"Bu Gan... Bu Gan... ada anak kejang di ruang 5," pekik satu perawat yang berlarian dari bangsal anak ke ruang perawat tengah.
Sentak dua orang perawat yang ada di samping Bu Gan berlarian ke arah ruang 5. Bangsal anak kelas 2 yang isinya ada 4 ranjang, tetapi hanya ditempati satu pasien saja.
"Dok, mau dikasih diazepamnya?" tanya perawat itu ke arah Hifa.
"Hmm... iya. Berat badannya berapa?" tanya Hifa separuh mendekati anak tadi. Dalam hati sedikit heran mengapa semua pasien gawat selalu muncul di hadapannya. Bahkan dia belum satu jam di sini dan semua masalah seperti bermunculan setiap ada dirinya.
"Tujuh setengah dok," jawab mereka cepat.
"Oke, kasih 5 mg supp ya kak," Hifa sambil berjalan cepat ke arah si anak.
Tubuh mungil anak berumur lima tahun itu masih tampak kaku. Badannya panas membara. Si ibu memeluk anaknya erat-erat takut si anak kembali kejang. Kain basah yang terus menerus dielus ke dahi si anak juga jadi ikut-ikutan panas.
Hifa duduk di samping si anak dan menenangkan si ibu, "Bu, kami kasih obat dulu ya. Ibu tenang dulu, kami pasti berusaha mengobati anaknya."
Si ibu pun melepas anaknya yang masih kaku. Salah satu perawat segera memasukkan obat melalui lubang anus anak tersebut.
"Mbak, kapan pemberian obat demam terakhir?" tanya Hifa.
"Tadi pagi dok," jawab mereka.
"Oke, kasih obat demamnya sekarang ya," pinta Hifa sambil menatap si anak yang kini menangis keras karena kejangnya sudah usai.
"Bu, ini anaknya sudah kami beri obat kejang dan demamnya juga kami kasih obat demam. Tetap kompres ya. Mungkin adiknya akan jadi mengantuk setelah ini. Kalau ada apa-apa panggil perawat ya bu," pesan Hifa.
Ifan berdiri di selasar pintu lalu berbalik kembali ke meja perawat di depan. Hifa berlalu mengikutinya keluar. Ada sedikit rasa bangga yang di hari pertama dia bekerja. Terlebih dia menaklukkan keadaan dengan begitu mulus di depan orang yang paling dia benci itu.
"Kau yakin udah kasih obatnya?" tanya Ifan menyeringai.
Hifa diam sejenak sambil menatap Ifan. Otaknya berpikir keras apakah ada kesalahan yang terlewatkan yang belum dia lakukan. Dia pikir sudah melakukan dengan sangat sempurna. Bahkan jika Ifan hendak menyalahkannya, mungkin hanya karena dia tidak boleh terlalu sempurna di depan pasien itu.
"Ya. Tentu saja," jawab Hifa tegas.
"Oh.. oke... hanya saran, lihat kurva CDC tentang pertumbuhan anak," kata Gatta tersirat.
Otak Hifa kembali berdesing. Kurva CDC selalu dipakai untuk menentukan status pertumbuhan anak waktu mereka melewati stase anak dulu. Apa maksud Gatta dengan kurva CDC? Dia mau menjebaknya apa lagi kali ini? Dulu sewaktu masa pendidikan Gatta sering menjebak dia dengan berbagai kasus. Kali ini dia harus memastikan tidak lagi terjebak dengan tipuannya.
Tunggu dulu...
"Tadi berapa berat anak itu?" tanya Hifa ulang pada perawat yang ada nurse station.
"Hmm... 17,5 kilo dok," jawab perawat sembari melihat status lusuh yang tergeletak di depannya itu.
Oh, tidak! Hifa menepuk jidatnya sendiri. Bagaimana dia bisa tidak menyadari berat badan anak itu begitu ringan saat melihat anak itu secara langsung? Yang artinya dia sudah salah menentukan dosis diazepam anak itu.
Baiklah, itu kesalahan fatal yang berujung tidak begitu buruk. Setidaknya, anak kecil tadi tidak kembali kejang. Mereka berhasil menenangkan ibunya. Anak itu juga tidak demam lagi setelah dia memberikan obat demamnya.
Hifa melewatkan jam jaganya dengan cukup lancar setelah itu. Dokter Gatta muncul dari ujung lorong mengundang mereka makan siang di kantin rumah sakit. Walau tidak begitu banyak pilihan yang mereka makan, makanan yang disajikan tidak begitu buruk.
"Gimana? Sudah ketemu dr. Stella?" tanya Gatta pada Hifa setelah bercakap panjang lebar dengan internship lain tentang pasien patah tulang yang datang ke IGD tadi pagi.
Hifa mengangguk sambil melahap gado-gadonya, makanan favorit yang bisa ditemukan di seluruh penjuru nusantara.
"Maaf ya tadi dr. Stellanya gak sempat temenin terlalu lama," kata Gatta seraya menyerumput teh manisnya.
"Gak papa, kak," kata Hifa. "Tadi sempet ada pasien kejang, tapi sudah aman sekarang."
Ifan menyeringai ke arah Hifa. Hifa mendelik garang.
"Wah, mantep," ujar Gatta. "Untung kalian sigap ya. Kalo besok kalian di IGD, saya bisa tidur siang nih."
Hifa terkekeh hambar. Dia tahu Gatta tidak serius menempatkan dirinya yang nyaris salah kaprah itu di tempat perawatan tanpa bimbingannya.