Chereads / KUCING AJAIB / Chapter 2 - SIAPA YANG BICARA?

Chapter 2 - SIAPA YANG BICARA?

"Bee, kamu kenapa?"

Virna semakin khawatir, karena si kucing abu-abu itu terus saja terbatuk-batuk.

Ada darah menetes membasahi seprai.

Virna menghampiri sang kucing yang ada di atas kasur lantai miliknya.

Menyambar tissue dan membersihkan darah yang keluar dari mulut kucing tersebut.

Wajahnya terlihat khawatir.

Kucing itu terlihat sangat kepayahan. Hingga untuk beberapa saat, Virna tidak tahu apakah ia bisa berangkat bekerja sementara kucing itu seperti sedang sekarat?

"Bee? Kamu mau sesuatu? Mau ikan? Atau ayam?"

Yang benar saja, aku menawarinya ayam, dan ikan sementara aku sendiri nggak punya stok ikan dan ayam sekarang, duh! Gimana ini?

Virna bicara seperti itu di dalam hati.

Ia menatap tidak tega pada kucing abu-abu di hadapannya. Bee, tidak mengeluarkan darah lagi, meskipun bulunya yang terkena percikan darah, masih belum bersih, akan tetapi kucing itu seperti menahan diri untuk tidak membuat Virna cemas.

"Bee, aku nggak bisa izin kerja, karena bos aku galak, dan pelit, tapi aku janji nanti kalau aku pulang, aku bakal bawain kamu makanan enak, yah? Tapi, kamu harus tahan, jangan kenapa-kenapa, untuk sementara kamu minum antibiotik dulu ya, biar kamu nggak mengeluarkan darah lagi.."

Virna mengucapkan kalimat itu, sembari bangkit dan mencari sesuatu di atas nakas yang ada di samping tempat tidurnya.

Kucing abu-abu itu hanya memperhatikan Virna. Matanya seolah bicara, bahwa ia ingin gadis berambut panjang itu tidak terlalu mengkhawatirkan dirinya.

"Pergilah bekerja, aku tidak apa-apa.."

Virna terperanjat, ketika mendengar sebuah suara pria bicara seperti itu.

Gadis itu memandang berkeliling. Berusaha mencari tahu siapa yang tadi sudah bicara seperti itu padanya.

"Aneh, siapa tadi yang ngomong ya? Aku tadi kayak dengar, ada cowok ngomong..?"

Virna menatap ke arah Bee, yang juga saat itu menatap dirinya.

"Masa kamu yang ngomong, sih Bee? Nggak mungkin, kan? Gila aja kalau ada kucing ngomong! Tapi, aku tadi beneran dengar ada cowok ngomong, lho! Kamu, dengar nggak?"

Virna kembali bicara. Gadis itu mengedarkan pandangannya kembali ke seantero tempat di kamar kecil itu.

"Meong..."

Kucing itu merespon kata-kata yang diucapkan oleh Virna.

Virna beralih menatap ke arah Bee.

"Iya, kamu pasti nggak dengar, kan? Tapi, aku tadi beneran dengar lho, aku nggak mungkin salah dengar.."

Virna kembali mengutarakan rasa penasarannya yang benar-benar memicu rasa ingin tahunya yang berlebihan.

"Aduh! Udah jam segini, kamu minum obat dulu ya, biar aku bisa tenang kerja!"

Sambil bicara seperti itu, Virna keluar dari kamar menuju dapurnya.

Lalu beberapa saat kemudian, gadis itu kembali dengan sendok di tangan.

Ia menghampiri Bee yang masih meringkuk di atas tempat tidur.

"Nah, kamu minum obat dulu, ya? Obat ini, bisa bikin luka dalam kamu akan sembuh, jadi kamu bisa bertahan di rumah kalau aku tinggal kerja.."

Virna memegang kepala Bee, untuk membantu kucing itu meminum obat yang ia berikan.

Kucing itu meronta. Tapi, Virna memaksa sang kucing untuk tetap menelan obat yang sudah ia cairkan di atas sendok tersebut.

Sedikit susah memang, saat Virna memasukkan obat itu ke mulut Bee. Susah, lantaran kucing itu menolak.

Tapi, bukan Virna namanya, jika tidak bisa menuntaskan apa yang sudah ia niatkan.

Obat itu masuk ke dalam perut Bee secara menyeluruh!

Meskipun saat itu sang kucing justru terbatuk-batuk, karena merasa itu adalah tindakan yang sangat ekstrim.

"Maaf, ya. Aku jadi bikin kamu sakit gitu, tapi percaya sama aku, obat itu akan membuat kamu lebih baik lagi. Dan, sekarang kamu istirahat, aku bakal bawa makanan buat kamu nanti pas pulang kerja, tapi kamu harus ingat, nggak boleh pup sembarangan, nggak boleh pipis sembarangan, dan nggak boleh mengeong keras-keras, ingat, cowok ganteng itu pendiam, nggak banyak omong..."

Virna mengusap kepala kucing itu dengan penuh sayang setelah usai mengucapkan kalimat tersebut.

Ia meminta Bee, untuk berbaring saja. Sementara dirinya langsung ke dapur lagi untuk meletakan sendok yang tadi dipakainya untuk meminumkan obat tersebut.

