Diederick van Devries mengajak Marysa V. Schyler ke rumahnya. Marysa tersenyum senang saat tiba di rumah keluarga van Devries. Semua jongos dan bedinde di rumah itu juga menyambut Marysa dengan senang hati. Mereka memperlakukan Marysa bak putri di istana. Begitu banyak makanan dan minuman enak yang tersedia di meja makan hanya untuk Marysa. Tuan mereka, Diederick, telah menyuruh para pekerja di rumahnya untuk membuat banyak kue dan makanan lain serta berbagai macam minuman untuk menyambut sang putri sebelum sang putri itu datang ke rumah keluarga van Devries.
Setelah tiba di rumah keluarga van Devries, Kathriena dan Holland mempersilahkan Marysa untuk masuk ke rumah mewah mereka. Dengan antusias, Marysa berlarian senang. Terlebih di atas meja makan sudah tersedia berbagai macam kue untuknya. Sementara itu Diederick meminta izin untuk pergi ke rumah keluarga Schyler untuk mengambil beberapa pakaian dan mainan Marysa beserta kenangan-kenangan, entah itu berbentuk foto ataupun hadiah ulang tahun yang diterimanya. Diederick memberikan beberapa gulden kepada semua jongos dan bedinde yang bekerja di rumah itu. Mereka semua akan dipulangkan ke kampung halaman masing-masing. Rumah keluarga Schyler pun akan dikunci rapat, namun tetap akan selalu dibersihkan. Lelaki itu menyuruh satu hingga dua orang untuk tetap menjaga dan merawat rumah peninggalan keluarga Schyler itu. Diederick berencana untuk memberikan kunci rumah kepada keluarga besar Schyler, entah itu di Hindia Belanda ataupun di Netherlands.
Diederick kembali ke rumahnya setelah semua urusan di rumah keluarga Schyler selesai. Ia mendatangi istri beserta Marysa yang masih berada di ruang makan.
"Lihatlah, Erick! Dia begitu bahagia," ucap Kathriena kepada Diederick yang tengah berdiri tak jauh dari Marysa.
"Kau betul, Kathrien. Aku tak menyangka jika Holland bisa membujuk Marysa untuk ikut ke rumah kita. Hebat sekali anak kita itu," puji Diederick.
"Ja, hebat seperti kau," puji Kathriena. Diederick menatap wanita itu sambil tersenyum manis ke arahnya. Lalu senyuman itu dibalas oleh Kathriena. Mereka kembali memandang Marysa yang tengah asik menghabiskan sebuah kue.
"Ngomong-ngomong, di mana Holland?" tanya Diederick.
"Aku tak tahu," balas Kathriena.
"Kau urus dulu Marysa, aku akan pergi menemui Holland," suruh Diederick.
"Baiklah." Kathriena pun mulai berjalan mendekati Marysa yang tengah asik memakan kue. Sementara itu, Diederick pergi ke kamar Holland dan menemukan Holland tengah duduk di meja belajarnya. Ia terlihat sedang menuliskan sesuatu di buku yang tak pernah dilihat Diederick.
"Sedang apa kau, Holland?" tanya Diederick sembari menghampiri Holland. Dengan cepat Holland menutup buku kesayangannya dan menaruh buku tersebut ke dalam laci.
"Aku tak melakukan apa-apa, Pa," balas Holland berbohong.
"Haha. Sejak kapan kau berbohong seperti itu anakku? Aku melihat dengan jelas jika kau tengah menuliskan sesuatu di buku yang kau sembunyikan itu. Apa yang kau tulis? Dan buku siapa itu? Sepertinya, Papa tak pernah melihat buku itu," tanya Diederick dengan heran.
"Aku hanya menuliskan apa yang aku lakukan hari ini. Buku ini adalah buku harianku. Mama lah yang telah memberikan buku harian ini kepadaku, saat hari ulang tahunku beberapa bulan yang lalu," jawab Holland sembari menunjukkan buku harian itu kepada Diederick.
"Baiklah. Kau simpan buku ini baik-baik," ucap Diederick. Holland mengangguk. Diederick pun pamit untuk kembali menemui istrinya. Ia kembali ke ruang makan dan melihat Kathriena, sang istri, tengah asik bercanda dengan Marysa.
"Sedang apa kalian?" tanya Diederick.
"Haha. Lihatlah, Erick! Wajah Marysa begitu kotor dengan krim dari kue ini," jawab Kathriena sembari tertawa.
