Ketika orang-orang berpikir bahwa menuntut ilmu adalah suatu kegiatan duduk menatap dan mendengar gagasan sang penyedia ilmu itu, mungkin di sini pula segala persepsi disatukan melalui anggapan-anggapan polos tentang ilmu itu sendiri. Demi menyongsong sebuah kehidupan dan melangkah ke depan menuju zona yang lebih tinggi, terkadang seseorang harus melalui ujian-ujian panjang. Dan di titik itulah masa depan akan menjemputmu. Meskipun semuanya tetap akan melalui perjuangan-perjuangan berat.
Hifa berdiri di muka gedung Rumah Sakit Umum Batui tanpa gairah. Dengan enggan dia menyeret tubuhnya masuk ke gerbang depan yang masih tampak rindang. Setelah semalaman dia bermuram durja karena harus berada di daerah terpencil selama setahun, Hifa akhirnya memutuskan untuk menerima nasibnya.
Dia berhasil menuju ke Rumah Sakit tersebut berbekal peta dari toko kelontong di sebelah kos-kosannya. Walau tempat ini belum terpetakan di aplikasi penunjuk arah manapun, Hifa bisa mencapainya dalam waktu yang relatif singkat.
Misteri tentang bagaimana dia bisa memilih wahana tersebut juga belum terpecahkan oleh akal sehatnya. Akan tetapi tidak ada hal yang tidak beralasan di dunia ini. Mungkin nasib yang akan memberikan alasannya. Satu hal yang pasti, dia sudah terperosok di tempat ini dan sekarang mau tak mau dia harus menjalani masa internship di sini selama setahun ke depan. Hanya setahun. Pikiran itulah yang senantiasa dingiangkannya tiap kali mengingat penempatannya yang random itu.
Dia mengamati sekeliling rumah sakit sambil berupaya membesarkan hatinya. Paling tidak di sini masih ada segelintir kendaraan bermotor yang berlalu lalang di jalan lintasnya, listrik yang hidup setengah hari, dan internet walau koneksinya hanya di awal bulan, serta beberapa fasilitas langka lainnya.
Jalanan pun sebagian besar sudah diaspal. Jarak antara tempat tinggalnya ke rumah sakit sekitar dua kilometer. Tadinya Hifa pikir dua kilometer adalah hal yang kecil, tapi dengan segala lika-liku, tanjakan, dan turunan menuju ke tempat ini, harus diakui itu cukup melelahkan. Apalagi otot betisnya sudah lama berelaksasi.
Bangunan rumah sakit memang sedikit tua, tapi halamannya sangat luas dengan garis pantai menghampar di seberang jalan. Ada dua bangunan utama yang tampaknya terbagi menjadi bagian rawat inap dan poliklinik. Belum terlihat adanya aktivitas orang di poliklinik tersebut. Hanya seorang bapak-bapak yang tengah menyapu di halaman berumput itu. Hifa menyiratkan senyum yang segera dibalas dengan senyum yang lebih lebar lagi.
"Polikliniknya belum buka," kata bapak itu mendapati Hifa celingak-celinguk.
"Oh, jam berapa pak baru buka?" tanya Hifa.
"Sekitar jam delapan," jawab bapak tadi. "Mau cari siapa?"
"Saya dokter magang baru yang akan bertugas di sini pak," jawab Hifa.
"Oh, kalau begitu masuk saja dulu, nak," ujar bapak tadi.
Hifa mengangguk dan berterima kasih sambil berlalu memasuki pintu besar yang langsung mengarahkan ke deretan pintu-pintu. Kursi besi sebagian besar masih kosong walau sudah ada beberapa pasien yang tengah menunggu di loket pendaftaran.
Langkahnya berhenti di pintu ruang administrasi yang berada di ujung lorong. Pintunya masih tertutup, tapi sudah ada tiga orang menunggu di depannya. Ketiganya telah ditemui kemarin pada saat pembekalan. Namun karena disibukkan oleh kegiatan kemarin, Hifa tak sempat ngobrol dan berkenalan dengan mereka. Dokter pembimbing mereka yang hadir juga hanya yang dari puskesmas sehingga Hifa belum sempat bertemu secara langsung dengan dokter pembimbing dari rumah sakit.
