Chereads / Hello! Goodbye! / Chapter 3 - Sepotong Halo dari Mantan

Chapter 3 - Sepotong Halo dari Mantan

Husna menghampiri meja Jihan. "Mbak Jihan, itu Kirana kenapa, sih? Kok langsung aneh gitu habis wawancara?" tanya Husna bingung.

"Ya … gue nggak tau, Na, gue juga bingung."

"Duh, ini gimana, ya. Mana artikel tentang Mas Reyhan harus terbit hari ini lagi," desah Husna yang tampak panik.

Jihan menggigit sudut bibirnya. "Sorry, ini salah gue ya, Na?" Jihan merasa bersalah.

Husna mengibaskan tangannya. "Gue jadi kepikiran deh, Mbak. Jangan-jangan rumor di sosmed tentang Mas Reyhan yang kasar itu benar."

"Jangan-jangan tadi Kirana diapa-apain sama pelukis itu." Jihan menimpali.

"Hust.. Jangan sembarangan deh, Mbak. Gue jadi bingung, nih. Atau gue susulin Kirana lagi aja ya, buat nanya kejelasannya." Husna minta pendapat ke Jihan.

Seiring dengan itu, seorang karyawan magang menghampiri mereka berdua. "Mbak Husna, ada panggilan telepon buat Mbak Husna, dari Galeri Amora Art," ucap karyawan magang tersebut.

Husna dan Jihan langsung terbelalak dan saling pandang begitu mendengar nama Amora Art. Bergegas Husna mengangkat panggilan telepon tersebut. "Halo, selamat pagi, dengan Husna dari Galaksi Media," ucap Husna dengan jantung berdebar.

"Saya Reyhan." Terdengar suara baritone menyahut di ujung sana.

"Oh iya, Mas Reyhan, salam kenal. Sekalian saya ingin menyampaikan permintaan maaf soal wawancara tadi pagi ya, Mas, sekiranya ada sikap dari pihak kami yang kurang mengenakkan," ujar Husna yang benar-benar merasa sungkan.

"Apa Kirana baik-baik saja?" balas Reyhan, ia mengabaikan permintaan maaf Husna.

Kembali Husna menatap Jihan, bingung dengan pertanyaan Reyhan. "Ya, reporter kami, Kirana sudah kembali ke kantor dan baik-baik saja. Maaf sebelumnya, apa tadi terjadi sesuatu, Mas?" Husna memberanikan diri untuk bertanya.

"Saya butuh kontaknya," ucap Reyhan.

"Oh, iya, Mas. Akan segera kami kirimkan. Tapi, kalau boleh tahu …"

Tuttt… Tuttt….

"Halo?! Halo?!"

Reyhan telah mengakhiri panggilan tersebut.

"Mita, kamu kirimkan kontak Kirana ke pihak Amora Art ya," pinta Husna pada karyawan magang yang memberikan telepon tadi padanya.

"Baik, Mbak," sahut Mita.

"Lho, kok lo kasih kontak Kirana sembarangan gitu aja, sih, Na?" protes Jihan.

"Yeah, trus gimana dong, Mbak? Suara Mas Reyhan tadi juga dingin banget, apa mungkin Kirana bikin kesalahan ya tadi di sana. Kita semua tahu sih seberapa hebatnya Kirana, tapi kan kita juga tahu dia juga berani banget. Politisi aja sampai nggak bisa berkutik kalau udah dia wawancara. Apa jangan-jangan tadi Kirana juga mengajukan pertanyaan yang menyudutkan Mas Reyhan, ya?"

Jihan mengusap jidatnya sendiri. "Asli deh gue bingung."

"Oh ya, Mbak Jihan, tolong buatkan artikel tentang Mas Reyhan dan Amora Art ya, Mbak. Kumpulkan informasi dari internet aja. Pimpinan Redaksi juga sudah minta hari ini soalnya," pinta Husna pada Jihan.

"Iya, iya, lo tenang aja. Gue juga masih ingat hasil wawancara yang dilaporkan Kirana tadi, kok," balas Jihan.

"Makasih banyak ya, Mbak." Husna meninggalkan meja Jihan, lantas memasuki ruangannya sendiri. Di dalam ruangannya, Husna berusaha menghubungi Kirana. Husna tampak khawatir pada sahabatnya itu. Tapi, sayangnya Kirana tidak bisa dihubungi. Perempuan satu itu seperti sengaja mematikan ponselnya.

***

Sendiri, di dalam kamarnya, Kirana menatap layar laptop, membaca ulang tulisan-tulisannya tentang Reyhan yang ia tulis semenjak tujuh tahun yang lalu. Semuanya masih tersimpan rapi. Kirana menulis semuanya tanpa terkecuali, mulai dari pertemuan awal dengan Reyhan hingga perpisahan itu terjadi.

