"Sekarang coba kamu jelasin maksud perkataan Mira tadi!" ucap Arga cepat.
Ia sama sekali tidak ingin percaya perkataan Mira barusan. Saat ini mereka bertiga sedang berada di ruangan Arga. Wina terdiam, bingung harus berkata apa pada Arga. Karena apa yang dikatakan oleh Mira adalah kebenarannya. Ia memang selingkuh dengan Heru, yang tidak lain adalah suami Mira dan mantan pacarnya saat kuliah dulu.
"Kamu berniat menjawab atau tidak, sih?"
"A-aku..." kata-kata Wina sudah tercekat. Kini ia tidak dapat menghindar lagi
Kemudian Arga mengangkat gagang telepon, "Kamu keruangan saya sekarang."
Setelah mendapatkan jawaban, pria paruhbaya itu segera menutup teleponnya dan menatap Wina lurus. Tatapannya itu menggambarkan kekecewaan yang sangat besar. Sampai pada akhirnya, pintu ruangan itu diketuk dari luar dan terbuka.
Yang barusan masuk itu adalah Jia. Awalnya ia bingung kenapa tiba-tiba ia dipanggil. Tapi sepertinya ia cukup mengerti dengan melihat kehadiran Wina disini. Jia tidak berani menatap mata Wina, jadi ia melihat langsung ke Arga.
"Jia, coba jelaskan apa yang kamu temukan!"
Jia tampak sedikit gugup, "Seperti yang bapak suruh untuk mengikuti Bu Wina tempo hari."
"Dia selingkuhkan?!"
Jia terdiam. Ia tidak berani menjawab pertanyaan Arga, karena ia juga takut pada Wina. Tidak ada yang berani mengeluarkan suara sedikit pun, hanya detak jam yang terdengar.
1 menit
3 menit
5 menit
"Keluar kalian semua. Saya butuh berpikir." perintah Arga pada tiga wanita yang ada di ruangannya.
"Aku enggak kan, sayang?" tanya Wina takut-takut
"Tidak ada pengecualian. KELUAR!"
Baik Mira, Jia atau Wina baru pertamakali melihat Arga berteriak seperti ini. Biasanya, mau semarah apapun Arga akan bersikap tenang. Tapi, kali ini sepertinya Arga sangat marah. Jadi, ketiga wanita itu segera keluar ruangan.
Setelah keluar dari rungan, tanpa aba-aba Wina langsung menampar sisi kiri wajah Jia. Mira yang ingin kembali ke mejanya pun terkejut mendengar suara tamparan itu , jadi ia segera berbalik dan melerai mereka.
"Kamu kenapa gak bilang sama aku, ha?!" tanya Wina berusaha meraih rambut sebahu Jia.
"Bu sudah bu...." Mira berusaha memisahkan mereka
"Awas kamu Mira, wanita ini harus saya kasih pelajaran."
Tepat pada saat itu, telepon yang ada dalam tas Wina berdering. Wina segera mengabaikan Jia untuk melihat siapa yang berani mengganggunya. Ternyata itu Heru yang menelpon, segera Wina mengangkat telepon itu.
"Halo sayang, kamu dimana kita udah ketahuan. Kamu dimana sekarang?"
Tanpa Mira melihat, Mira tahu siapa yang menelepon istri bosnya itu. Hatinya seperti teriris mendengar wanita lain memanggil suaminya dengan sebutan 'sayang'. Walaupun Mira dan Heru sudah bercerai, tetap saja itu menyakitkan untuk Mira.
***
Malam harinya, dengan emosi Mira membuka dengan kasar pintu rumahnya dan langsung mendapati Rachel, yang sedang membaca buku. Begitu ia melihat Rachel, wanita itu langsung menghampiri Rachel dan mengangkat tangannya, hendak menampar wajah anak gadisnya. Tapi, ia tidak sanggup melakukan itu dan tangannya berhenti di udara ketika memandang wajah putrinya. Mira langsung jatuh ke lantai sambil menangis.Tepat pada saat, Adit hendak memeluknya.
"Ibu, Ibu gak apa-apakan?" tanya Adit khawatir
Rachel diam tidak berkutik. Ia sangat syok dengan reaksi Ibunya yang hendak memukulnya. 'Apa kesalahanku ya?' pikir Rachel.
"Hel, bantuin kakak! Ambilin minum di dapur."
kata Adit menyadarkan Rachel
Rachel segera melakukan perintah kakaknya. Setelah itu, ia segera memberikan air tersrbut kepada Ibunya. Setalah beberapa lama kemudian, Adit bertanya apa yang sudah terjadi sampai Ibu mereka bisa menangis seperti ini.
"Kamu masih berhubungan dengan Alex?" tanya Mira. Pertanyaan itu bukan ditujukan bukan untuk Adit, melainkan pada Rachel.
"I-iya bu. Kak Alex yang deketin aku duluan."
"Ibu minta kamu jauhi Alex. Dia sudah punya tunangan." ucap Ibunya sambil berdiri
Rachel ingin protes tapi Ibunya berbicara lagi, "Kamu sayang sama Ibukan? Jauhi Alex."
Setelah itu Ibunya pun segera pergi ke kamar untuk mengganti pakaian. Rachel, mengikuti langkah Ibunya dengan pandangan nanar. Sementara itu, Adit berusaha menenangkan adiknya agar tidak menangis. 'Apa keputusan aku salah menerima Alex lagi?'
***
Langit malam yang kemerahan menandakan akan turun hujan. Rasanya pas sekali dengan perasaan Rachel saat ini. Galau. Saat ini ia sedang berada dipinggir jendela kamarnya, menatap langit sembari dilanda kegalauan. Ia sangat bingung saat ini, antara harus memilih cinta atau keluarga.