"Dokter iship yang baru juga ya?" tanya seorang peserta internship laki-laki berkaca mata.
"Iya," jawab Hifa. "Belum buka ya?"
"Belum, katanya sebentar lagi," timpal peserta yang lain.
Ketiga orang menatapnya seraya menerka dari mana dia berasal. Logatnya mungkin sudah bercampur sana sini efek kelamaan di Medan. Padahal Hifa gadis Jogja tulen. Tapi apa daya, logat Medan memang susah untuk tidak diikuti. Lagipula, Hifa sudah menetap di Medan sejak dari kecil.
"Mbak dari Jakarta ya?" tanya Hifa yang lebih mudah menebak asal mereka. Jaket dengan bordir logo universitas itu langsung dapat terlihat oleh Hifa.
"Iya saya dari Jakarta, Mbaknya dari mana?" tanya perempuan berambut pendek itu ramah.
"Saya asal Jogja, tapi besarnya di Medan," jawab Hifa.
"Wah, saya juga dari Medan," timpal laki-laki berkacamata yang tadi menyambut Hifa.
"Jauh juga ya dari Medan," timpal perempuan berambut bob itu.
"Gaklah Mbak, bosan di situ-situ aja," jawab Hifa enteng. Dia cukup tegar dengan tidak mengeluh bahwa konfliknya dengan komputer di warnet sialan itu berujung dengan dirinya yang terjerembab di tempat ini.
"Kalau saya sih memang ada keluarga di sini," jawabnya.
Percakapan mereka terhenti saat seorang dokter senior melintas di depan mereka. Hifa sempat kepoin profil para dokter di RSUD ini sebelumnya. Hanya Hifa tidak menyangka penampakan asli orang di depannya ini lebih menawan dari yang tertera di profil sosial medianya. Kemolekan hakiki yang menyedot perhatian para gadis ini turut membuat Hifa linglung.
Senyum tipis menyelinap di setiap mata yang tertuju ke arah sang empunya paras rupawan tersebut. Hifa pun mendapat jatah sapaan dari sang senior. Dia melangkah memasuki ruang administrasi. Sekilas semua menatap sosok itu terpana.
"Pagi." Suara lembut itu bergetar menjalar ke koklea dan merasuki korteks pendengarannya. Membuat matanya tak lekang menatap sang pemuda. Harus diakui, ini hal pertama yang membuat Hifa sama sekali tidak menyesal menemukan rumah sakit ini sebagai tempatnya mengabdi selama setahun. Setidaknya dia tidak perlu repot-repot mencari pengalihan saat menghadapi pasien bawel. Ketampanan tak terdefinisi ini lebih dari cukup menggantikan kekesalannya terdampar di wahana tak berkoordinat tersebut.
"Ayo, masuk," panggilnya kepada semua peserta internship.
Bergegas semua memasuki ruangan berdinding hijau itu. Tak lama mereka pun duduk, disusul dokter senior.
"Jadi... ada lima dokter iship tahun ini ya?" tanyanya. "Udah berapa orang yang datang?"
"Empat, dokter," jawab salah satu peserta dengan tubuh ceking itu.
"Ah, jangan panggil dokter lagi. Kita kan sejawat sekarang. Panggil saja Gatta." Dokter Gatta berkata dengan santai. "Katanya satu orang itu tambahan untuk mencukupi kuota ya?"
"Iya, kak," jawab peserta perempuan itu lagi.
Dokter Gatta kembali melanjutkan penjelasannya mengenai rumah sakit yang akan mereka tempati ini. Diam-diam Hifa memperhatikan kulit eksotis yang menyeruak dari rahang yang gersang akan rambut itu. Bisik-bisik dari peserta iship tadi, dr. Gatta ini tipe-tipe buaian hati para wanita. Perawakannya tinggi dengan biseps yang padat. Bahu jenjangnya tampak begitu nyaman untuk dipeluk. Bola matanya hitam terbungkus dalam kornea yang jernih. Walau bukan sesuatu yang istimewa, tatapan berbinar yang ditebarkannya berhasil memicu vertigo bagi si penatap.
