Mobil porsche hitam berhenti tepat di rumah besar bernuansa putih. Suasana rumah terlihat sepih seperti tidak ada penghuninya. Kejadian malam ini membuatnya cukup trauma, melihat Akmal memukul dokter Ryan dengan beringas. Selama mereka bersama, Akmal tidak pernah seperti itu.
Helsa mengalihkan pandangannya pada dokter Ryan, namun dia tersentak saat pria itu sudah menatapnya lebih dulu. Bahkan sejak tadi.
Seulas senyum terpancar dari wajah lebam itu, masih tetap ganteng.
"Mas, maaf. Karena Akmal-"
Suaranya mendadak putus saat Ryan mencium keningnya. Matanya mengerjap berulang kali, Helsa tidak mengerti apa maksud semua ini.
"Untuk pukulan tadi mas maafin dia, tapi tidak untuk semua air mata kamu." Ungkap Ryan sembari menatap dalam manik mata perempuan dihadapannya.
"Helsa boleh minta sesuatu?" tanyanya.
"Apa?"
"Bawa pergi Helsa sejauh mungkin," ujarnya.
"Maksud kamu?"
"Helsa mau lurusin amanah papa," ucapnya final.
Ryan melepaskan seatbelt, mengambil posisi duduk sedikit miring untuk bisa melihat lebih utuh wajah Helsa. Dia mengusap permukaan pipi perempuan itu, ada sedikit cairan bening yang keluar dari dua sudut mata Helsa.
"Helsa nggak bisa terusin semuanya bersama Akmal. Helsa mencintai Akmal, tapi rasanya sulit sekali untuk bisa terima dia kembali." Curhatnya, dan Ryan bisa melihat bagimana tulusnya perasaan Helsa untuk Akmal.
"Kamu serius dengan ucapan kamu?" tanya Ryan memastikan. Helsa mengangguk.
"Helsa akan temui Akmal kalau nanti semuanya sudah lebih tenang," katanya.
"Iya," kembali Ryan mendaratkan bibirnya pada kening Helsa.
***
Hoek ... hoek ....
Cairan bening yang dimuntahkan Helsa sejak tadi malam membuatnya terasa pusing. Keadaan tubuhnya melemah, wajahnya pucat. Helsa pun belum mengisi perutnya dengan makanan sejak semalam. Sudah seminggu ini Helsa absen dari sekolah, hanya Arjun yang sempat menemuinya.
Arjun datang untuk memberitahu perihal kecelakaan yang dialami Akmal saat malam setelah pertengkaran itu. Ingin sekali Helsa menemui Akmal yang masih terbaring koma di rumah sakit, tapi dia tidak mau memberi harapan lebih untuk pemuda itu.
"Kamu nggak apa-apa, Cha? Kita ke klinik terdekat aja. Atau mau mama panggil dokter Ryan," tanya Renata khawatir.
"Nggak usah ma. Helsa cuma kurang istirahat, nanti juga baikan." Sergahnya, "mama belum berangkat?"
"Gimana mama mau berangkat kalau kamu kayak gini, Cha?!"
"Mama berangkat aja, klien mama lebih penting sekarang." Ujarnya memberi semangat untuk wanita paru baya itu.
"Kamu yakin?"
"Kan ada mbak Ana, mama lupa?"
"Ya udah. Tapi Cha, kalau kamu masih kayak gini terus, mama pulang."
Helsa mengangguk saja, wajahnya terlihat pucat.
"Mama berangkat ya?!" pamit Renata dan keluar dari kamar puterinya.
Helsa mengamati langkah Renata yang kian hilang dari pandangannya. Bahagia sekali bisa melihat mamanya kembali tersenyum setelah kepergian papanya. Walaupun Helsa tahu Renata masih sering menangis sendiri.
Helsa menatap lurus pada cermin yang lurus dengan ranjangnya. Dia menatap intens lekuk tubuh dan juga pipinya yang semakin cabi. Padahal akhir-akhir ini dia sering menangis dan juga sedikit makan, tapi tubuhnya terasa padat.
Helsa tersentak. Tiba-tiba saja pikirannya jauh. "Ya Allah ... ini tanggal berapa sih?"
Matanya membulat kala melihat kalender yang ada pada nakas. Jantungnya berpacuh dengan cepat, dia sudah telat sebulan lebih tanpa menyadari hal itu.
"Nggak mungkin," sergahnya, menghilangkan pikiran buruk tentang dirinya.
"Tapi, bisa aja terjadi. Satu bulan yang lalu saat check kandungan, itu baru hari kelima setelah kejadian di apartement mama."
"Akmal ..."
