Rawnie mencekal sebelah tangannya berusaha menahan.
"Jangan pergi, Ansel."
Jemari yang saling bertaut itu membuat hatinya perih. Pria itu menyesal karena menjadi alasan pertengkaran saat itu terjadi. Air mata yang tergenang dimatanya semakin membuat dirinya ingin memeluk erat dan membawa pergi Rawnie dari sini. Sekuat itu ia yakin Rawnie menyembunyikan kehancuran hati yang sebenarnya ia rasakan sekarang.
"Maaf, apa yang dikatakan Papamu memang benar. Seharusnya aku tidak terlalu lama tinggal di sini. Maafkan aku Rawnie, selama ini aku sudah banyak merepotkanmu."
Rawnie menggelengkan kepala, tidak sanggup untuk berkata.
"Sudah jangan menangis seperti itu. Kita masih bisa berbagi cerita denganku dengan telfon atau di tempat luar. Jangan sungkan untuk bercerita denganku, aku akan berusaha untuk menjadi pendengar terbaikmu."
"Banyak drama." Ansel melirik wanita yang berdiri sedekap menatap sinis dirinya.