Setelah dirasa semua beres, gadis itu menyambar kunci kamar kost.

Terburu-buru ia berjalan menuju tepi jalan besar untuk mencari angkot.

Jam kerjanya sudah sangat mepet. Ini semua gara-gara ibu kostnya yang tadi membuat dirinya sedikit terhambat untuk bersiap-siap.

Beruntung, sebelum jam masuk, Virna sudah tiba di tempat kerja.

Nafasnya tersengal.

Membuat Morin temannya menatap dirinya dengan tatapan mata menyelidik.

"Kamu kenapa?" tanya gadis itu dengan nada heran.

"Aduh, aku sial banget tau nggak! Pagi-pagi aku sudah kena omel ibu kost, ada yang lapor kalau aku pelihara kucing, dia geledah kamar aku, takut banget tau tadi!"

Virna bicara tersendat-sendat. Terlihat sekali gadis itu seperti kesulitan untuk bicara santai.

"Aku bilang juga apa? Dibuang aja! Ntar bikin kamu dapat masalah lho, lagian kucing itu punya sembilan nyawa, jadi kamu nggak perlu repot ngurusi dia!"

"Nggak tega aku, dia itu penurut banget tau. Selama aku melihara dia, udah sepekan ini, dia itu nurut banget, kalau aku bilang, jangan buang air sembarangan, dia nurut, aku bilang jangan mengeong keras-keras dia juga nurut, aku jadi nggak tega buang dia!"

"Duuh, kamu ini. Gaji kita aja udah kecil, nyukupin diri sendiri aja, kita nggak bisa, sekarang kamu malah mau bikin pengeluaran makin banyak karena melihara kucing!"

"Eh, iya. Ngomongin soal itu, aku boleh nggak ngutang duit sama kamu?"

"Nah, baru aja dibahas! Kamu kehabisan duit buat beli makanan kucing, kan?"

"Sebenarnya nggak juga sih, duh nggak tau kenapa bulan ini tuh, aku sial banget. Masa lampu kamar aku mati-mati terus, duitku abis buat beli lampu terus tau!"

Morin geleng-geleng kepala. Sebenarnya, gaji dia dan Virna itu sama. Bedanya, Morin tinggal dengan orang tua, sedangkan Virna tidak punya keluarga.

Saat musibah kebakaran yang menghabiskan rumahnya, anggota keluarganya jadi korban. Virna hidup sebatang kara. Banting tulang untuk mencukupi kebutuhan hidup yang tidak murah.

Karena itulah, dibandingkan Morin, uang Virna lebih dulu habis.

Apalagi semenjak ada kucing, otomatis dia harus menyediakan ikan untuk kucingnya itu.

Jika biasanya, tidak makan dengan ikan pun, Virna tidak masalah karena buat dia sayur nomor satu, sekarang ikan adalah menu wajib.

Yang lebih menyebalkan lagi, harga ikan sekarang melambung. Untuk satu ekor ikan tongkol saja Virna sudah menghabiskan uang 20k.

Sedangkan Bee, tidak suka dengan ikan murah yang banyak durinya.

Bee hanya mau makan ikan tongkol atau ikan layang. Jika ada ayam goreng pun, Bee sangat bersemangat untuk makan.

Tapi, mana mungkin Virna membeli ayam setiap hari?

Satu ekor ayam saja sudah mencapai 50k di daerahnya.

Virna mana sanggup membeli ayam setiap hari untuk lauk makan.

Sudah ada sayur saja, dia sudah bersyukur.

Tapi, sekarang kebutuhannya mau tidak mau bertambah semenjak ada kucing abu-abu yang ia temukan itu.

Ingin dibuang, tapi ia tidak tega. Apalagi, Bee juga masih belum sembuh dari luka yang ia derita.

Alhasil, Virna tetap memelihara kucing itu dengan segala keterbatasan ekonominya.

Berharap, Bee cepat sembuh, agar ia bisa mengusir kucing itu dari kamar kostnya.

"Beli lampu itu yang merk-nya jelas, Non! Kamu beli yang murahan, makanya putus terus itu lampu!"

Morin mengkritik. Dan, Virna mencibir mendengar kata-kata sahabatnya itu.

"Kalo sial, walaupun beli lampu merk Sultan juga, pasti putus juga tau! Apes banget tau nggak, eh tapi aku mau cerita sesuatu sama kamu.... "

Virna menghentikan ucapannya untuk sesaat. Morin melongo, penasaran dengan apa yang akan diucapkan oleh Virna.

"Ada apa? Ikan kamu nggak ada, kan?" tanya Morin tidak sabar.

"Kayaknya, di kamar aku itu, ada penunggunya sekarang, tadi aku dengar ada suara cowoknya yang ngomong, tapi aku nggak liat ada orang selain aku di kamar, cuma ada Bee, aja ..."

Note: hidup itu keras, maka dari itu kita juga harus keras agar kita tidak mudah jatuh dan tersungkur.

(Siapakah yang bersuara saat Virna berada di kamar? Stay terus di sini untuk tahu kelanjutan ceritanya ya, terimakasih sudah membaca)