Chereads / Dibalik Tanpa Cerita / Chapter 4 - Ungkapan Tak Berkesan

Chapter 4 - Ungkapan Tak Berkesan

Terima kasihku padamu tuhanku.

Lukisan dan ukiran ini telah engkau bentuk dengan sedimikian rupa, aku yakin dan percaya padamu.

Anugerahmu terus mengalir setiap detik, kuasamu sungguh agung.

Memujamu merupakan hal terbaik untuk urusan apapun yang sedang terjadi.

Ya tuhan...

Hari ini izinkan aku mengadu padamu.

Banyak kemauan yang ku mau.

Hambamu ini begitu kebingungan.

Tak tahu kebenaran.

Lupa caranya menikmati apa yang telah engkau sajikan.

Ya tuhan...

Tanganku tak sanggup menulis puisi tentang hidup ini.

Pikiranku sungguh tak bisa berhenti berputar.

Mulutku tak bisa diharapkan untuk bicara dengan lantang.

Keluarga.

Saudara.

Teman sebaya.

Tetangga.

Tidak bisa menolongku.

Tak sanggup menyembuhkanku.

Mereka sama sekali tak tahu mengenai diriku.

Ya tuhan...

Banyak yang aku butuhkan.

Aku butuh seseorang untuk menasehatiku.

Aku butuh waktu untuk menghibur diriku.

Nikmatmu yang begitu banyak telah aku abaikan.

Kasih sayangmu yang engkau anugerahkan tak pernah ku sadari.

Sesungguhnya engkau selalu bersamaku, tapi aku tak pernah menganggap itu.

Aku ini manusia yang rapuh.

Diriku senantiasa butuh.

Aku yang lemah hanya bisa berdoa dan bersimpuh.

Ya tuhan...

Aku sedang tidak baik baik saja, kalau memang aku tenang dan merasakan bahagia, itu semua karena kehendakmu ya tuhan.

Sebuah panggung bernama dunia ini telah merubah dan membolak balikkan ku.

Aku harus tampil menunjukkan aksi dihadapan para penonton.

Namun aku juga yang harus belajar dan menanggung resiko dari ini semua.

Teman temanku...

Yang lama dan yang baru.

Masa kini dan dulu.

Kadang aku juga pernah berbuat salah pada kalian,

Barangkali ada lubuk hati yang terpendam atau mungkin kata kata yang ditahan untuk diucapkan.

Teman temanku semuanya...

Satu demi satu dari kalian adalah warna yang berbeda.

Aku tak bisa merangkul kalian semua.

Tidak satu per satu aku berbagi cerita.

Sesungguhnya aku tak sanggup jika sendiri tanpa ada yang menemani.

Tak kuasa menahan cobaan jika tanpa kehadiran bersama.

Satu, dua, tiga masih belum cukup untuk dikenalkan pada dunia.

Orientasi.

Relasi.

Simpati.

Intropeksi.

Evaluasi.

Siklus ini tak akan berganti.

Keadaan terus berputar.

Baik buruknya temanku.

Tawa dan tangismu.

Bahagia dan murkamu.

Itu semua karena diriku, sebab diriku, oleh diriku, dan akan kembali padaku.

Ya tuhan...

Mereka temanku.

Teman adalah yang menemani bukan menentukan takdir yang palsu atau pasti.

Mereka cukup untuk bersama tapi tidak untuk selamanya.

Dia, kita, kami jadi terbilang semua namun tidak akan ada sepenuhnya.

Keadaan ini.

Rasa ini.

Seperti membayangi.

Terus mengikuti.

Depresi yang tiada henti.

Tantangan yang siap menanti.

Waktuku ada dalam penentuanku.

Jadwalku acak sesuai dengan porsi kemampuanku.

Batas waktu ditentukan oleh perlakuanku.

Waktuku dari masa lalu menuju sekarang telah terlampaui dengan rentetan.

Tak terhitung berapa lama.

Tak terkira berapa banyaknya.

Satu demi satu.

Hilang satu ganti seribu.

Ya tuhan...

Aku sedang kesusahan.

Huru hara kekacauan.

Bagiku ini penderitaan.

Padahal ini sebenarnya cobaan.

Malam adalah waktu langganan untukku menyendiri dengan segala renungan.

Kamar jadi tempat untuk menutupi suka duka yang silih bergantian.

Bantal dan guling sebagai sandaran sekaligus bahan pelukan untuk diriku yang membutuhkan.

Ya tuhan...

Aku tak bisa berkata kata.

Ini nyata.

Semua yang terjadi bagai setetes air yang tak pernah meredakan dahaga.

Entah bagaimana caranya atau semua ini mengapa.

Aku tidak seperti biasanya...

Lagu favorit akhir akhir ini terbengkalai.

Video klip yang menarik terlihat membosankan.

Komunikasi putus arah dan haluan.

Ini benar benar sesuatu yang aneh.

Ini bukan bencana.

Saat ini bukan peristiwa.

Ini nyata yang tak pernah terduga.

Istirahatku tidak lagi tidur.

Asupanku berbeda dari makan dan minum.

