143
"Siapa kamu berani ikut campur urusan saya!" bentak Mama Amberly.
"Saya cuma manusia yang merasa empati pada pembantu Ibu," jawabku.
"Urusi saja diri sendiri. Jangan mengurusi hidup saya. Muka kamu jelek, jalan aja kaya orang pincang. Cuih!" Mama Amberly meludah ke lantai.
Astaghfirullah, keangkuhannya juga semakin meningkat dan bukannya berkurang. Ternyata kejayaannya dan kekayaan seseorang memang bisa membutakan mata hati.
"Ya Bu, tapi maaf loh. Saya lihat anda terus memaki pembantu. Sedangkan orang yang anda maki, sudah melakukan pekerjaannya dengan benar. Kenapa Ibunya masih marah-marah aja," balasku.
"Hak saya dong, dia orang kerja sama saya. Kenapa anda yang sewot," sahut Mama Amberly.
"Iya, tapi ini sudah bukan jaman perbudakan, Bu. Jadi, apa yang ibu lakukan itu persis seperti penjajah," kataku.