Nalesha terduduk di pinggir kasur lantai tempatnya tidur seminggu terakhir. Sulit sekali rasanya untuk merasa mengantuk meski Ia sudah sangat lelah seharian ini bertemu banyak orang, mulai dari penyidik BIN sampai pengacaranya. Kepalanya bahkan sampai pusing karena tidak pernah tidur dengan benar barang seharipun selama berada di tahanan itu. Belum lagi soal siapa yang satu sel dengannya; Rafi, Ayahnya.
Demi Tuhan, tidak ada yang lebih canggung dan mengesalkan dibanding satu ruangan dengan sosok Ayah yang tak pernah memperlakukannya sebagai anak selama delapan belas tahun lebih usianya. Satu-satunya interaksi yang mereka jalin adalah saling membenci dan menghakimi. Maka tak wajar jika Nalesha bahkan tak sudi untuk melihat wajah pria itu sekalipun. Pun Rafi, meski Ia seolah berusaha meraih interaksi standar dengan melirik-lirik sekilas anaknya yang menatap kosong ke luar pintu sel.