Hifa akhirnya bersyukur, setelah sekian lama tidak cuci mata, ternyata di sinilah keberadaannya. Akankah dia menemukan cintanya? Ah... dia mabuk cinta lagi. Hentikan! Apalah yang kupikirkan ini. Benar-benar tak beretika kedokteran, batinnya kembali menyalak.
"Jadi, kita tunggu teman kita ini atau tidak?" tanya dr. Gatta.
"Tunggu aja dok, eh... pak... eh... kak," kata salah seorang dari mereka kikuk.
Pria berlesung pipit itu tergelak. "Oke kita tunggu 15 menit lagi ya. Sambil menunggu, siapa saja yang warga asli?"
Semua mata saling menatap. Tidak ada yang mengangguk. Tampaknya semua orang di sini akan berpisah setelah setahun dari tempat ini.
"Tidak ada ya?" tatap Gatta sedikit kecewa. "Kamu dari mana, dik?"
"Saya dari Medan," jawab Hifa cepat.
"Namanya?"
"Hifa Alzir."
Gatta mengangguk-angguk sambil memberi tanda centang di kertas absennya. Lalu dia menoleh ke peserta yang lain.
"Kamu namanya siapa?" tanya Gatta berlanjut ke internship perempuan berambut bob dan berkulit sawo mateng di samping Hifa.
"Nindi," jawabnya kemayu.
"Yang lain? Dari mana aja?" tanya Gatta ke arah kami. "Kamu dari mana, dik?"
Setelah semua ditanya akhirnya datang orang terakhir yang ditunggu-tunggu. Seorang pemuda berkulit putih langsat itu masuk tanpa permisi. Dahinya lebar dengan tumpukan poni yang saling bersilangan menutupi alis matanya. Laki-laki dengan telinga yang kecil dan bibir yang tipis itu pun melangkah menyeberangi sekumpulan yang ada di ruangan dan mengambil tempat paling sudut.
"Maaf, kamu..," sela Gatta sambil menatap heran.
"Ifan," jawabnya singkat.
Gatta sekali lagi memberi tanda di kertasnya. Kegiatan perkenalan telah berakhir. Dia terlihat tidak berniat menanyai Ifan yang tampak dingin itu dengan lebih banyak pertanyaan.
Namun pandangan para peserta internsip yang lain justru teralihkan ke Ifan. Mereka heran menatap orang tidak tahu diri itu menyelinap masuk tanpa ba bi bu dan duduk tanpa dipersilakan. Semua berpikir mungkin inilah salah satu orang yang akan mereka benci di tempat ini. Atau mungkin… ada juga yang berpikir, pria kaya mana yang memilih tempat internsip di tempat terpencil ini?
Semua asumsi terpampang jelas di setiap ekspresi kelima orang yang ada di ruangan itu, kecuali Hifa. Hifa tak bisa berpikir karena semua energinya habis terkuras untuk menenangkan dirinya. Bahkan untuk mengatupkan mulutnya yang dari tadi ternganga saja dia tak sanggup.
Ifan Rasalas disebut-sebut sebagai putra mahkota pengusaha terkaya di Medan. Ayahnya menguasai seluruh perkebunan sawit yang ada di Sumatera. Konon katanya, jalan-jalan beraspal di pelosok Sumatera dibangun oleh keluarga Rasalas itu. Lupakan tentang uang, karena itu hal terakhir yang akan dia khawatirkan. Dia memiliki kekayaan yang semua orang impikan. Beberapa dosen bahkan sudah merekomendasikan dia untuk masuk berbagai jurusan di universitas lamanya. Dia juga sudah disiapkan kuotanya untuk masuk ke universitas terkenal sesuai dengan jurusan yang dia inginkan. Selain karena dia putra konglomerat, otaknya juga encer seperti susu beruang. Hifa hanya serpihan debu di hadapan sosok pewaris dinasti itu.
