Chereads / SHE / Chapter 6 - KESALAHAN FATAL

Chapter 6 - KESALAHAN FATAL

"AKU tidak nyaman dengan keramaian." Suara Sandi mengagetkan Hana. lamunannya buyar seketika.

Mata wanita itu terangkat tinggi. "Nggak nyaman gimana? Bukannya selama ini tugas Mas Sandi memang mengurusi keramaian dengan segala tetek-bengeknya."

"Aku sebenarnya tak pernah bisa menikmati acara yang melibatkan banyak orang. Bila dihadiri dua atau tiga orang sih, masih bisa, sih." Diliriknya Hana sebelum melanjutkan. "Lah, ini? Jumlahnya sekebon…!"

Sandi kembali terkekeh mendapati wanita yang dilirik terlihat gelagapan. Wajah Hana bersemu merah. Ahai ..., ada apakah gerangan?

Hana mencoba mengenyahkan sesuatu yang begejolak di dalam dirinya, dengan berpura-pura tak paham pada apa yang dikatakan Sandi Lakaran."Sekebon, istilah apa itu?" tanyanya.

Sandi tak menjawab. Hening menjeda cukup lama di antara mereka. Sepertinya Sandi juga merasakan gejolak yang sama seperti yang dirasakan wanita itu?

Setelah menghentikan kendaraan dengan sempurna, lelaki itu berkata dengan suara yang rendah. "Terima kasih sudah menemuiku?"

Hana yang tengah sibuk mengira-ngira segala hal yang berkecamuk di otaknya menoleh pada lelaki yang baru saja mengucapkan terima kasih kepadanya.

"Iya, terima kasih juga sudah susah-payah menjemputku," balasnya dengan suara yang sangat manis.

Tawa Sandi pecah mendengar lagu suara yang demikian menggoda telinganya.

"Kenapa Mas ketawa? Memangnya ada yang lucu?" tanya Hana sambil pura-pura mengerutkan dahi.

"Nggak, nggak apa-apa kok." Laki-laki itu masih tetap tertawa. Dia seperti menertawakan dirinya yang kian sulit menahan gejolak .

Hatinya benar-benar merasa bahagia. Pertemuan ini lah penyebabnya. Sudah cukup rasanya bermain kata-kata dengan wanita cantik ini.

"Tunggu saja sampai aku perlihatkan beberapa objek yang bagus." Sandi mengalihkan.

"Sekarang aja." Hana malah keceplosan.

"Sekarang?" tanya Sandi dengan wajah cerah.

"Iya, mumpung acara belum mulai." Hana semakin antusias.

"Kalau begitu kita mesti ke tempatku." Suara lelaki itu terdengar agak ragu-ragu.

"Mas menginap di mana?" Pertanyaan Hana, tiba-tiba membuat lelaki itu membayangkan sesuatu.

"Cottage Bidara, nggak jauh sih dari lokasi ini. Masih di desa yang sama," jawabnya. sambil memikirkan segala kemungkinan yang bisa dilakukannya berdua Hana.

"Ya, sudah. Kita ke sana saja." Suara Hana terdengar begitu pasti. Sandi sampai mendehem berkali-kali untuk mempercayai pendengarannya sendiri.*

Begitu kesepakatan dicapai, Sandi menyalakan mesin mobilnya. Ia memundurkan SUV itu, lalu keluar, meninggalkan halaman vila yang masih sepi. Setelah menuruni sebuah tikungan yang cukup tajam, sebuah cottage terpampang di depan mata mereka.

Pemandangan di cottage itu sangat indah. Pohon kelapa yang menjulang juga tumbuh di halamannya. Tak jauh dari sana, sebuah jetsky, terpaut di samping dermaga kayu yang menjorok jauh ke tengah samudera biru.

"Ya, ampun Mas. Tempat ini benar-benar bagus!" seru Hana spontan.

"Makanya aku memilih ngumpet di sini." Sandi tertawa renyah melihat reaksi Hana.

"Tapi, tetap saja agak aneh. Panitia kok malah ngumpet." Hana tergelak, melihat sinar jenaka berhenti di dalam sorot mata lelaki di sampingnya.

"Yang penting tetap bertanggung jawab bila diperlukan." Sandi pura-pura sewot karena sedari tadi selalu saja mendapat kecaman dari wanita itu.

Meskipun Hana tahu, namun dia tak ingin mengambil hati. "Yakin, kalau Mas bisa bertanggung jawab?" tanyanya dengan sedikit sinis.

Diperlakukan begitu Sandi merasa tertantang. "Tentu saja. Apalagi kalau beban tanggung jawab itu terkait dengan dirimu," ledeknya.

