"Selamat datang di rumah baru kita," ucap seorang laki-laki yang sudah cukup berumur sekitar kepala empat sambil membukakan pintu rumah tersebut.
"Wah, rumahnya bagus ya, Ayah," seorang anak perempuan menimpali.
"Iya, Nak. Ayok, kita masuk," ajak wanita di sebelahnya.
Satu keluarga kecil itu masuk ke dalam sebuah rumah yang cukup besar dengan aksen yang estetik karena model rumah ini termasuk ke dalam rumah-rumah zaman dulu. Rumah ini berada di pinggiran kota Bandung, dekat dengan hutan Pinus, itu sebabnya di sekeliling rumah tersebut punbanyak sekali ditumbuhi pepohonan, khususnya Pinus.
"Greysia, rumah ini mungkin tidak sebagus rumah kita yang dulu, tapi percayalah hidup di sini lebih aman dan tentram," kata Agung–ayah Greysia.
"Tidak apa-apa, Ayah. Menurutku ini juga sudah sangat bagus, aku senang tinggal di sini karena udaranya sejuk dan dikelilingi oleh bukit-bukit dan juga hutan Pinus," Greysia tampak sangat sumbringah.
"Baguslah, Nak. Ibu juga senang kalau melihat kamu senang," Shinta menimpali.
"Kalau begitu, kamu ke kamar lebih dulu dan jangan lupa untuk membereskannya. Rumah ini kan sudah lama tidak dihuni, jadi kamu harus membersihkan debu-debunya dan menata ulang semua barang-barangmu," perintah Agung.
"Siap, Ayah. Aku pergi ke kamar dulu," Greysia beranjak dengan membawa tas ransel yang berisi sebagian dari barang-barangnya.
Kini tinggal ada Shinta dan Agung di ruang tamu, sepasang suami istri itu tampaknya sedang dalam perdebatan kecil.
"Mas, kamu belum menjawab pertanyaanku, kenapa kita sampai harus pindah rumah ke sini? Kamu mengatakan pada Greysia bahwa kamu dipindah tugaskan ke sini, tapi aku tau kalau itu semua tidak benar, iya kan? Selama bertahun-tahun menikah denganmu, aku sendiri tak pernah tau dengan jelas pekerjaan apa yang kamu lakukan selama ini untuk menafkahi aku dan Greysia. Kamu selalu mengatakan bahwa aku tidak perlu tau tentang itu, dan selama ini aku juga tidak pernah menuntut jawaban atas semua pertanyaanku. Tapi kali ini aku sungguh tidak mengerti, kenapa kita harus sampai pindah rumah dari Jakarta ke Bandung?" Shinta menanyakan beberapa pertanyaan sekaligus.
Memang benar adanya, Shinta adalah seorang istri yang sangat penurut, dia tak pernah menuntut banyak kepada suaminya. Selama ini Shinta hanya perlu diam di rumah, duduk manis, mengurus anak, dan menerima uang bulanan yang jumlahnya tidak sedikit dari Agung. Tapi Shinta tak pernah tau pekerjaan apa yang dilakukan oleh suaminya, dia selalu percaya sepenuh hati kepada Agung.
Shinta menikah dengan Agung pun atas hasil perjodohan orang tua mereka yang katanya sudah membuat janji dari sejak mereka kecil.
Namun kali ini Shinta tak bisa diam ketika Agung tiba-tiba mengajak dia dan anaknya untuk pindah ke Bandung, tempat di mana Agung dilahirkan dan dirawat hingga besar.
"Sudahlah, Sayang. Kamu tidak perlu terlalu cemas begitu. Aku kan sudah mengatakan hal ini kepadamu, di tempat tinggal kita yang dulu itu sudah tidak aman, aku hanya ingin melindungi kamu dan Greysia. Sementara di sini jauh dari pemukiman, di sini damai dan tentram karena dikelilingi oleh bukit dan hutan Pinus, selain itu tak ada orang yang tau bahwa kita tinggal di sini, jadi rumah ini adalah tempat yang paling aman untukmu dan juga Greysia," jelas Agung.
Padahal Agung sudah menjelaskan cukup panjang, tapi tetap saja itu tak ada satu kata pun yang menjawab pertanyaan Shinta.
"Tapi, Mas. Aku masih penas–," belum selesai Shinta bicara, tapi Agung sudah lebih dulu beranjak sambil mengangkat tangannya pertanda bahwa dia enggan untuk mendengarkan apapun lagi.
"Kita kan baru saja sampai di rumah ini, daripada berdebat dan akhirnya bertengkar, lebih baik kita membersihkan ruangan-ruangan di sini," tegas Agung seraya berlalu.