Kesempurnaan Ifan yang menakjubkan bertolak dari tabiatnya. Hifa pernah sekelas dengannya waktu dia menempuh pendidikan praklinik. Hifa juga menjadi co-assistant minggu bawahnya. Yang berarti nasib Hifa amat bergantung pada Ifan selama menjadi koas. Itu pula yang menjadi biang penderitaan Hifa selama satu tahun sepuluh bulan tersebut. Ifan kerap mengerjai Hifa dengan jebakan-jebakan mautnya, yang mengakibatkan dia kerap gagal di beberapa stase klinik. Jika bisa dihitung, sebagian besar kesengsaraan Hifa selama pendidikan dokter disebabkan oleh adanya sosok menyebalkan bernama Ifan Rasalas.
Seakan itu semua sudah terjadi ratusan tahun silam, kini peristiwa itu akan kembali terulang. Ifan pasti memiliki motif tersendiri hingga bisa muncul ke tempat ini. Hanya saja, kali ini Ifan terlihat lebih semeraut dari biasanya. Tidak ada yang tahu latar belakang keluarganya selain Hifa.
Mau apa anak ini? Hifa bertanya-tanya dalam hati. Api kebencian berkobar dalam benak Hifa. Tadinya dia berharap dengan terlempar ke wahana internsip yang tak diharapkannya ini, dia bisa tenang menjalankan insternship, bukan malah berhadapan dengan si bocah tajir yang congkak itu.
"Baiklah, ada beberapa hal yang mesti kalian ketahui sebelum memulai kerja di sini," lanjut Gatta memecah lamunan Hifa.
Mereka dibagi beberapa panduan praktik klinis di rumah sakit. Tidak terlalu tebal dan bahkan tanggal cetakannya lebih tua dari umur mereka. Kertasnya sudah menguning. Hifa membaliknya dengan hati-hati. Begitu takut kalau-kalau kertasnya pecah saat tertekuk.
"Walau rumah sakit ini ada di daerah yang terpencil, rumah sakit ini memiliki fasilitas yang setara dengan rumah sakit tipe C. Ini karena rumah sakit pusat di kota sulit terjangkau," terang Gatta kembali melanjutkan penjelasannya.
Hifa hampir putus asa saat mengetahui rumah sakit ini berada sekitar 6 jam dari rumah sakit pusat lainnya. Dia tak ingin membayangkan dirinya harus mengantar pasien yang akan dia rujuk nantinya.
Setelah semua penjelasan diterangkan oleh Gatta, mereka dibagi menjadi beberapa kelompok.
"Ifan dan Hifa kalian pegang ranap dulu ya. Ada Dokter Stella yang akan menjelaskan prosedurnya nanti," kata Gatta seraya mengarahkan mereka ke bangsal rawat inap. Ada 2 lantai rawat inap yang dibagi menjadi rawat inap dewasa, anak, dan ibu hamil.
"Nindi dan Silla pegang poli dulu ya," lanjut Gatta. "Dan Kai nanti bantu saya di UGD ya."
Dan sekejap mereka pun berpencar ke tempat masing-masing.
Hifa diam membisu sambil melangkah ke ruang rawat inap seperti yang ditunjuk oleh papan penunjuk arah. Walau akhirnya dia pusing sendiri dengan arah petunjuknya yang sudah terkikis zaman itu.
"Ngapain kamu di sini?" tanya Hifa memecah kesunyian. Dia tahu Ifan peserta tambahan yang ditempatkan di sini untuk mencukupi kuota internship, tapi soal mengapa anak konglomerat itu mau di sini masih menjadi tanda tanya.
"Kamu sendiri ngapain?" balas Ifan seraya mendahului Hifa.
"Haha... kamu yakin bisa bertahan hidup di sini?" timpal Hifa seolah menyindir gaya hidup Ifan yang biasanya serba glamor itu.
"Kita liat aja siapa yang duluan mengungsi," jawab Ifan balik menantang.
