Dengan mata yang berair, aku berdiri di samping Maya. Di balik senyuman Maya, tersimpan luka yang begitu dalam. Aku tahu benar jika Maya tidak akan pernah sanggup melihatku yang merupakan sahabatnya sendiri menikah dengan orang yang dicintainya. Meski aku menuruti permintaannya, aku tidak akan pernah merebut Argat darinya. Aku hanya akan memiliki status sebagai istrinya Argat, tetapi bukan cintanya. Aku hanya akan menjalankan tugasku sebagai seorang istri, tetapi bukan untuk mendapatkan cintanya. Argat hanya akan menjadi milik Maya selamanya.
"Apa kau yakin?" tanyaku pada Maya.
Maya mengangguk pelan dengan tersenyum. Aku memeluknya dan menangis. Rasanya aku tidak mampu memenuhi permintaan Maya yang satu ini. Ini terlalu kejam bagiku. Maya mengurai pelukanku dan mengusap air mataku. Maya memintaku untuk tetap tersenyum untuk semua orang.
"Maya, ayo kita pergi dari sini," ajak Tante Andine yang merupakan Ibunya Maya.
"Tidak, Ma. Aku akan ada di sini sampai selesai," tolak Maya.
"Rasanya Mama sudah tidak sanggup melihat penghinaan ini. Kukira Delisa adalah orang yang baik, tetapi ternyata dia tega menikung sahabatnya sendiri," ucap Tante Andine begitu marah.
"Cukup, Ma. Aku justru sangat berterima kasih pada Delisa. Atas permintaanku Delisa mau menikah dengan Argat," ucap Maya.
"Ingat kau, Delisa. Suamimu adalah pemberian dari anakku, Maya. Kau ingat itu baik-baik." Tante Andine menunjuk ke arahku.
Maya berusaha membuat Tante Andine tenang dan menyuruhnya untuk pulang lebih dahulu. Aku merepas kebayaku dengan kuat karena merasa sakit hati dengan hinaan yang dilayangkan Tante Andine padaku. Aku tidak memiliki niat untuk merebut Argat dari Maya, sungguh aku tidak pernah berpikir serendah itu. Aku terpaksa menyetujui pernikahan ini karena permintaan Maya. Aku tidak ingin Maya menjadi sedih karena Argat tidak akan pernah menikah seumur hidupnya. Karena itu aku siap berkorban untuknya.
"Jika kau tidak ingin pernikahan terjadi, aku akan membatalkannya sekarang juga. Tolong pikikan lagi, Maya," ucapku.
"Aku ingin kau menikah dengan Argat," ucap Maya dengan senyuman yang dipaksakan.
Aku menggigit bibir bawahku saat Argat mulai mengucapkan ijab qabulnya. Aku cukup terkejut mendengarnya begitu lancar saat menyebut namaku. Kupejamkan mataku dengan air mata yang mengalir saat mendengar semua orang mengatakan sah.
"Delisa, selamat," ucap Maya yang membuatku membuka mata.
Kupeluk sahabatku itu dengan isakan tangis. Maya begitu tegar, bahkan aku tidak mendengar isakan tangis keluar dari mulutnya. Justru Maya terus berusaha menguatkanku. Mengapa Maya tidak menangis saja? Setidaknya itu lebih baik bagiku. Melihat Maya yang seperti ini membuatku menjadi begitu jahat. Maya kemudian mendampingiku berjalan ke arah Argat. Aku tahu kalau Argat hanya menatap ke arah Maya meski aku adalah pengantin wanitanya. Bahkan saat aku duduk Argat tidak melepaskan pandangannya pada sosok Maya.
"Tetaplah tersenyum," bisik Maya.
Kini kami menandatangani dokumen nikah secara bersama-sama. Aku tidak berani menatap ke arah Argat. Saking takutnya aku hanya menunduk saat Argat memasangkan cincin ke jari manisku. Seharusnya kami meminta restu kedua orang tua saat ini, tetapi Ibu kami tidak berada di sini. Pernikahan yang mendadak membuatku tidak sempat mengatakan sesuatu pada ibu.
"Batalkan acara resepsinya," ucap Argat pada seseorang di depannya.
Mendengar ucapannya saja aku bisa menebak kalau Argat sangat tidak menginginkan pernikahan ini. Dari sini aku bisa membayangkan pernikahan seperti apa yang akan kujalani nanti. Sesuatu yang menyedihkan sudah menantiku.
Argat meminta sopirnya untuk menyiapkan mobil karena dia ingin segera pulang sekarang juga. Sebenarnya aku ingin mengatakan sesuatu, tetapi tertahan karena rasa takut. Kucoba untuk memberanikan diri karena aku sadar bahwa untuk seterusnya aku akan hidup bersamanya.
