Chereads / SHE / Chapter 5 - PESONA CINTA

Chapter 5 - PESONA CINTA

"KAMU bawa laptop, kan?" tanya Sandi begitu dia berhasil menemukan posisi yang aman dari jangkauan truk gandeng itu.

Hana mengalihkan pandangan ke tas sandang yang sekarang berada di atas pangkuannya "Cuma notebook," jawabnya.

"Itu juga sudah cukup. Nanti akan kubantu menyalin semua aplikasi yang kamu pesan kemaren," Sandi merogoh sesuatu di dalam saku celananya. Dia puas saat bisa meraba benda kecil yang masih aman berada di tempatnya.

"Wah, terima kasih." Mata Hana langsung berbinar, mendengar penjelasan Sandi.

Beberapa aplikasi memang sudah jauh-jauh hari dipesannya kepada lelaki itu. Untuk menginstalkannya tentu mereka berdua harus bertemu. Hana sudah tidak sabaran ingin segera melihat cara kerja semua aplikasi yang dijanjikan Sandi kepadanya.

"Berapa banyak penulis yang datang ke acara ini, Mas?" tanya Hana sembari mengibaskan rambut yang menjuntai di pundaknya.

"Hampir seratus," jawab Sandi kembali melirik Hana Aura.

Lelaki itu mengangkat sebelah alisnya. Leher Hana yang jenjang menyembul dari balik rambutnya yang tersibak.

"Wah, banyak juga ya!" Mata Hana terbeliak, ia berseru hampir tak percaya dengan jumlah yang dikatakan Sandi.

Sandi menganggukkan kepala, "Ya, gitu deh, ternyata mereka semua memendam rindu yang sarat pada sesama rekan se grupnya," balas lelaki itu jenaka.

"Apa nggak repot mengurusi acara dengan jumlah peserta sebegitu banyaknya." Kali ini pertanyaan Hana terdengar lebih serius.

"Nggak juga. Ada banyak admin, yang bekerja sesuai tugasnya," balas Sandi dengan santai.

"Lho, koordinator acara ini tetap kamu 'kan Mas?" Hana mengernyitkan dahi.

"Iya, hanya sampai semua urusan akomodasi kuselesaikan, lalu...." Sandi menggantung kata.

Lelaki itu menurunkan laju kendaraannya, ketika mereka sampai di sebuah perempatan. Sepertinya tempat yang mereka tuju sudah hampir sampai.*

***

PEMANDANGAN alam di depan mereka mulai berubah. tak ada lagi pepohonan menjulang yang bertaut menutupi angkasa.

Langit biru jernih terlihat memayungi hamparan hijau rerumputan dengan pohon-pohon berusia muda yang berderet di kedua sisi jalan. Jalanan sempit dan berliku cukup membuat Hana menahan debar di dadanya.

"Jalannya lumayan memacu adrenalin." Komentarnya.

"Sama kayak kamu." Sandi keceplosan.

"Kok aku?" tanya Hana dengan dada berdebar.

"Karena kamu juga mampu memacu adrenalinku." Jawaban Sandi membuat tubuh wanita itu terasa panas dingin.

"O ...." Hanya itu yang sanggup dikatakan Hana. Setelah itu mereka sama-sama terdiam.

Sandi mencoba lebih berkonstrasi saat sampai di sebuah penurunan yang cukup tajam. Setelah mereka mencapai dataran yang lebih rata, tiba-tiba saja lelaki itu nyeletuk, "Bulat." Hana menoleh, ia tak paham dengan kata yang diucapkan Sandi.

"Bulat? Apanya yang bu...?" Tiba-tiba Hana ingat, dia batal melanjutkan ucapannya.

Sandi menyambar pertanyaannya yang masih menggantung dengan sebuah komentar jenaka. "O, nya yang bulat."

"Mas suka gitu deh," Hana tergelak menyadari kekonyolan lelaki di sampingnya.

"Suka, kamu dong," komentar Sandi semakin ngelantur.

"Dasar nih, mas Sandi. Susah diajak serius," umpat Hana, tidak bersungguh-sungguh.

Sebagai balasan, lelaki itu terkekeh. Lucu saja melihat Hana yang sewot mendengar jawabannya.

"Jangan marah," katanya menyudahi tawa.

"Ngapain jauh-jauh ke sini kalau cuma buat marah?" Hana tertawa renyah. Ternyata Sandi serius menanggapi rajukannya.

Sandi merasa senang dengan kehangatan suasana yang tercipta di antara mereka. "Nah, gitu dong. Itu baru Hana Aura!" serunya sok tahu.

Hanya sebuah pembicaraan ringan dan terkesan asal-asalan. Tapi suasana yang terbangun di antara mereka jadi sangat mendalam.

Setelah berdiam diri sejenak, Hana bertanya kembali. "Memangnya antara panitia dan peserta, penginapannya terpisah, ya?"

