Chereads / Hello! Goodbye! / Chapter 2 - Bukan Wawancara Biasa

Chapter 2 - Bukan Wawancara Biasa

"Amora Art. Amora artinya cinta. Apa definisi cinta menurut anda dan bagaimana kaitannya dengan lukisan serta galeri ini?" Kirana melempar pertanyaan pertamanya. Reyhan tampak tidak menduga akan mendapatkan pertanyaan serius tanpa basa-basi terlebih dahulu, tapi laki-laki itu tetap mengusahakan untuk mempertahankan wajah datarnya.

"Cinta adalah tipuan. Cinta adalah pengkhianatan. Cinta adalah sebuah dimensi maya sebelum kehilangan," jawab Reyhan dengan lugas.

Giliran Kirana yang tersentak mendengar jawaban itu. Ia benar-benar merasa tertampar. Letupan baru terjadi lagi dalam dadanya, Kirana bersusah payah untuk mengendalikannya.

"Lukisan adalah sebuah tipuan, lukisan adalah sesuatu yang bersifat maya, hanya ilusi, hanya persepsi. Lukisan hanya bisa dinikmati dari satu arah. Lukisan seperti cinta yang hanya bisa bertepuk sebelah tangan," lanjut Reyhan.

Kirana terdiam. Mulutnya kembali dikunci oleh setiap kalimat Reyhan. Mendadak Kirana merasakan bola matanya panas. Di saat yang bersamaan, ia juga merasakan tenggorokannya tercekat, seolah ada yang mendesak di dalam sana. "Maaf saya tidak bisa melanjutkan wawancara. Apa anda masih punya waktu sekitar dua atau tiga jam lagi? Saya akan meminta rekan kerja saya yang lain untuk mewawancarai anda," ucap Kirana. Ia sebenarnya malu mengatakan hal itu karena menandakan ketidakprofesionalannya, tapi Kirana benar-benar tidak sanggup berlama-lama dengan Reyhan, terlebih mendengarkan setiap kalimat Reyhan yang seolah menyudutkannya.

Reyhan menatap wajah Kirana, tatapan Reyhan dingin, tak terdefinisikan. "Saya tidak punya waktu lagi untuk diwawancara selain tiga puluh menit sesuai kesepakatan," ucapnya yang terdengar tegas.

"Okay, kalau begitu saya rasa wawancaranya sudah cukup." Kirana bangkit berdiri. "Terima kasih sudah bersedia diwawancara oleh Galaksi Media." Kirana menundukkan kepalanya lantas berbalik badan menuju pintu ke luar.

"Apa yang bisa kamu siarkan dengan satu pertanyaan itu, Kirana?" ujar Reyhan tepat saat Kirana hendak menarik gagang pintu.

Langkah Kirana berhenti sejenak. Ia tidak bisa memutar kepalanya, karena air yang sudah menggenang di pelupuk matanya. Kirana juga merasakan dadanya teramat sesak. Jika berlama-lama di sana, Kirana yakin pertahanannya akan runtuh. Kirana pun bergegas ke luar dari ruangan itu. Air mata mengalir lurus di pipinya tepat pada langkah pertamanya.

Reyhan menatap punggung wanita yang mengenakan blazer coklat tua itu. Rambut Kirana dikucir satu, tampak rapi, tapi tetap terkesan anggun. Kirana memang tidak pernah berubah dari dulu, ia masih tidak suka menggerai rambut panjangnya. Kirana sudah meninggalkan galeri itu semenjak sepuluh menit yang lalu, tapi bagi Reyhan, bayangan Kirana masih tertinggal dalam ruangan itu. Reyhan tahu pasti, ia tidak akan pernah berhasil mengusir bayangan itu, kendati ia sudah mengusahakannya sedari tujuh tahun yang lalu.

***

Di dalam taksi, Kirana masih tidak habis pikir dengan pertemuan yang baru saja terjadi antara ia dan Reyhan. Setelah tujuh tahun berlalu, Kirana sama sekali tidak menyangka akan melihat wajah itu lagi. Semenjak Reyhan meninggalkan Kirana, atau semenjak Kirana meninggalkan Reyhan, entahlah … Kirana juga tidak mengerti siapa sebenarnya yang meninggalkan dan ditinggalkan. Yang jelas perpisahan itu terjadi dengan tak semestinya. Dan kini, Kirana menyadari, pertemuan telah kembali terjadi dengan tak semestinya.

Kirana memasuki Galaksi Media dengan langkah gontainya. Di salah satu meja berpartisi, Kirana melihat Jihan sedang asik menyesap kopi.

"Kiran! Gimana wawancaranya? Aman, kan?" sambut Jihan yang langsung berdiri begitu dihampiri oleh Kirana.

