Tidak mengambil ruang rawat VIP, karena aku rasa itu terlalu buang-buang uang hanya untuk di rawat beberapa hari saja di rumah sakit. Alhasil kami mengambil kamar rawat biasa yang bergabung dengan salah seorang pasien di dalam satu ruangan yang sama.
Ada sebuah tirai yang menjadi pembatas untuk kami, dan aku kebagian di ranjang samping pintu yang tidak mengharuskan kami mengganggu pasien yang sudah lebih dulu menempati kamar ini. Merebahkan diri, Umar pun di minta segera mengurus administrasi pendaftaran dan beberapa hal penting lainnya, sementara aku akan langsung di pasangkan infus bersama suster yang bertugas.
Seorang dokter lelaki berkacamata masuk ke ruangan ini saat aku mendadak menjerit ketika jarum infus di pasangkan. Padahal ini bukan pertama kalinya aku di infus, tapi rasanya lebih sakit dari pada gigitan Rizky.
"Astaghfirullah, kenapa teriak, Bu?" tanya dokter lelaki itu, dia adalah dokter Faisal.