"Sakit? Hmm?"
"Sa, jangan tinggalin aku."
"Boleh aku cepetin ritmenya?"
Helsa terjatuh lemas pada karpet yang membentang dibawah kaki ranjangnya. Terlintas dengan jelas bagaimana pagi itu dia dan Akmal membuat cinta di apartement milik mamanya, lalu bayang-bayang saat Akmal bersama Rania turut menghantuinya.
Helsa mengambil handphonenya, mencari aplikasih belanja online. Dia harus segera mengecek secara langsung. Ya, Helsa memesan testpack.
***
"Ma ... Echa boleh minta sesuatu?"
Renata menghentikkan aktifitasnya pada labtop, suara parau puterinya mengalihkan perhatiannya. Tidak biasanya Helsa mengusik waktu kerjanya saat di rumah, mungkin hanya saat dia masih kecil.
"Kamu minta apa? Sini," seru Renata sambil menepuk sofa agar Helsa bisa duduk disampingnya.
Dengan langkah gontai, Helsa berjalan menuju Renata. Lalu duduk bersimpuh dekat kaki wanita itu, Helsa menangis.
"Ma, Echa boleh ikut paket aja untuk ijasah SMA? Echa mau berhenti sekolah," pintanya.
"Cha, are you ok? Cerita sama mama! Kamu punya masalah di sekolah? Ada yang usilin kamu, sayang?"
"Ma, Echa harus tanggung jawab!"
"Maksud kamu apa? Mama nggak ngerti? Jangan nangis kayak gini, ayo bangun!"
"Echa hamil," lirihnya disela isakan tangis.
Renata diam. Tubuhnya seketika terasa mati, suara Helsa barusan membuatnya bisu. Untung saja dia tidak punya riwayat penyakit jantung.
Untuk beberapa saat semuanya terasa kaku, Renata membiarkan Helsa menangis.
"Cha, bilang sama mama kalau kamu bohong."
Perempuan itu memberikan sebuah testpack bergaris dua dengan tangan yang bergetar, matanya terus menatap Renata penuh ketakutan.
"Cha ... Akmal?" tanya Renata. "Itu anaknya Akmal?"
Helsa menangis sesegukan saat nama Akmal harus disebut mamanya, berat sekali untuk mengatakan iya. Dia sudah ingin pergi jauh, namun keadaan ini membuatnya harus berpikir ribuan kali.
"Ma, Echa udah putusin pisah sama Akmal. Tadinya Echa mau lurusin amanah papa, tapi keadaannya berubah ma. Nggak mungkin mas Ryan mau nerima Echa."
Renata mengusap lembut surai hitam milik Helsa, dan memeluk puterinya. Tangis yang sejak tadi ditahan akhirnya lepas begitu saja, Renata menangis sudah gagal menjadi ibu.
"Izinkan mama rawat anak kamu untuk menebus semua kesalahan mama yang nggak pernah ada buat kamu," kata Renata.
Helsa menggeleng keras. Dia mengusap pipi Renata dari air mata. "Helsa tetap rawat dia apapun yang terjadi, Helsa akan berjuang sendiri ma. Dan Helsa juga nggak akan beritahu Akmal tentang hal ini."
"Tapi Cha ..."
"Keputusan aku udah bulat. Echa mau bawah dia ke Kanada. Echa mau lahiran disana, jauh dari Akmal."
Renata tidak banyak bertanya mengapa bisa Helsa ingin meninggalkan Akmal. Apalagi dengan kasus yang pernah terjadih pada keduanya, saat Akmal membawa kabur Helsa satu bulan yang lalu.
"Maafin Echa, ma." Lirihnya, kembali memeluk Renata.
"Izinin Helsa buat ketemu Akmal. Untuk yang terakhir," pintanya.
***
Setelah memberi pengakuan atas kehamilannya, Helsa tidak memberi peluang untuk siapapun menemuinya. Kecuali Renata dan mbak Ana. Dia bahkan memutuskan kontak bersama teman-temannya, termasuk dokter Ryan.
Kata Helsa, pria itu pantas mendapatkan perempuan yang lebih baik. Helsa sudah menutup rapat harapannya kepada dokter Ryan.
"Kamu mau lari dari mas?"
***
"Banyak-banyak istirahat ya cantik. Minum air putih yang banyak, jangan stres. Nggak usah mikir hal yang memperhambat kesehatannya. Biar cepat pulang. Nggak enak lama di rumah sakit," nasihat pria berjas putih pada pasiennya.
Sejak pagi, pasien di Mawar Medika begitu padat, mulai dari yang rawat jalan sampai yang rawat nginap. Tapi, dokter dengan marga Brahwijaya ini tetap dengan tangan terbuka menangani semuanya.