Kirana menatap rekan kerja yang lebih senior daripadanya itu. Ia masih mengumpat dalam hati, kenapa Jihan yang pengecut harus menghindari wawancara itu, kenapa ia yang harus bertemu dengan Reyhan. Tapi segala umpatan ternyata tak berhasil keluar dari tenggorokannya, karena tenggorakan Kirana sudah dikuasai oleh bongkahan-bongkahan tangis yang amat menyesakkan.

Kirana menatap Jihan dengan tatapan dingin. "Reyhan Malik Ardiansyah, lahir tanggal sepuluh maret, dua puluh lima tahun yang lalu. Kedua orang tuanya bercerai saat ia masih kanak-kanak. Ia dibesarkan oleh ayahnya, Bapak Ardiansyah, seorang pekerja serabutan yang sangat mencintai putra semata wayangnya. Reyhan punya bakat melukis dari kecil. Tapi ia tidak pernah menyadari bakat luar biasa itu hingga ia melukis wajah seorang gadis di tembok sekolah, yang berhasil membuatnya diskor selama satu minggu. Namun, ternyata Tuhan benar-benar menakdirkannya sebagai seorang pelukis hebat. Ia membangun sebuah galeri bernama Amora Art. Amora artinya cinta. Dan bagi seorang Reyhan, cinta adalah tipuan, pengkhianatan, ilusi, palsu, kehilangan. Reyhan tidak mencintai seni lukis. Reyhan hanya melukis cinta," ucap Kirana.

Jihan melongo mendengar penuturan Kirana. "Lo menghafal hasil wawancaranya?" tanya Jihan.

Kirana tidak menjawab pertanyaan itu. Ia menuju mejanya. Tatapan Kirana nanar pada komputer yang belum menyala. Sesuatu masih tampak menggenang di pelupuk matanya, tapi tak mengalir lagi karena sudah ia tumpahkan di dalam taxi.

Tidak lama berselang, Husna datang menghampiri Kirana. "Ki, gue dikabari Jihan kalau lo udah balik ke kantor. Wawancaranya udah selesai, ya? Kok cepat?" tanya Husna.

Kirana memutar kepalanya menghadap Husna. "Sudah selesai," jawab Kirana dengan nada pelan, hampir tidak terdengar.

"Trus?" Husna menaikkan alisnya. Kirana hanya diam, menatap Husna dengan tatapan kosong.

"Boleh gue dengar rekamannya?" pinta Husna lagi.

"Tidak ada rekaman," jawab Kirana.

"Kalau gitu, boleh gue lihat catatannya?"

"Tidak ada catatan," lirih Kirana.

"Hah?" Husna benar-benar dibuat bingung. "Lo jadi wawancara sama narasumbernya kan, Ki?" tanya Husna lagi, berusaha memastikan.

"Lo butuh artikel berapa ribu kata, Na?" balas Kirana.

"Yaa … terserah lo, sesuai hasil wawancara lo," jawab Husna. Ia sebenarnya bingung melihat tingkah Kirana, termasuk pertanyaan yang ia ajukan barusan.

Kirana meneguk ludahnya sendiri. Ia teringat salah satu file di laptopnya yang berisi ratusan tulisan tentang Reyhan Malik Ardiansyah. Kirana bisa menyulapnya menjadi ratusan artikel jika ia berkenan, atau mungkin jadi sebuah buku biografi yang dicetak tebal.

"Ki, are you okay?" tanya Husna. Ia menyadari Kirana sedang tidak baik-baik saja.

"Na … gue nggak berhasil mewawancarai dia," jawab Kirana akhirnya.

Husna mengerutkan kening, benar-benar bingung. Sebelumnya ia telah mendengar dari Jihan bahwa Kirana telah hafal hasil wawancara dengan pemilik lukisan terbesar di Jakarta itu. Bahkan baru beberapa menit yang lalu, Kirana menantang berapa banyak kata yang diminta Husna untuk menulis sebuah artikel tentang laki-laki itu. Lantas, mengapa tiba-tiba Kirana mengatakan bahwa wawancaranya gagal? Seisi kantor juga tahu, Kirana adalah seorang reporter yang handal. Kirana selalu berhasil mewawancarai para politisi yang punya seribu satu alibi, bahkan Kirana pernah mewawancarai presiden. Sejarah akan mencatat, hari itu adalah kegagalan pertama seorang Kirana.

Kirana bangkit berdiri. "Gue baru ingat, hari ini hari libur gue, kan? Semestinya gue nggak ke kantor, tapi langsung pulang. Lain kali, kasih gue tantangan baru lagi, ya, biar bisa dapat bonus libur satu bulan," ucap Kirana dingin, kemudian beralih dari hadapan Husna.

"Ki … Kiran!" Husna terus memanggil sahabatnya itu, tapi Kirana enggan berbalik badan.