Lalu tangannya mengambil radio kecil yang diletakkan di atas meja dan menyetel radio itu. Dengan harapan ia mendapatkan solusi atas masalah yang sedang ia hadapi. Alunan musik pun mulai terdengar di telinga Rachel.
'Lagunya kak Rossa.' ia pun mengulum senyumnya. 'Sudah masuk di bagian bait kedua rupanya.' pikir Rachel lagi. Ia sama sekali tidak menyadari judul lagu apa yang ia dengar, hanya saja Rachel menebak kalau lagu itu milik kak Oca.
Mencintaimu sebagai bagian terindah dihidupku
Tak kubiarkan kau tak bahagia
Berjuta fatwa cinta yang ada
Mengantarku pada kenyataan
Hatiku memeluk bayang bayang
Ingin denganmu tapi tak bisa
Rachel tersenyum miris mendengar kata-kata itu, tapi tiba-tiba air matanya menetes membasahi pipinya.
"Aduh kelilipan mataku." kata Rachel berusaha menyangkal kalau sebenarnya ia sedang menangis.
Gadis itu sudah mengelap air matanya yang berkali-kali jatuh, tapi air matanya terus saja berjatuhan. Tidak beberapa lama, akhirnya Rachel mengakui kalau ia sedang menangis.
"Hiks, kenapa sih disaat aku udah mencoba kembali dekat sama dia, malah harus dipisahkan kayak gini?!" rancau Rachel ditengah-tengah tangisannya
Adit yang sudah berdiri di depan pintu kamar adiknya yang tertutup, menghentikan langkahnya sejenak. 'Kasihan Rachel, sepertinya dia tertekan sekali.'
Tok.Tok. Tok.
Dengan cepat Rachel segera menghapus air matanya yang tersisa. Kepala Adit muncul dari balik pintu.
"Kakak boleh masuk, Hel?"
Rachel mengangguk cepat mengiyakan. Adit masuk ke dalam kamar adiknya, diam-diam ia memperhatikan gerak-gerik Rachel.
Sakit namun aku bahagia
Ku terima sgala takdir cinta
Bulan dikekang malam
Suara merdu Rossa di radio terdengar di telinga Rachel dan Adit. Begitu mendengar kata-kata itu Adit segera mematikan radio dan memeluk Rachel erat, berusaha memberikan kekuatan pada adiknya itu.
Rachel membalas pelukan itu dengan erat, tapi tangannya bergetar hebat. Menandakan kalau ia sedang menangis.
"Yang sabar ya, Hel. Kakak tau kamu orang yang kuat." Adit masih berusaha meredakan tangisan Rachel
"Tapi, apa yang dibilang Ibu itu benar. Dia udah punya tunangan."
Tangisan Rachel semakin keras mendengar ucapan dari Adit. "Aku juga tau itu, kak. Tapi tidak boleh ya aku hanya berteman sama dia?"
Adit terdiam. Laki-laki itu kehabisan kata-kata. Benar, apa salahnya jika berteman? Kemudian, Rachel beranjak bangun dari duduknya.
"Lho, kamu mau kemana?"
"Ngomong sama Ibu!"
Rachel pun berjalan cepat keluar ruangan dan menuju ke kamar Ibunya. Tapi saat ia sampai di depan kamar Ibunya, gadis itu menghentikan langkahnya mendengar percakapan Ibunya dengan seseorang di telepon.
"Kamu mau jodohin anak-anak kita? Kamu gak salah."
Deg.
Tiba-tiba ada sesuatu yang berat dan tajam menusuk hatinya. Sangat sakit, kenapa semuanya jadi seperti ini? Kenapa disaat ia akan menjelaskan semuanya, ia harus mendapati kenyataan pahit seperti ini.
Perjodohan. Salah satu hal yang paling ia takuti saat akan beranjak dewasa. Akhirnya hal itu benar-benar terjadi padanya. Kini, ia benar-benar pasrah dengan segala keputusan Ibunya.
***
Pagi itu suasana di meja makan sangatlah suram. Hal itu dapat dirasakan Tania dan Alex. Mereka berdua dengan cepat menghabiskan makannya agar bisa dengan cepat meninggalkan situasi tidak enak itu. Apa yang terjadi dengan orangtua mereka pun, mereka tidak ingin tahu. Mereka sudah cukup sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Terutama Alex yang sedang menata ulang hubungannya dengan Rachel.
"Pa, Ma aku berangkat ya!" seru Alex sambil menaruh gelas kembali di mejanya
"Nia juga Pa, Ma."
Setelah anak mereka pergi meninggalkan rumah, suasana di meja makan semakin tegang.
"Sayang, tentang kemarin..."
"Aku mau ke kamar dulu." Arga segera beranjak dari duduknya, namun ditahan oleh Wina.
"Tunggu, kita harus bicara " kekeh Wina
Wanita itu telah menyiapkan jawaban, setelah berunding dengan Heru kemarin.
"Aku rasa gak ada yang perlu kita bicarain lagi. Semua udah cukup jelas."
Setelah mengatakan itu, Arga segera pergi meninggalkan Wina sendiri di meja makan menuju kamar. Wina yang tidak terima, langsung mengejar Arga.
"Tapi apa yang dibilang Jia itu gak benar, Ga. Aku gak mungkin menghianati kamu!"
"Cukup ya, Win. Sekarang aku mau kerja. Jadi, jangan ganggu aku!"
Arga melewati Wina begitu saja dan masuk ke kamar mereka berdua. Setelahitu Wina menatap pintu kamar mereka dengan pandangan sebal.
"Ck, gagal. Pakai cara apalagi coba?"
***