Adryan Brahwijaya. Seorang dokter penyakit dalam spesialis Hematologi. Dokter yang memfokuskan diri pada komponen darah dan permasalahannya. Adryan atau kerap disapa dokter Ryan terlahir dari keluarga kasta menengah. Bukan anak tunggal seperti Helsa ataupun Akmal, tapi dia memiliki satu saudara yang berprofesi sebagai dosen. Ryan menjadi salah satu dokter termuda di rumah sakit Mawar Medika.
Pasien yang baru dinasihatinya adalah seorang anak perempuan berusia dua belas tahun yang mengidap leukimia atau kanker darah. Namanya Denta.
"Dokter udah punya istri?" tanya anak itu dengan polosnya.
Ryan tersenyum. "Belum. Kenapa?"
"Yahhh .... Dokter lahirnya kecepatan," sesal anak itu.
"Kenapa gitu?" sambung ibunya, penasaran.
"Iya, dokter ganteng banget, pintar lagi. Kalau kita seumuran, Denta mau nikah sama dokter."
Ryan dan ibu dari anak itu terkekeh, ada anak kecil yang pikirannya seperti ini. Pria itu teringat akan Helsa, mereka bertemu pertama kali di rumah sakit ini. Helsa juga pasien pertama yang memanggilnya dokter ganteng.
"Dokter ganteng, ngapain kesini? Bukannya pagi tadi udah kontrol?!"
"Kamu panggil saya ganteng? Makasih. Kamu orang pertama loh."
"Dokter lihat Akmal gak?"
"Pacar kamu itu? Kayaknya dari kemarin deh, dia gak muncul disini."
"Kamu ngapain?"
"Helsa boleh pinjam handphone nggak?
"Buat telepon pacar kamu? Saya gak punya kontaknya? Kenal aja enggak."
"Enggak kenal, tapi pas Helsa nanya Akmal, dokter bilang pacarnya Helsa."
"Ganti ya, pulsa saya. Nggak gratis!"
"Iyain. Sini."
Pria itu tersenyum mengingat awal pertemuan itu. Lucu sekali wajah pucat Helsa yang hampir tidak pernah senyum saat itu.
"Dok, handphonenya getar ." Kata Denta.
Ryan segera mengambil benda pipih tersebut dari dalam jas, dahinya mengerut saat mendapati siapa yang meneleponnya.
"Saya permisi bu. Denta, dokter permisi ya." Pamit Ryan kepada mereka, lalu keluar dari kamar nginap itu.
"Hallo ..."
"Iya. Kebetulan pasien saya tersisa satu orang lagi, setelah itu saya temui ibu."
"Baik bu. Sampai jumpah," ucap Ryan menutupi panggilan itu.
Setelah memutuskan sambungan telepon, pria itu melanjutkan aktifitasnya untuk mengontrol satu pasien lagi. Namun, pikirannya melayang jauh, tumben sekali Renata ingin menemuinya. Iya, yang tadi menghubunginya adalah mamanya Helsa.
***
"Adryan, sepertinya kamu tidak bisa melanjutkan amanah suami saya." Ujar Renata dengan serius. Ada penyesalan yang tersorot dari matanya.
"Helsa berubah pikiran bu? Saya paham sekali, dia begitu mencintai kekasihnya."
Suasana ruangan milik Renata terasa canggung, atmosfer sekitar mereka terasa panas. Pertemuan itu terjadi di perusahaan induk keluarga Helsa. Lebih tepatnya milik papanya.
Setelah menyelesaikan tugasnya hari ini, dia segera menemui Renata disini.
"Bukan. Ini tentang kondisinya saat ini," ujar Renata. "Ryan, Helsa sedang mengandung janin milik Akmal."
DUARR!
Seperti bom yang meledak, Ryan menatap lemah wanita dihadapannya. Harapannya pada Helsa pupus. Baru saja Helsa membuka jalan untuknya, tapi sekarang jalan itu seolah ditutup kembali.
Ryan bingung harus menanggapi apa pada masalah ini. Berat sekali mengatakan iya dan tidak. Apa mungkin Helsa memang ditakdirkan untuk Akmal?
"Ryan, maafkan kami. Suami saya pasti memahami jika kamu menolak amanah darinya," ujar Renata kembali melumpuhkan harapan dokter tampan itu.
"Helsa akan berangkat ke Kanada setelah urusannya bersama Akmal selesai."
Ryan menyerngit. "Maksud ibu?"
