Orang itu sih enak tidur nyenyak. Yang kena tusuk itu kan pihak perempuan. Laki-laki mah kebanyakan nikmat.
Semalam Lyra ingat, tanpa sadar air mata netes yang bisa ia cegah. Saking kuatnya Martin menyetubuhinya.
Perlahan Lyra bangkit. Akibat lecet, suara ringisan menguasai keadaan.
"Tetap disini, aku akan mengobati selangkanganmu."
Frontal!
Martin gak ada akhlak. Apa tidak malu...?
Ngomong gak difilter.
Lihat, orangnya aja masih tidur. So, ngigau?
"Hua, sakit tahu gak. Coba gantian, aku harus gimana? Ini hari pertama aku kerja. Nanti dapat kesan buruk."
Pelukan Martin berubah ke remasan kencang di puncak dada Lyra. Hal itu tentu buat si empu meringis. Ingat, bukan keenakan, tapi sakit.
Lyra yakin, badannya encok. Habis semalam ia pingsan saking kasar dan tak bisa berhenti Martin mengagahinya.
Untung masih bangun, kalau gak, say goodbye ke dunia yang hingar-bingar ini. Ia dead.
"Kamu bodoh atau gimana? Sekarang hari Jum'at. Pekan selanjutnya baru mulai kerja. Dengar, aku kasih izin, tapi kamu harus dalam pengawasanku. Akan ku kirim seseorang berkerja ditempat sama denganmu."
Gak bisa dibiarkan. Lama-lama hidup Lyra terasa dipenjara. Sifat posesif Martin sudah berlebihan. Orang itu harus dikasih ceramah hidup.
Sambil menyentak tangan Martin yang bergerak aktif, Lyra pun berbalik. Sialnya itu malah buat alat vital keduanya bergesekan. Mana sakit lagi.
"Aku bisa mati muda dengan sikap anak kecilmu ini Tie. Kan udah besar, jangan posesif dong, aku orangnya setia kok. Yang ada kamu tuh harus aku waspadai. Kamu kan otak selangkangan."
Begini nih kalau istri sudah menggerutu. Jangan heran, sampai ayam berkokok kedua kalinya pun, pertanda siang menyambut, Lyra belum tentu berhenti ngomel.
Biar lebih memperkuat suasana, air mata yang sudah dipelupuk keluar begitu mudah. Serius, itu sakit. Lyra tidak bisa beraktivitas. Kemungkinan besar buat mandi pun gak bisa.
Gak masalah jalan tertatih-tatih, yang penting Lyra gak kayak orang lumpuh. Tapi ini gimana!?
"Sssttt jangan nangis. Ya udah biar aku bantu kamu mandi."
"Gak mau! Dasar jahat. Dosa aku sebanyak apa sih sampai dapat suami kejam kayak kamu!?"
Tatapan hangat Martin bertukar tajam. Lyra memancing jiwa devilnya keluar.
***
Disinilah Lyra sekarang. Meratapi nasib oleh sikap bar-bar suaminya. Bukan cuman sakit, tapi lebih. Rasanya nusuk ke relung hati.
Sakit yang lebih menyakitkan adalah hati. Kalau fisik kan terlihat letak lukanya, setidaknya tahu bagian mana yang harus diobati. Kakau hati atau batin. Tak ada yang tahu letak pasti sakit tersebut.
Mari menerawang.
Kalimat kasar Martin terus mengiang-ngiang di otak Lyra.
Kurang lebih begini.
"Kamu menyesal? Ingin cerai? Ya udah ayo. Aku pun gak suka ke orang yang sulit diatur. Kalau ingin pergi, ya udah. Sebelumnya aku sudah bilang, kalau ingin tinggal dirumah harus ikut peraturanku. Gak sanggup, silahkan, pintu terbuka lebar."
Bayangin, orang itu ngomong pakai mencak-mencak dan hampir menampar Lyra. Sakit kan?
"Dasar tak tahu terima kasih." Si empu misuh-misuh. (Lyra.)
Geregetan mau nampol. Tapi, gak tahu sasaran tepat.
Lyra tahu Martin kesal, tapi gak harus gitu juga. Mereka belum buat Denes malu sampai jatuh. Bagi Lyra sih masih kurang. Kalau boleh, Lyra kepengen Denes dan perusahannya hancur.
Entah sejak kapan pikiran jahat menguasai pikiran orang yang sebelumnya tertutup tersebut. Pokoknya Lyra gak terima!
"Hiks, gak nyesel apa kalau aku pergi. Yang ada nanti cari-cari aku. Saat ketemu bilang, 'maaf, aku menyesal, ayo pulang.' Aku mah gak semudah itu balik. Enak aja!"
