Shinta duduk termenung seorang diri di ruang tamu, anaknya sedang pergi sekolah sementara suaminya masih tidur di kamar. Rupanya Shinta masih memikirkan tentang ruangan terkunci itu, rasa penasarannya semakin menggebu-gebu ketika melihat tingkah dan eksperi wajah suaminya semalam.
"Aku yakin, pasti ada sesuatu yang Mas Bram sembunyikan di ruangan itu. Ada apa sebenarnya?" batin Shinta. Sekeras apapun wanita itu berpikir, tapi dia tetap tak menemukan jawaban atas semua pertanyaannya.
Tiba-tiba saja terbesitlah keinginan untuk mencari tau lebih dalam demi menuntaskan rasa penasarannya sendiri. Shinta menatap ke sekeliling rumah dan dia pikir bahwa ini adalah kesempatan yang bagus untuk mencari tau jawabannya, Bram masih tertidur lelap dan tidak ada siapapun lagi di rumah itu.
Tanpa membuang waktu lagi, Shinta segera masuk ke kamar untuk mencari kunci ruangan terkunci itu, dia yakin bahwa sebenarnya sejak awal pun kunci itu tidak pernah hilang dan sekarang pasti disembunyikan oleh suaminya di suatu tempat.
Shinta mulai membuka setiap laci yang ada di sana, tak lupa dia juga merogoh semua saku celana, baju, dan kemeja suaminya dengan sangat hati-hati agar tidak menimbulkan kebisingan. Sesekali Shinta menoleh ke arah Bram yang masih tertidur. Semua barang, laci, baju, lemari, sudah habis dia bongkar dan dia geledah satu persatu, namun hasilnya tetap nihil.
"Di mana kunci itu? Semua tempat sudah aku geledah, tapi aku tetap tidak bisa menemukan apapun." Shinta sudah mulai gusar, matanya memandang ke setiap sudut ruangan dengan begitu jeli, khawatir ada tempat terpencil yang belum dia jamah.
"Kunci ... Di mana kunci itu," gumam Shinta, waktunya sangat terbatas, kalau sampai Bram terbangun maka habislah dia. Akan sangat sulit mendapatkan kesempatan semacam ini lagi.
Tiba-tiba pandangannya tertuju pada sebuah quote bertuliskan "Kunci Kesuksesan Itu Adalah Bekerja" yang terbalut bingkai kayu.
"Kunci? Siapa tau kuncinya memang ada di sana, tidak mungkin Mas Bram menyembunyikan kunci itu di tempat lain, pasti masih dekat dengan kehidupan sehari-harinya," pikir Shinta.
Sedikit tidak mungkin memang, tapi dia penasaran karena hanya bingkai itulah satu-satunya benda di kamar ini yang belum dia sentuh. Saat sudah hampir putus asa, rasanya hal yang tidak mungkin sekalipun masih diharapkan. Kemudian Shinta segera memeriksanya, mula-mula dia menaiki bangku kecil untuk mencopot bingkai tersebut dari dinding.
Dan ternyata dugaannya benar, setelah bingkai itu terangkat barulah tampak sebuah kunci menggantung di tembok, hampir saja Shinta berteriak kegirangan karena saking senangnya.
Tangannya sudah menyentuh kunci itu, tiba-tiba ...
"Sedang apa kamu di sana?"
Deg! Itu suara Bram. Seketika itu jantung Shinta terasa berhenti berdetak, sekujur tubuhnya panas dingin dan juga bergetar. Bram akan marah besar jika tau bahwa dia sedang mengambil kunci itu.
"A–ampun, Mas," ucap Shinta lirih. Perlahan dia berbalik badan dengan wajah yang penuh ketakutan, Shinta menunduk dalam-dalam tak berani menatap wajah sang suami. Namun beberapa detik kemudian suasana kembali hening, tak ada bentakan atau suara apapun lagi setelahnya.
Shinta memberanikan diri untuk mengangkat wajahnya dan melihat apa yang sebenarnya terjadi.
Mulutnya terngaga saat melihat suaminya itu masih tertidur lelap di atas ranjang, hanya posisi saja yang berubah. Rupanya Bram hanya menggigau tadi.
"Astaga, hampir saja aku jantungan," Shinta menghembuskan napas lega sembari mengusap-usap dadanya, dia lega sekaligus senang karena itu artinya dia bisa melanjutkan misinya ini.
Shinta buru-buru menyambar kunci tersebut dan menaruh kembali bingkai itu di tempatnya, seluas senyuman tersungging di bibir tipis milik Shinta. Sebentar lagi dia akan menguak rahasia yang selama ini disembunyikan oleh Bram.