"Helsa memutuskan untuk tidak bersama Akmal, dia akan melanjutkan sekolahnya di Kanada. Saya nggak tahu apa yang terjadi pada mereka. Tapi, saya yakin ini keputusan tepat yang diambilnya."
"Saya mau ketemu dia. Boleh bu?"
"Helsa di Villa milik papanya di Puncak. Kamu bisa temui dia disana," jujur Renata. "Saya share lokasinya."
***
Langkahnya berhenti diambang pintu kamar. Tatapannya jatuh pada seorang perempuan yang tengah menikmati hamparan kebun teh dari atas balkon kamar. Ryan berjalan perlahan mendekati Helsa yang tidak sadar akan kehadirannya.
"Kamu mau lari dari mas?"
"Tahu dari mana Helsa disini?"
"Kalau jodoh nggak bakal kemana," sarkasnya.
"Mas, kita udah nggak bisa ketemu lagi. Helsa mau mas pergi dari sini," pinta perempuan bersurai panjang.
"Sa, mas udah tahu semuanya."
"Ya udah, mau ngapain lagi temuin Helsa. Nggak ada gunanya lagi," ucap Helsa dengan nada suara yang sudah naik satu oktaf.
Ryan mendekap Helsa, menuntunnya menuju ranjang. Dia memberi posisi agar Helsa bisa duduk dengan nyaman disana, sedangkan dia sendiri mengambil posisi jongkok dihadapan perempuan yang sedang mengandung.
"Kalau kemarin-kemarin kamu yang selalu minta sesuatu dari mas, boleh kan sekarang mas yang mau sesuatu dari Helsa?"
"Apa?" tanya Helsa sedikit kesal, padahal dia menaruh rasa ibah karena sudah sedikit kasar pada Ryan.
"Kita tumbuh bareng, ya?"
"Maksudnya?" Helsa bingung apa yang dimaksud dengan kata tumbuh itu sendiri.
"Mas, Helsa, dan dia." Sebutnya, sembari mengusap perut yang masih rata. "Izinin mas jadi imam buat Helsa, dan ayah untuk dia."
"Nggak mas," tolak Helsa."Masih banyak wanita diluar sana, yang lebih baik dari Helsa."
"Helsa kotor mas. Helsa bukan perempuan yang baik buat mas Ryan. Dia juga bukan tanggung jawab mas," ujar Helsa lagi. Matanya sudah berkaca-kaca, bertanda akan ada air mata.
"Sa, lihat mas!" Ryan menangkup wajah wanita itu. Lalu mengambil jarak lebih dekat dengan Helsa. "Kamu pilihan mas. Kita lupain masa lalu kamu."
"Nggak bisa!"
"Apa yang nggak bisa? Karena dia bukan milik mas? Dengar ucapan mas, mulai hari ini dia milik mas. Kamu dan dia seutuhnya milik Adryan Brahwijaya." Sebutnya mantab.
"Kita mulai semuanya dari awal. Mas mau kamu yang jadi alasan mas untuk pulang rumah. Mas mau kamu yang mas lihat saat bangun tidur."
"Mas, hubungan ini bukan hanya mas dan Helsa, tapi juga menyatuhkan dua keluarga yang berbeda. Apa mungkin bisa keluarga mas terima Helsa dengan kondisi seperti sekarang?"
"Percayakan semuanya sama mas," tutur Ryan mencoba untuk meyakinkan Helsa.
"Helsa Septian ... will you marry me?"
Helsa membekap mulutnya saat sebuah cincin berada dihadapannya. Air matanya meluruh begitu saja, Ryan membuatnya menangis sesegukan seperti orang yang habis kecopetan.
"Sa, mas harus nunggu kamu sampai sesegukannya hilang?"
Helsa mengangguk disela tangisannya. "Yes, i do."
"Seriously?" tanya Ryan memastikan.
"Iya, Helsa bersediah jadi makmum untuk mas."
Mendengar jawaban tulus Helsa, Ryan segera melingkarkan cincin itu pada jari manis wanita yang sudah resmi menjadi calon istrinya.
"Mulai hari ini, mas janji untuk tangisan kamu itu adalah air mata bahagia."
Lalu Ryan menautkan keningnya pada kening Helsa, menyalurkan segala rasa bahagianya kepada wanita itu, mendekap kembali Helsa dalam pelukannya.
***
Vote dan komentarnya.
Terima kasih sudah baca cerita dokter tampan dan istri kecilnya. Cerita ini ada seri pertamanya guys.
Teman-teman bisa baca seri pertamanya di wattpad (Judul :AKMAL HELSA. Author :erllyndjosseph)
Sampai jumpah dipart selanjutnya.