Levin memeluk Vanya secara lembut. Hatinya terasa hancur berkeping-keping melihat gadis pujaannya dalam keadaan kacau seperti itu. Dia mengusap-usap punggung Vanya, memberinya ketenangan.
"Maafkan aku, Hon. Aku sama sekali tidak peka," ujar Levin yang tampak sedih.
Keduanya saling bertatapan. Vanya mengangguk lemah. Senyumannya saja pahit, tak ada manis-manisnya. "Kita mau ke sana?" tawar Levin yang ingin mengantarkan Vanya ke kuburan ibunya.
"Tadi aku sudah ke sana. Kamu saja yang telat." Vanya mencubit pinggang Levin, membuat pria itu mengusap kedua tangannya menandakan bahwa ia meminta maaf pada gadis tersebut.
Vanya terdiam sejenak. Dia duduk di sebuah sofa berwarna merah jambu. Dia menyandarkan kepalanya dengan pikiran yang masih berputar-putar. Levin mendekatinya, duduk di sebelah Vanya merupakan pilihan yang tepat.
"Masih marah?" tanya Levin, Vanya menoleh. Dia menggelengkan kepala.