Kirana dan Reyhan dulu satu SMA dan pernah menjalin hubungan asmara. Kirana adalah siswa paling pintar di sekolahan, sementara Reyhan adalah siswa paling badung seantero sekolah. Reyhan pertama kali jatuh cinta pada Kirana saat Kirana tidak sengaja melemparkan bola volley ke kepala Reyhan. Sementara Kirana jatuh cinta pada Reyhan ketika Reyhan melukis wajah Kirana di tembok sekolah. Di mata Reyhan, Kirana bukanlah cewek pintar, Kirana hanya gadis yang biasa-biasa saja. Di mata Kirana, Reyhan bukanlah cowok nakal, Reyhan adalah laki-laki yang biasa-biasa saja.

"Sayang…!"

Kirana mematikan laptopnya ketika mendengar seruan Bisma dari luar.

Klek! Bisma membuka pintu kamar. "Kamu sudah di rumah? Husna tadi nelpon aku lho, dia nanyain kamu. Kok handphone kamu nggak bisa dihubungin, Sayang?" Bisma mendekat dengan berondong pertanyaan.

"Iya, tadi aku lupa ngaktifin handphone habis wawancara," dalih Kirana. "Mas dari mana?" Kirana bergegas mengalihkan pembicaraan.

"Dari rumah mama. Dan kamu tahu mama ngasih apa? Hmmm…" Bisma mengeluarkan sesuatu dari totebag yang dibawanya.

Kirana menyipitkan mata melihat botol di tangan Bisma. "Madu kesuburan lagi?"

"Ini merek lain, Sayang. Dan mama bilang ini lebih manjur. Tetangga mama, Tante Jeni yang udah nikah sepuluh tahun, bisa langsung hamil setelah minum ini," ucap Bisma.

"Mama kan udah punya cucu dari Mas Bram dan Mbak Lia, kenapa masih ngotot nyuruh kita cepat-cepat punya anak sih, Mas?" cetus Kirana.

"Lha, emang kamu nggak mau punya anak? Kita udah nikah tiga tahun lho, Sayang. Kamu nggak pengen apa di rumah ini ada suara tangisan bayi?"

Kirana meneguk ludahnya sendiri, bosan dengan topik yang sama dengan Bisma hampir setiap hari.

"Mama tadi juga nyaranin kamu buat ngurangin kesibukan, biar bisa lebih cepat hamil. Aku juga udah baca-baca artikelnya, kesibukan seorang perempuan juga bisa menghambat kehamilan lho, Sayang," ucap Bisma lagi.

"Mas, kita kan udah bahas ini dari dulu-dulu, bahkan sebelum nikah. Aku nggak mau ninggalin kerjaan aku. Aku mencintai pekerjaan ini. Kamu tahu itu, kan?" balas Kirana.

"Dan kamu tahu, aku selalu cemburu dengan pekerjaanmu itu," tandas Bisma.

Ruangan itu berubah senyap. Kirana menundukkan kepalanya. Ia tahu Bisma tidak salah. Kesalahan Bisma hanya satu, tidak pernah bisa membuat Kirana jatuh cinta.

Bisma membelai rambut istrinya itu. "Kamu udah kelar datang bulannya, kan?" tanya Bisma.

"Mmmh…," sahut Kirana, enggan.

Bisma tersenyum dan terus membelai rambut Kirana, hingga belaian itu perlahan turun ke dagu dan leher. Namun Kirana menahan tangan Bisma. "Mending Mas mandi dulu, deh. Biar lebih segar," ucap Kirana sambil bangkit berdiri, mengambilkan pakaian ganti buat Bisma dari dalam lemari.

"Nggak mau mandi bareng aja?" goda Bisma.

"Aku udah mandi, Mas," jawab Kirana.

"Ya, udah deh. Tunggu sebentar ya, Sayang. Awas, jangan tidur!" Bisma raib di balik pintu kamar mandi.

Sementara Kirana bergegas mengambil sesuatu dari dalam laci, pil pencegah kehamilan yang rutin ia minum setiap hari, tidak boleh sampai kelewatan.

Dzzzzz… Dzzzzz…

Ponsel Kirana bergetar, ada panggilan masuk dari nomor tidak dikenal. Sambil menelan pil dengan bantuan air putih, Kirana pun menekan tombol connecting dan mendekatkan ponsel ke telinga.

"Halo!" sapa Kirana.

Hening beberapa detik, hingga tiba-tiba terdengar suara baritone menyahut di ujung sana. "Halo!"

Darah Kirana langsung berdesir ketika mendengar sepotong halu tersebut. Kirana mengepalkan tangannya yang mendadak dingin. Ia hafal suara itu, tidak mungkin salah mengenali, Kirana merindukan suara itu selama tujuh tahun.

"Telepon dari siapa, Sayang?" tanya Bisma yang baru ke luar dari kamar mandi sambil menyeka rambutnya yang basah dengan selembar handuk.

Kirana terkesiap lantas bergegas menekan tombol unconnecting. "Dari Husna," jawab Bisma asal.

"Bilang ke Husna, lagi mau produksi, jangan ganggu!"

Kirana tersenyum tipis menanggapi candaan Bisma.