"Eh, kok aku?" Hana tergagap direspon seperti itu.

Sandi tidak menjawab. Sorot matanya menajam saat menyapu permukaan wajah Hana Aura. Jarak mereka begitu dekat, hingga Hana bisa mendengar tarikan nafas Sandi.

Bukankah jarak yang dekat mampu membuat imajinasi menghebat? Hana terdiam, ia bahkan tak mampu menarik nafas, saat tatapan Sandi bagai terpaku di bintik hitam bola matanya. Sandi mendekat, dan Hana terbatuk, Sandi menarik nafas.

"Kita sudah sampai," katanya berupaya mengenyahkan rasa kecewa.

Tempat Sandi menginap adalah sebuah suite room dengan sofa yang besar. Kamar yang sangat nyaman, terlihat dari pintu kaca besar transparan di depan mereka.

Beranda tempat mereka berada, menghadap langsung ke laut lepas. Jejeran pohon ketapang di halamannya, membuat suasana terasa kian teduh dan nyaman.

Rumput hijau mengalas akar pohon kelapa yang tumbuh saling berdekatan. Bagai permadani bentangannya menghampar hingga ke bibir pantai yang berpasir putih bersih,

Suasana yang terbangun sangat mendukung minat untuk menulis dan menuangkan segala keindahan alam menjadi karya yang hebat di atas lembaran kertas.

Hana tenggelam dalam rasa kagum. Begitu banyak hal yang memesona di tempat ini. Lihat saja, di samping kiri cottage, bukit hijau menjulang tak begitu tinggi. Pelangi melengkungkan enam warna indahnya di pinggang bukit itu, pertanda hujan baru saja berhenti.

"Melamun?" tanya Sandi.

"Mengkhayal!" kalimat itu terlontar begitu saja dari mulut Hana.

Suara Sandi telah mengejutkannya. Lamunan yang terbangun di kepala Hana Aura buyar seketika.

"Melamunkan apa?" tanya Sandi kembali.

"Alam," jawab Hana pendek.

"O ...," gumam laki-laki itu sambil merogoh kunci kamar di saku celananya.

"Kok, o?" Wanita itu balas bertanya.

Sandi merasa tak perlu membalas pertanyaan itu. Ia hanya tergelak. Entahlah, sedari tadi hatinya tak henti dialiri kebahagiaan. Pertemuan ini ternyata jauh lebih indah dan menyenangkan dari yang pernah dibayangkannya selama ini.

***

"MAS SANDI aku tadi nanya, lo." Hana mengingatkan.

Suara Hana yang terdengar sedikit merajuk begitu menggelitik hati, "Aku pikir kamu menghayal tentang kita," Sandi keceplosan.

Kaget dengan jawabannya sendiri membuat lelaki itu terkekeh-kekeh. Gelak tawanya membahana, mengiringi langkah kakinya memasuki ruang dalam suite room berkaca transparan itu.

Hana mencibir melihat kekonyolan sikap lelaki itu, lelaki yang tiba-tiba terlihat semakin menarik di hatinya. Namun begitu kesadaran Hana muncul. Wanita itu justru merasa ciut. Ya, Tuhan, mereka hanya berdua saja di cottage ini.

Sandi muncul kembali seraya menyodorkan minuman kemasan dingin. "Nih, buatmu!" katanya.

Hana menerima minuman itu, lalu duduk di sebuah sofa setengah melingkar. Ia meneguk perlahan-laham minuman kemasan yang terasa sejuk di kerongkongan.

Sandi sendiri memilih tetap berdiri. Dengan santai ia menyandarkan tubuh di salah satu tiang nyangga teras cottage, sambil menyeruput minuman kaleng di tangannya.

Mereka mengisi kebersamaan itu dengan mengobrol tentang banyak hal. Percakapan yang terkadang diselingi canda dan gelak tawa. Rasa canggung yang tadi dirasakan Hana hilang begitu saja.

Namun secara tak sengaja Sandi menyinggung kembali tentang keberduaan mereka. Hana terkesiap. Ia kembali disergap rasa gamang.

Sandi yang selama ini hanya terlihat di layar monitor, sekarang benar-benar ada di sampingnya. Sandi bukan lagi sekedar tulisan dan komentar tanpa wujud atau icon-icon kecil plontos berwarna kuning pengganti ekspresi jiwa, seperti yang selama ini dikenalnya.

Kini lelaki itu tak hanya berdiri di depannya. Dia bahkan bisa bergerak, berbicara dan sesekali tersenyum memamerkan bibir seksinya. Sandi berjalan mendekat, menarik satu-satunya kursi jati yang masih tersisa di tempat itu dan ....*

~ Happy reading Beib ~