Hifa melangkah lebih cepat karena geram. Di ujung jalan mereka bertemu dengan dr. Stella yang dibilang Gatta barusan. Wanita paruh baya yang sudah mengabdi di rumah sakit ini selama 8 tahun itu tampak kewalahan dengan laporan perawat yang baru saja keluar dari ruang pasien.
"Dokter, pasien 404 sesak," keluh salah satu dari mereka.
"Iya, saya sudah liat, pasiennya memang sudah harus di HD hari ini, tapi kemarin jalan utama longsor jadi dia belum bisa ke rumah sakit pusat. Coba liat, obat apa aja yang udah dikasih?" tanya dr. Stella yang belum menyadari kehadiran dua orang baru itu di sana.
"Hmm.. selamat pagi dokter, saya Hifa, dokter internship yang baru di sini," kata Hifa mencoba mendekati dr. Stella setelah dia berhenti dan memandang kedatangan mereka.
"Oh, maaf, saya gak lihat. Oh ya, dr. Hifa ya? Dengan siapa?"
"Ifan," jawab Ifan.
"Wah, untunglah kalian dateng cepat. Kita di sini main cepat saja ya. Soalnya ada pasien sesak harus dirujuk. Saya akan menjelaskan apa-apa aja yang perlu kalian lakukan, selanjutnya saya titip kalian sama dr. Gatta ya. Saya mau merujuk pasien," kata dr. Stella tergesa-gesa.
Perawakan dr. Stella yang tidak terlalu tinggi dan tubuhnya yang mungil kontras dengan jas putihnya yang kebesaran. Meski begitu, dia terlihat sangat gesit. Sembari menjelaskan peraturan yang berlaku di bangsal itu, dia menulis resep dan menyelesaikan surat rujukannya.
"Nanti, pasien 301 mau cek lab jam 12.00. Novorapidnya masuk setelah ada hasil lab. Kalau ada apa-apa panggil Gatta saja ya," kata dr. Stella meninggalkan mereka berdua di bangsal yang baru mereka injak selama 15 menit ini.
Ada 3 perawat yang secara bersamaan menatap mereka seolah hewan peliharaan baru yang siap diberdayakan. Hifa tersenyum palsu sambil memperkenalkan diri, "Perkenalkan saya dr. Hifa, ini dr. Ifan, kami dokter iship baru di sini. Mohon bantuannya."
"Dokter asalnya dari mana aja dok?" tanya perawat senior berkacamata yang melirik dari bingkai atas kacamatanya.
"Saya asal dari Jawa," jawab Hifa.
"Oh, dokter yang di sampingnya ini pasti dari Korea ya?" celetuk salah satu dari mereka.
Hifa tersenyum kecut lagi. Dia ingin tidak peduli dengan status atau ras si makhluk menyebalkan di sampingnya. Tapi karena dia penghuni baru di sini, lebih baik balas saja ala kadarnya.
"Oh, iya, kau dari mana Fan?" sundul Hifa sambil berbisik.
"Gak kok. Saya Bugis," jawab Ifan asal.
Semua terperanjat, termasuk Hifa. Dia tahu Gatta tidak serius mengatakannya, tapi sama sekali tidak berniat memperbaikinya. "Sejak kapan kau jadi orang Bugis?" gumam Hifa seraya mengusap pelipisnya. Jelas-jelas dia orang Medan tulen. Tipu muslihat apalagi yang sedang dia kumandangkan.
"Oke, tidak pa pa, semua orang Indonesia kan ya. Dokter belum ikut orientasi ya? Kalau belum nanti ikutnya hari Senin. Kalau di sini kita dibagi tiga bangsal. Bangsal anak, bangsal dewasa, dan bangsal ibu hamil atau maternitas. Gedung pertama di sebelah kiri bangsal maternitas, gedung dua ada dua lantai bangsal dewasa, gedung tiga bangsal anak. Mudah-mudahan bisa ingat ya dok. Pasien di sini tidak terlalu banyak, tetapi kalau lagi musim penyakit ya bisa penuh juga," jelas perawat senior panjang lebar. Dia bahkan belum memperkenalkan dirinya.