"Beda vila saja, sih. Tapi masih di lokasi yang sama."

Sandi berbelok begitu bertemu sebuah gerbang. Jalanan yang mereka lewati setelah itu, adalah jalanan pasir yang berumput.

"Ini vila untuk peserta, ya? Bagus juga nampaknya." Hana menyorongkan wajah ke kaca depan mobil sembari memberi penilaian.

"Ada berapa vila sih, yang disediakan untuk pertemuan ini?" lanjut wanita itu bertanya.

"Kita sampai booking tiga vila dengan pengelola yang berbeda, namun lokasinya saling berdekatan."

Sandi menoleh ke arah Hana Aura. Wanita ini benar-benar cantik. Hati Sandi memuji. Melihat Hana diam Sandi melanjutkan penjelasannya.

"Satu vila ada yang memiliki dua puluh kamar, dan yang dua vila lainnya memiliki tiga puluh lima kamar, kalau aku ndak salah," katanya seraya mengingat-ingat.

Laju mobil makin perlahan begitu sampai di halaman sebuah vila yang terlihat amat asri. Beberapa pohon kelapa tumbuh menjulang, seakan-akan hendak menggapai awan yang menggumpal di langit biru.

Sandi menoleh ke arah Hana. Sejenak mereka beradu pandang, keduanya seperti saling mengajuk isi hati.

Hana yang lebih dulu menjatuhkan pandangan, ia seperti mencari-cari sesuatu di dalam tas yang ada di pangkuannya.

Refleks saja, mata Sandi pun mengikuti gerakan tangan Hana. Hana mengeluarkan sebuah ponsel marun metalik dari dalam tasnya.

"Hm, marun mania," Sandi manggut-manggut. Layar ponsel marun itu terlihat berkedip-kedip, sepertinya ada telepon masuk.

Percakapan Hana dengan si penelepon terlihat cukup serius. Sandi berupaya tidak menyimak pembicaraan itu. Ia memilih lebih berkonsentrasi pada kegiatan lain untuk mengalihkan keinginan menguping pembicaraan itu.

"Aku menginap di lokasi berbeda," Sandi melanjutkan pembicaraan mereka ketika dilihatnya Hana selesai menjawab telepon.

"Artinya mas Sandi tidak bergabung dengan yang lain di vila ini?" Alis Hana meninggi, menandakan keheranannya.

"Ya, enggak lah," jawab Sandi sembari tertawa kecil.

'Dari dulu, kalau ada acara-acara seperti ini, mana pernah aku mengikutinya.' Lelaki itu membatin.

Bila sekarang ia ikut serta, itu karena memang tidak ada pilihan lain. Hanya dia yang paling paham daerah di sini. Hanya Sandi yang berdomisili paling dekat dengan area wisata tempat pertemuan itu digelar.

Sandi tak kuasa menahan senyum saat menyadari alasan sebenarnya. Sebuah alasan rahasia sehingga dia mau bahkan antusias terlibat di dalam acara ini. Hanya hatinya saja yang boleh tahu dan menyimpan rahasia itu.

"Sandi nginap di bagian yang mana?" Hana terlihat bersiap-siap untuk turun.

"Di tempat lain." Lelaki itu memberi isyarat, supaya Hana tetap duduk di tempatnya. Hana mengerti. Wanita itupun memilih duduk diam menunggu arahan.

"Aku kira hanya beda bangunan saja." Hana memilih tidak bertanya lagi. Walau rasa heran masih menyelimuti hatinya.

Seperti paham dengan isi pikiran Hana, Sandi bertanya, "Ada yang mengganggu pikiranmu, ya?"

Ditanya begitu Hana cuma tertawa kecil. "Aneh, saja." ia menjawab sambil mengedikkan bahu.

Di luar dugaan Sandi menjawab dengan sikap selenge'an. "Emang." Lalu lelaki itu tertawa terkekeh-kekeh.

"Hm ...." Hana tahu dia tengah dipermainkan.

Sebenarnya Hana keliru menilai. Sandi justru serius dengan semua jawaban yang diberikannya. Walau ia mengatakannya dengan sikap yang santai bahkan terkesan main-main. Namun memang memang begitulah kenyataan yang sebenarnya.

Namun apa pun itu mereka berdua sama-sama menyadari bahwa pesona cinta terasa begitu menentramkan. Baih Hana maupun Sandi, memiliki debar yang sama atas pertemuan yang terjadi hari ini.

Diliriknya lelaki yang tengah serius mengendarai mobilnya itu. Rahang yang begitu tegas, apalagi saat semburat matahari sore menerpa separuh wajahnya. Bagian yang tak terjamah cahaya terlihat jauh lebih gelap. Namun perbedaan warna di wajah lelaki itu justru memberi kesan lain di hati Hana.

Hasrat Hana menggeliat merasakan sensasi yang ditimbulkan oleh kehadiran Sandi Lakaran.*

~ Happy reading Beib ~