Bantal dan sprai jadi sasaran orang tersebut. Lyra kesal. Diremas tak tentu arah. Penyaluran yang kurang sampai bantal dan guling Lyra lempar ke dinding. Sengaja gak ditujukan ke spot yang terdapat barang, takut pecah.
Lyra kan gak mau disuruh ganti. Dia belum kerja. Kalaupun udah kerja dan dapat gaji, ia tetap gak mau ngerusak barang. Cukup hati aja yang hancur.
Biasalah, pribadi sayang duit. Harap maklum.
"Ibu, Ayah, kak Jane, aku mau kabur. Tapi kemana?"
Cairan bening Lyra merembes bak hujan yang tak tahu berhenti kapan. Nangis ya, harap jangan salah paham. Yang jelas Lyra kesal!
Hati hancur berkeping-keping.
Martin sih cuek pergi ke kantor. Nah, Lyra nelangsa mirip orang habis kena telantar. Right, Lyra ditelantarkan oleh suami sendiri!
Kalau gak dipeduliin kan sama aja ditelantarkan.
Ia usap kasar air mata yang keluar.
"Gak, harus tahan. Kabur bukan satu-satunya jalan untukku. Aku harus mengendalikan Martin agar dia gak seenak jidatnya memperlakukan aku kayak kain perca gini. Lihat, kau yang kalah oleh sifat sok besar, Mr Jinan. Aku gak mungkin dibawah kuasamu terus!"
Semangat Lyra berapi-api. Lalu setelahnya ia pun beralih ke makanan yang belum disentuh oleh sebab sakit hati. Biasanya nafsu makan Lyra tak terganggu walau ingin ia segalau apapun, tapi sekarang, ngelirik pun tak minat.
Pipi Lyra blushing saat ingat betapa Martin merawat yang ia sebut tanggung jawab. Walau sambil marah-marah akibat emosi yang menguasai, orang itu tetap melakukan yang ia sebut.
Membantu Lyra bersih-bersih tubuh sampai memakaikan pakaian. Lalu setelah itu mengobati alat vitalnya. Ya, walaupun masih sempat berlaku tak senonoh sih.
Tipe tukang ambil kesempatan dalam kesempitan. Itulah Martin.
Lyra sontak menggelengkan kepala kuat-kuat saat ingat sang suami membersihkan 'itu' pakai cara tak terduga. Mulut dan lidah!
Badan Lyra sampai panas dingin, kejang-kejang saat sensasi pelepasan datang. Dan Martin tanpa jijik meneguk habis.
Sudah, Lyra gak mau pikir hal itu lagi, gak sanggup!
"Aku pasti sudah gila."
"Cukup, makan aja Ly, gak boleh mikir macam-macam!"
Demi perut yang ngamuk minta diisi, Lyra pun makan dengan lahapnya. Ibarat orang yang gak makan setahun. Pada dasarnya Lyra memang tak bisa nahan diri untuk tak makan satu kali pun.
Ia lapar!
"Kepengen makan sosis daging dan nugget, boleh gak ya?"
Meneguhkan hati dan pikiran, Lyra coba beranjak dari ranjang. Tapi percuma, sakit 'itunya' seperti sudah menyatu ke tulang belulang.
"Aku kok ditinggal sendirian!?"
Mau ngamuk lagi kan bawaannya.
"Eh, kan ada Bibi. Kenapa gak kepikiran?"
Baru disebut, orang yang barusan Lyra sebut sudah ada tepat di dihadapannya. Orang tua tersebut tersenyum hangat ke Lyra.
"Ly, ada Tuan dan Nonya berkunjung."
Otak Lyra masih berproses, who?
Satu detik, dua detik, tiga detik. What!?
Ibu dan ayah datang. Beberapa hal buat Lyra bersyukur sebab asisten rumah sudah memanggil pakai nama. Namun kedatangan ayah dan ibu langsung direspon Lyra takut.
Ia tidak dalam kondisi baik. Lalu, jikalau bisa ia tak ingin buat kedua orang tersebut khawatir. Ayah dan ibu, tidak!
Cukup Lyra yang tanggung sendiri. Eh, kenapa harus disembunyiin?
Bagus ayah dan ibu tahu, biar Martin ditegur. Takutnya setelah ditegur orang itu ngamuk lagi. Ditambah urusan rumah tangga yang dalam konteks itu agak riskan. Lyra bingung.
Memang sih termasuk kekerasan dalam rumah tangga. Tapi Martin maniak. Itu termasuk pengecualian sebab ia pun pasti tak ingin begitu.
Semua orang ingin normal. Normal tidak sih orang yang maniak hubungan intim?
Tahu ah.
Pusing.
*****