Ambisi telah hilang dan pergi.

Ekspetasi terancam berhenti.

Cinta bukan lagi keinginan hati.

Tapi apa ?

Bagaimana ceritanya ?

Ya tuhan...

Aku tak bercanda.

Senda gurau teman temanku masih belum cukup mengubah suasana hatiku.

Wajah bahagia orang orang disekitarku jadi pemandu ekspresiku.

Ya tuhan...

Ini sungguh berat.

Benar benar sulit dipahami.

Perasaan pun kaget dengan kenyataan ini.

Salah satu bagian dari dirku yang sedang koma tak berdaya adalah hati.

Hati menolak suasana lalu secara tiba tiba menyulap yang ada jadi biasa.

Hitam putih dunia dijadikan tema cerita, kesan tanpa titipan merupakan kesimpulan dari satu per satu bagian.

Alur maju mundur kiri kanan berhenti dan balik pada keadaan jadi sebuah kunci untuk menemukan alasan.

Obat untuk kisah tak berkesan ini sangat sulit ditemukan.

Penawarnya masih berupa doa dengan ketekunan.

Pencegahnya tidak bisa dipastikan.

Hati yang dulunya berbunga kini layu.

Rasa suka sudah mulai kadaluwarsa.

Merasakan kecewa karena cinta telah usang terbuang dengan status kisah lama.

Perasaan mulai tak karuan dengan berbagai jenis simpangan yang ada disetiap jalan.

Perlahan apa yang ada kian menjauh tapi aku enggan mengejar.

Fakta dari hari ke hari terasa biasa saja.

Satu per satu mulai hilang.

Ini memang waktu yang cepat berlalu atau aku yang lama menunggu.

Keadaan yang menekan atau diriku yang merasa tertekan.

Situasi sebenarnya sedang berubah atau suasana pikiran yang salah jalan.

Semesta mustahil disalahkan.

Orang orang tak layak diberi tuntutan.

Begitu pula realita tak bisa dilarikan.

Ekspetasi lebih diandalkan.

Perkara yang tak jelas datang dari mana.

Langkah terpaku tak tahu mana yang harus dituju.

Pergerakan jiwa ini terasa semakin terbatas ditengah kemungkinan yang luas.

Tiada orang yang bisa mewakili suara dengan kebijakan yang benar benar pantas.

Pikiran semburat menjelajahi ruang dimensi dengan tema tidak pasti.

Usia semakin bertambah, waktu pula berkurang.

Ada masa lalu entah itu tahun, bulan, minggu, atau kemarin yang masih membeku.

Cita cita untuk masa yang akan datang sudah tidak lagi jadi pembicaraan.

Angan angan yang tinggi kadang juga ditarik hingga terhempas sebab keterbatasan.

Tiada lagi kepuasan.

Perasaan yang lega dirindukan.

Badan ini sungguh sehat dan bugar, kerja keras cukup untuk dilibas.

Strategi tentu dapat dirancang sedemikian rupa menggunakan akal yang sempurna.

Ternyata aku yang tahu masih saja belum tentu.

Kemauan untuk belajar ialah kunci untuk membuka lembaran baru yang lebih indah dari sebelumnya.

Keraguan diri sendiri ini dapat menyebabkan penyesalan yang sulit dilupakan.

Namun seleksi juga sangat diperlukan, karena segalanya bukanlah inti dan kewajiban.

Waktu yang berjalan tak boleh disambut dengan lamanya kecewa untuk dirasakan.

Keadaan yang biasa saja lebih baik daripada suasana hati yang keruh.

Aku yang salah...

Aku memperkerjakan raga ini untuk membela hal yang tak begitu berarti.

Suasana batin yang paling dalam telah ku belenggu dengan penyesalan waktu yang telah berlalu.

Angan angan yang melaju ke belakang maupun ke depan lebih baik dihentikan.

Harapan sudah berantakan karena ketidaksesuaian dengan apa yang dipikirkan.

Akhirnya kesedihan datang padahal tak di undang.

Menyesal tiada guna pada sesuatu yang bukan istimewa.

Kecewa pada hati kecil yang suka berkata semaunya.

Kegalauan menghampiri karena ulah diri sendiri.

Sudahlah...

Akhiri semua ini.

Lupakan, hilangkan, relakan.

Diriku tak tamat apabila kemauan dan keinginan gagal aku wujudkan.

Sepercik ekspetasi yang tak berwujud memori tak perlu disesali.

Bukti yang tak terungkap sama sekali tidak ingin didengar dan diketahui.

Sebab...

Syukur pada tuhan akan anugerah hidup untuk merasakan manis dan pahit sebuah pengalaman.

Berharga atau tidaknya bisa jadi sebuah mitos yang tak berguna.

Momentum yang tercantum belum tentu setiap saat dapat terlibat.

Membuat takdir untuk diri sendiri itu sungguh susah bahkan mustahil jika tanpa pertolongan tuhan.

Ya tuhan...

Maka dari itu iringilah langkahku.

Bantulah aku untuk menerjang segala cobaan.

Jagalah diriku dari berbagai keburukan dan kesalahan dari berbagai penjuru.