"Argat, aku ingin pulang ke rumahku. Aku belum sempat memberitahukan pada Ibu soal pernikahan ini," ucapku.
"Kau bisa pulang ke rumah Ibumu selama yang kau inginkan. Tidak kembali juga tidak masalah," ucap Argat yang melukai perasaanku.
Argat kemudian menyuruh sopir lain untuk mengantarku, sedangkan dia akan langsung kembali ke rumah. Kami pergi dengan mobil terpisah. Langkahku terhenti saat mendengar Maya memanggil nama Argat. Seketika aku juga menoleh ke arahnya.
"Aku tahu kau marah padaku. Tapi jangan berhenti percaya padaku," ucap Maya memegang tangan Argat.
Argat melepaskan tangan Maya begitu saja dan masuk ke dalam mobilnya. Maya hanya bisa menangis melihat mobil Argat yang kian menjauh. Aku berlari menghampirinya dan memeluknya. Sudah kubilang tidak ada yang bahagia dengan hubungan seperti ini. Mengapa Maya tidak mengerti juga?
"Aku hanya ingin melihatnya bahagia, itu saja. Kenapa dia tidak mau mengerti?" Maya menangis dengan air mata yang deras.
"Semuanya akan baik-baik saja. Argat tidak mungkin marah padamu. Aku berjanji padamu bahwa setelah kau sembuh aku akan segera berpisah dengan Argat. Aku yakin kalau kau akan segera sembuh. Ini tidak akan lama," ucapku sambil mengusap air matanya.
Wajah tegar ini akhirnya menunjukkan sosok aslinya. Maya tak henti-hentinya menangis di hadapanku.
Sesampainya di rumah, sopir akan menungguku mengemasi barang-barang. Aku sudah katakan padanya supaya tidak menungguku, tetapi tetap saja aku seperti dipaksa untuk menurut. Waktuku jadi terbatas kalau begini. Hanya ingin bicara dengan ibu saja aku harus terburu-buru. Akhirnya aku mencoba bernegosiasi lagi dengannya.
"Pak Argat mengatakan bahwa anda boleh menginap di sini selama satu hari," ucap Pak Hasan.
"Hanya satu hari?" tanyaku.
"Benar. Nyonya Amelia baru saja kembali dan ingin segera bertemu dengan menantunya. Karena itu Pak Argat memintaku untuk menjemput anda besok," jawab Pak Hasan.
Pantas saja orang tuanya Argat tidak ada di sana tadi. Namun, mengapa aku jadi deg-degan ya? Orang-orang bilang kalau hidup bersama dengan mertua itu agak ngeri. Selain itu aku sedikit cemas karena harus meninggalkan ibu. Siapa yang akan merawat ibu nantinya? Aku terkejut saat mendengar klakson mobil. Aku segera menyingkir supaya mobilnya bisa lewat. Setelah Pak Hasan pergi aku masuk ke dalam rumah. Ibu terkejut saat melihatku mengenakan kebaya lengkap dengan riasan pengantin.
"Ibu aku akan jelaskan semuanya," ucapku.
Ibu makin terkejut saat mendengar ceritaku yang seperti sebuah film. Jangankan ibu, aku saja masih tidak percaya kalau ini nyata. Aku tidak pernah menduga akan menikah secara dadakan dan dengan terpaksa. Kupikir aku akan mempersiapkan segalanya sebelum menikah, tetapi ternyata aku berakhir seperti ini. Lama-kelamaan ibu mulai memahami keadaanku. Syukurlah ibu tidak marah padaku. Saat ini ibu bingung apakah harus senang atau sedih melihatku menikah.
"Jika aku pergi, siapa yang akan menjaga Ibu? Aku tidak tega membiarkan Ibu hidup sendirian," ucapku khawatir.
"Ibu bisa mengurus diri Ibu sendiri. Justru Ibu yang mengkhawatirkan keadaanmu di sana. Pernikahan kalian terjadi secara terpaksa. Ibu khawatir jika kau bahagia," ucap Ibu.
"Tidak, Bu. Argat adalah orang yang baik. Meskipun kita tidak saling mencintai, Argat tidak akan menyakitiku. Kami akan menjalankan peran masing-masing dengan sebaik mungkin," ucapku mencoba meyakinkan Ibu.
"Tanpa cinta? Apa itu mungkin, Nak? Ibu tidak ingin kalian berpisah pada akhirnya. Ibu tidak ingin kau merasakan apa yang Ibu rasakan." Ibu menggenggam tanganku.
Kata-kata apa lagi yang bisa kukatakan pada ibu? Aku tidak bisa berjanji pada dua orang sekaligus. Aku sudah berjanji pada Maya. Aku akan berjalan ke mana pun waktu akan membawaku.