"Lihatlah Tuan! Nyonya Kathrien lah yang telah melakukan ini," timpal Marysa sembari menunjukkan wajahnya yang terkena krim kue. Saat Diederick pergi ke kamar Holland, Kathriena datang mendekati Marysa yang asik memakan kuenya. Namun, ide jahil Kathriena pun muncul, ia mencolek sedikit krim putih yang ada di kue itu dan menempelkannya di hidung Marysa. Marysa pun merasa kesal dan ingin membalas perbuatan Kathriena. Namun ia gagal, Kathriena terlalu lincah untuk menghindarinya. Hingga tanpa disadari, Kathriena sudah mencolek krim kue dengan sangat banyak dan melemparkannya tepat di wajah Marysa. Alhasil, wajah Marysa pun penuh dengan krim kue.
"Haha. Sungguh jahil kau Kathriena," ucap Diederick yang mulai menertawakan tingkah kedua perempuan itu.
"Nyonya Kathriena bukan jahil, tapi jahat," adu Marysa yang kesal. Ia mulai menyilangkan tangannya di dada.
"Haha. Maafkan aku, Marysa. Aku janji tak akan mengulanginya lagi," ujar Kathriena sembari terus tertawa.
"Berhentilah tertawa, Nyonya dan Tuan van Devries! Tak perlu ada yang ditertawakan, semua ini tak lucu sama sekali!" omel Marysa sembari memajukan bibirnya.
"Haha. Apa kau melihat bibirnya itu, Kathriena? Dia seperti bebek." Diederick tertawa begitu puas saat melihat raut wajah Marysa. Semua orang yang berada di ruang makan itu pun terus menertawakan tingkah lucu Marysa. Tak terkecuali para jongos dan bedinde yang berada di ruang makan itu, mereka juga menertawakan tingkah Marysa. Semua orang dibuat bahagia karena tingkah lucunya.
Sementara itu di balik tembok, Holland tengah mengintip mereka dan ikut tersenyum melihat kejadian tersebut. Ia tak pernah melihat semua orang tertawa bahagia seperti itu termasuk orang tuanya. Holland tak pernah bisa membuat orang tuanya tertawa lepas setelah kepergian calon adiknya. Semenjak dimarahi Kathriena, Holland selalu menutup diri dan tak pernah lagi bertingkah lucu seperti Marysa. Ia tak pernah bisa melakukan itu semua. Dengan kehadiran Marysa, Holland merasa lega karena ibu yang sangat disayanginya itu sudah kembali seperti dahulu. Walaupun hatinya terasa sakit ketika melihat keakraban yang diciptakan antara Marysa dan orang tuanya, namun tak ada yang bisa ia lakukan untuk membuat keluarganya kembali berwarna. Anak perempuan itu satu-satunya secercah cahaya untuk kegelapan yang pernah melanda keluarga van Devries.
***
19/09/1941
Hari ini Tuan Albert akan pergi ke Netherlands. Tuan Albert menitipkan Marysa di rumah kami. Aku ikut senang, aku bisa bermain lebih lama bersama Marysa. Namun aku ikut sedih melihat Marysa yang tak mau ditinggalkan Tuan Albert. Kenapa Tuan Albert tak mengajak Marysa? Sebenarnya, seperti apa Netherlands itu? Aku dan keluargaku adalah bangsa Netherlands, tapi aku tak pernah menginjakkan kakiku di sana.
20/09/1941
Hari ini adalah hari paling menyedihkan untuk Marysa, sahabatku. Nyonya Evelien sudah meninggalkan kami beberapa bulan yang lalu. Tepat hari ini pula, Tuan Albert menyusul Nyonya Evelien. Kata Papa, kereta yang ditumpangi Tuan Albert terbakar hebat. Tak ada yang selamat. Papa menyembunyikan hal ini dari Marysa. Papa tak ingin melihat Marysa bersedih.
21/09/1941
Hari ini Marysa menangis tanpa henti. Marysa sudah tahu jika Tuan Albert sudah tidak bisa menemaninya lagi. Papa membawa Marysa, aku dan Mama ke sebuah kuburan dekat rel kereta. Di sana ada nama Tuan Albert. Marysa terus menangis hingga hujan turun. Anak itu begitu keras kepala, ia tak ingin pergi dari tempat itu. Aku takut Mary sakit karena hujan, aku menasehatinya dan dengan mudah, ia menurutiku. Kami membawanya ke rumah.
***
Bersambung...
[ CERITA INI HANYA FIKSI BELAKA. JIKA ADA KESAMAAN TOKOH, TEMPAT, KEJADIAN ATAU CERITA, ITU ADALAH KEBETULAN SEMATA DAN TIDAK ADA UNSUR KESENGAJAAN ]
Please, jangan lupa vote & comment. Karena vote & comment anda semua berarti untuk saya.