Tepat sebelum dia melangkah keluar, handphone milik Bram berdering, hatinya tergelitik ingin melihat siapa gerangan yang menelponnya. Mungkin saja ini berhubungan dengan pekerjaan Bram yang selama ini ingin sekali dia ketahui, maka dari itu lagi-lagi Shinta memberanikan diri untuk melihatnya. Padahal selama bertahun-tahun menikah, belum pernah sekalipun dia lancang membuka handphone milik Bram tanpa izin.
"Aku sudah terlanjur melangkah, maka kenapa tidak sekalian saja aku mengungkap semuanya," pikir Shinta.
Setelah itu tanpa ragu Shinta mengecek notifikasi di layar depan, rupanya ada dua panggilan tak terjawab dan juga sebuah pesan. Kebetulan password yang Bram gunakan tidak lain adalah tanggal lahir anaknya sehingga Shinta bisa dengan mudah mengakses handphone tersebut. Satu pesan dari kontak bernama "Tirex" itu mengusik rasa ingin tahunya semakin dalam,
"Dari namanya saja sudah aneh, bagaimana dengan isi pesannya?" begitu yang Shinta pikirkan.
Dia pun membuka pesan dari Tirex, di sana tertulis :
"Sekarang Tuan sudah mengisi rumah itu lagi, lalu apakah saya perlu memberi makan hama itu seperti biasa?"
Kalimatnya begitu ambigu dan sulit dipahami, Tirex itu jelas menyebutkan hama. Tapi hama mana yang diberi makan? Hama itu seharusnya dibasmi bukan malah diberi makan, bukan?
Shinta sungguh tidak mengerti, semakin dia mencari tau maka dirinya semakin dihadapkan pada sebuah labirin besar berisi teka teki yang sangat rumit dan sulit untuk dipecahkan.
Ini mungkin akan membahayakan dirinya sendiri, tapi Shinta sudah terlalu lelah hidup dalam semua kebohongan ini. Bagaimana pun dia harus mengetahui segalanya.
Tak ingin membuang waktu hanya dengan memikirkan soal Tirex, maka Shinta segera berlari menuju ruangan itu dengan kunci di tangannya. Setelah ini selesai mungkin dia pun akan mencari tau soal Tirex itu.
"Aku harus buka pintu ini, aku yakin ada sesuatu di dalem sini," pikir Shinta.
Shinta membuka pintu tersebut dengan kunci yang sudah dia dapatkan, hanya beberapa detik pintu itu sudah bisa terbuka lebar. Satu kesan yang dia dapat, gelap, lembab, dan cukup mencekam. Ruangan ini begitu tertutup, tak ada sedikit cahaya matahari yang masuk ke dalamnya, sehingga ruangan itu gelap meski di siang hari.
Namun Shinta masih bisa melihat meski sedikit remang-remang, dia melangkahkan kakinya perlahan masuk ke dalam dengan jantung yang berdesir tak karuan.
"Permisi, apa ada orang di sini?" ucap Shinta pelan.
Kreek ...
Mata dan telinga Shinta begitu awas terhadap sekelilingnya, dia merasakan ada sesuatu yang aneh di sini. Suara-suara asing pun mulai terdengar, membaut Shinta sedikit ketar ketir, deru napasnya terdengar tidak beraturan.
Rupanya di dalam ruangan itu pun masih ada ruangan lain, namun pintu ruangan yang itu tidak dikunci. Entah sengaja atau memang seseorang lupa untuk menguncinya, sebuah keberuntungan besar untuk Shinta, dia ingin segera menuntaskan ini dan berharap tidak akan terjadi apapun setelahnya.
Selangkah demi selangkah Shinta mendekat, perlahan tapi pasti, kepalanya mulai mengintip di balik pintu yang dia buka secara perlahan. Pintu itu belum terbuka penuh, namun Shinta sudah bisa melihat dengan jelas apa yang ada di dalam ruangan itu.
Sontak saja matanya terbelalak sempurna, napasnya tercekat padahal mulutnya terbuka lebar seolah dia baru saja dicekik monster besar. Seluruh tubuhnya bergetar hebat, tak ada satu kata pun yang dapat dia katakan.
Rasa terkejutnya belum usai, tiba-tiba dia dikejutkan oleh suara seseorang yang begitu menggelegar di belakangnya.
"Hey, Berhenti!"
Secara otomatis Shinta menoleh ke sumber suara, tiba-tiba ...
"Aaaaaaaaaaaaa ...!!!!!" jeritnya.