesal nan marah membuat Azka enggan berada disini dan langsung berlari ke kamar. Aku hendak mengejarnya, takut kalau dia sedih melihat sikap Habib yang mendadak menyeramkan seperti ini.
Tapi Habib tidak membiarkanku pergi. Dia justru menarik tanganku agar tetap berada di depannya. Sementara Farida diam saja di dapur sampi melirik sedikit ke arahku. Suka aku dimarahi?
"Lain kali, kalau tidak bisa jemput bilang saja pada Mas. Biar Mas yang menjemput Azka!"
"Tidak usah teriak-teriak, Mas. Nanti kalau di dengar Azka bagaimana?"
"Sudahlah, El. Tidak usah mengalihkan perhatian, atau kamu memang sengaja membiarkan Azka pulang bersama Faisal agar kalian bisa lebih dekat?"
Aku mengernyit bingung. Faisal? Jadi itu nama ayahnya Umar? Lalu kenapa Habib berpikiran seperti itu? Aneh sekali.
"Kenapa Mas Habib berpikiran seperti itu?"
"Apa kamu tidak melihat bagaimana Faisal menatapmu? Tadi juga dia hampir meminta nomor ponselmu. Mas yakin, ada maksud tersembunyi di balik semua itu. Atau ... apa saja yang sudah kalian lakukan selama ini?"
Ini sangat aneh, seperti bukan Habib yang kukenal. Dia menuduhku bermain api di belakangnya bersama Faisal, padahal sudah jelas-jelas dia yang selalu membuatku cemburu dengan berdekatan bersama Farida.
Dia pikir aku perempuan seperti apa? Aku juga tahu batasan, tidak mungkin aku melakukan hal aneh bersama pria yang bukan mahramku di luar sepengetahuan Habib. Dia sudah marah-marah tak jelas dan menuduh bahwa apa yang Faisal lakukan tadi hanyalah modus.
"Kenapa kamu jadi seperti ini? Tidak ada yang bermain api. Aku bahkan tidak tahu siapa nama lelaki itu. Stop menuduhku yang tidak-tidak, Mas!" kataku menegaskan.
"Iya, tapi—"
"Ah! Panas!" Habib langsung menoleh ke arah Farida ketika mendengar teriakannya.
Dalam hitungan detik dia sudah berlari dan menghampiri wanita itu. Wajahnya tampak panik, tapi wajahku lebih panik melihat seperti apa kepedulian Habib terhadap Farida. Kenapa dia bisa segitu peka terhadap wanita yang selama ini dia benci?
"Ada apa, Farida?"
"Tanganku terkena tumpahan minyak panas, Mas. Bagaimana ini?!" Farida teriak histeris.
Penasaran, aku pun ikut menghampiri mereka dan melihat banyaknya tumpahan minyak di lantai. Tak hanya itu, tangan Farida juga ikut terkena tumpahan minyak sampai merah dengan sebagian punggung tangan kanannya yang melepuh.
Habib segera membawa Farida berdiri untuk di obati. Dengan sigap dia mengambil kotak P3K di lemari. Melihat bagaimana ekspresi Habib yang panik dan cemas, membuatku merasa kalau memang Habib sudah mulai peduli pada Farida.
"Jangan di olesi apapun, siram dengan air mengalir terlebih dahulu selama beberapa menit. Itu di lakukan agar lukanya dingin," pesanku pada Habib sebelum mengoleskan alkohol.
Se-tidak suka apapun aku terhadap Farida, tetap saja tidak tega kalau melihatnya terluka. Meski teriris rasanya melihat bagaimana Habib begitu peduli terhadapnya, aku hanya berusaha sabar dan menganggap semua itu adalah hal wajar.
Ya, wajar kalau Habib menolong istrinya yang terluka. Itu bukan hal aneh.
"Sakit, Mas!"
"Iya, Mas tahu. Tahan sedikit, ya? Nanti kita obati." Lihatlah bagaimana wajah itu berekspresi, sungguh cemas dengan suara yang rendah. Berbeda ketika Habib memarahiku tadi.
Aku merapikan kotak P3K yang sebelumnya berantakan. Niat hati ingin membantu mengobati luka Farida, malah dilarang oleh Habib. Katanya biar dia saja, padahal dia baru pulang kerja dan belum sempat ganti baju.
"Jangan menangis, ini tidak sakit. Ayolah Farida kan kuat." Habib mengusap air mata di pipi Farida dengan lembut. Wanita itu sampai menangis, bisa di bayangkan seperti apa rasanya? Aku tidak pernah ketumpahan minyak panas, jadi tidak tahu rasanya seperti apa.
Tapi kalau dilihat-lihat, mereka membuatku muak. Belum lagi sikap manja Farida, benar-benar menyebalkan! Dan aku hanya bisa melihat mereka sambil mengepalkan tangan. Apa ini cara Habib membalas rasa cemburunya? Dengan membuatku cemburu?