Habib memberhentikan mobilnya tepat di seberang jalan yang berseberangan langsung dengan taman komplek. Saat itu aku dan Umar masih asik mengobrol sambil sesekali tertawa karena beberapa lelucon yang dia buat.
Aku sama sekali tak menyadari keberadaan mobil Habib di sana, karena posisiku yang memang membelakangi jalan. Melihatku yang tertawa renyah bersama Umar dan Azka, membuat Habib mengerat kesal sambil memukul stir kemudi mobil dengan keras.
Urat-urat di lehernya pun ikut menegang, sampai dadanya ikut naik turun dengan tempo tak menentu sambil terus menatap ke arahku. Kaca jendela mobilnya pun sudah di buka, untuk memastikan bahwa yang dia lihat benar-benar istrinya.
Memutar mata dengan jengah, Habib pun memutuskan untuk pulang.
Sementara itu, aku dan Azka masih asik mengobrol sambil menikmati kue yang Umar bawa. Hingga aku tak menyadari bahwa matahari sudah mulai turun satu tonggak dan menandakan waktu ashar sudah tiba.