Shinta hanya bisa menghela napas, kesabarannya selalu diuji selama menjalani pernikahan ini dengan Agung. Mungkin Agung memang suami yang baik dan bertanggung jawab, Shinta tak pernah merasa kekurangan baik dari segi finansial ataupun seksual. Tapi tetap saja terlalu banyak rahasia yang Agung sembunyikan darinya dan Shinta tak suka itu.
Namun sepertinya tak ada yang bisa dia lakukan, jika Agung telah memutuskan untuk tidak memberitahunya, maka sampai kapan pun Agung akan tetap diam. Percuma saja dia mengomel, jika akhirnya tetap tak mendapatkan jawaban.
Shinta menaruh tasnya, dia memutuskan untuk membantu sang suami dan juga anaknya membersihkan rumah itu.
"Greysia, sini sayang. Kita mulai beres-beres dari dapur terlebih dahulu," panggil Agung yang sudah siap dengan kemocengnya. Sementara Shinta pun sudah berdiri di samping Agung dengan membawa sapu.
"Iya, Ayah. Aku ke sana sekarang," jawab Greysia seraya memenuhi panggilan ayahnya.
"Ayok, kita mulai. Ayah dan Ibu membersihkan dapur, kamu membersihkan tembok-tembok berdebu dari ujung sini sampai ke ujung sana," Agung segera membagi tugas untuk anak dan istrinya. Pekerjaan ini harus dilakukan bersama-sama karena rumah ini terbilang besar dan sudah cukup usang karena debu-debu yang menempel di setiap inci ruangannya. Wajar saja karena rumah ini sudah lama tak terpakai semenjak Agung pindah ke Jakarta.
"Oke, Ayah, aku akan membersihkan tembok-temboknya," kata gadis berusia tujuh belas tahun itu.
Greysia mulai membersihkan tembok dengan semangat penuh, tak ada masalah baginya ketika Agung mengatakan bahwa mereka akan pindah. Justru Greysia sangat senang karena dia pecinta alam, di sini dia bisa sepuasnya memandang gunung, bukit, hutan Pinus, dan pemandangan-pemandangan indah lainnya.
Perlahan-lahan langkah Greysia semakin menjauh seiring dengan tembok yang sedikit demi sedikit telah dibersihkan olehnya. Tak lama kemudian, dia sudah sampai di depan sebuah ruangan dengan pintu tertutup. Sepertinya ruangan itu sudah lama tidak dibuka, pintunya pun terlihat sangat berdebu.
Ruangan ini sedikit berbok dan terpisah dari tembok lurus yang tersambung dengan dapur, jika dilihat dari dapur maka ruangan ini sama sekali tidak terlihat, seolah tak ada ruangan apapun di sini.
"Ayah!" teriak Greysia.
"Apa, Sayang," jawab Agung.
"Kemarilah sebentar," teriak Greysia lagi.
Shinta yang juga mendengar teriakan putrinya langsung khawatir, tanpa berpikir panjang lagi dia segera berlari menghampiri Greysia, diikuti oleh Agung di belakangnya.
"Ada apa, Greysia?" tanya Shinta yang sudah lebih dulu menghampiri anaknya.
"Tidak ada apa-apa, Bu. Aku hanya ingin bertanya pada Ayah, itu ruangan apa?" tanya Greysia.
"Itu bukan ruangan apa-apa, itu hanya gudang yang berisi barang-barang bekas," jawab Agung dengan cepat.
"Apa boleh aku masuk untuk membersihkannya?" tanya Greysia lagi.
"Jangan, jangan pernah kamu mencoba untuk masuk ke dalam!" seru Agung sedikit menyambar.
"Loh, kenapa, Mas? Kamu bilang kan itu hanya gudang, kenapa tidak boleh dibersihkan?" sekarang giliran Shinta yang bertanya penuh selidik.
"Karena ... Karena kuncinya sudah hilang, bagaimana caranya kalian bisa masuk ke dalam sana. Lagipula, tak ada yang istimewa dari ruangan itu. Biarkan sajalah, mungkin ruangnya juga sudah diisi oleh tikus-tikus besar, cacing, dan sejenisnya. Jadi lebih baik dibiarkan saja," jelas Agung dengan tegas.
Shinta menatap jauh ke mata suaminya, namun Agung selalu mengelak dari tatapan Shinta.
"Sudah, jangan dibahas lagi. Ayok kita lanjutkan bersih-bersihnya," ajak Agung seraya berlalu dan langsung diikuti oleh Greysia.
Dalam hati Shinta berkata, "Aku yakin, ada sesuatu dibalik ruangan ini. Aku juga yakin kalau Mas Agung itu bohong, tapi apa?"
Shinta memandangi pintu usang itu cukup lama sebelum dia pergi karena suami dan anaknya sudah memanggil.