Chereads / Story of Holland / Chapter 21 - Duka Keluarga Schyler

Chapter 21 - Duka Keluarga Schyler

Keadaan darurat ini membuat Diederick menggunakan mobilnya agar cepat sampai di rumah sakit kota tempat dimana Evelien sedang dirawat. Setibanya di rumah sakit, Diederick dibuat terkejut dengan keadaan Evelien yang berbeda. Wajahnya begitu pucat, terlihat jelas tubuh Evelien yang kurus. Alat bantu pernapasan terpasang di hidungnya. Wanita itu melihat ke arah Diederick yang mengintip dari balik pintu ruang inap. Albert melarang Diederick dan Holland untuk masuk. Mereka berdua hanya bisa melihat Evelien dari balik pintu saja.

Miris melihat keadaan Evelien saat ini, Diederick tak sanggup untuk melihat. Ia memalingkan wajah saat Evelien mulai tersenyum ke arahnya. Air mata lelaki itu mengalir. Holland yang melihat ayahnya menangis hanya bisa terdiam. Ia tak tahu bagaimana keadaan Evelien di sana. Tubuh kecilnya tak mampu menjangkau kaca pintu yang terlalu tinggi. Ingin sekali ia melihat keadaan ibu Marysa itu, hendak meminta Diederick untuk menggendongnya, namun ia ragu saat melihat sang ayah menangis. Anak lelaki itu hanya diam di samping Diederick.

"Apa kau ingin melihat istriku, Holland?" tawar Albert tiba-tiba. Holland yang semula menunduk kini mendongakkan wajah ke arah Albert. Ia mengangguk pelan. Lalu Albert menggendong Holland agar anak lelaki itu bisa melihat keadaan Evelien dari balik pintu. Kali ini Evelien tengah memejamkan mata, terlihat jelas air mata yang mengalir dari samping matanya. Holland melihat hal itu dan meminta Albert untuk menurunkannya. Tiba-tiba saja Holland berlari menjauh dari Albert dan Diederick. Anak lelaki itu menanyai setiap orang yang ditemuinya, mencari tahu suatu tempat di rumah sakit. Tentu saja, Albert dan Diederick mengejar Holland, hingga mereka berhenti di sebuah tempat ibadah. Terlihat jelas kedua telapak tangan mungil Holland tengah mengepal. Ia sedang berdoa kepada Tuhan-nya.

"Tuhan. Tolonglah Nyonya Evelien. Aku tak mau melihatnya seperti itu. Jika benar Kau menyayanginya, tolong beri Nyonya Evelien kesehatan. Aku juga tak mau melihat sahabatku, Marysa, menangis. Aku sangat sedih melihat mereka seperti itu. Aku mohon Tuhan, sembuhkanlah Nyonya Evelien. Amin."

Melihat apa yang dilakukan Holland membuat Diederick dan Albert menangis haru. Terlebih Diederick yang tak mengetahui jika selama ini sang anak selalu berdoa kepada Tuhan-nya.

Tak lama Holland keluar dari tempat ibadah itu, ia melihat Albert dan Diederick sedang berdiri menunggunya. Albert berlari lalu mendekap Holland dengan erat.

"Terima kasih, Holland. Kau memang anak yang hebat," pujinya. Holland hanya tersenyum sembari membalas dekapan Albert. Diederick menghampiri mereka dan mengusap puncak kepala Holland sembari tersenyum bangga. Holland membalas senyuman sang ayah.

Setelah itu, Diederick dan Holland pamit pulang setelah mengantar Albert kembali ke ruang inap Evelien. Sementara itu, Albert akan pergi bekerja sebentar, lalu ia kan kembali lagi ke rumah sakit untuk menemani istrinya.

***

Hari ini cuaca sedang tidak bersahabat. Rintik hujan terlihat menghiasi kota Buitenzorg. Bau basah dari jalanan tercium menyengat. Beberapa orang dengan kulit putih, sebagian berambut pirang dan berhidung mancung tengah berkumpul di sebuah makam seorang wanita. Di sampingnya terlihat seorang gadis kecil menangis histeris. Hari ini Evelien Schyler berpulang ke pangkuan Tuhan Yang Maha Esa. Wanita itu sudah tidak tahan dengan sakit paru-paru yang dideritanya. Marysa, sang anak, tak kuasa menahan tangis. Albert hanya bisa memeluk erat Marysa, walaupun pipinya sudah basah dengan air mata. Lelaki itu juga merasakan kehilangan yang teramat dalam, sama seperti apa yang anaknya rasakan. Holland ikut menangis melihat betapa menyedihkannya keluarga itu. Sementara Kathriena menyandarkan kepala di pundak sang suami, Diederick. Tak ada yang tak menangis hari itu. Semua yang hadir di sana ikut larut dalam kesedihan.

Setelah sang pendeta selesai membacakan doa, beberapa dari mereka yang hadir menggunakan pakaian serba hitam pun pamit pulang kepada Albert. Lelaki itu hanya bisa mengangguk tanpa menjawab permintaan izin dari rekan-rekan kerjanya. Ia tak sanggup untuk memberikan sepatah dua patah kepada para pelayat yang datang. Kini tinggal keluarga van Devries sajalah yang menemani Albert dan Marysa. Kathriena mencoba menggendong Marysa dan mengajak anak perempuan itu menjauh dari makam ibunya. Marysa sempat menolak, namun akhirnya ia luluh juga. Ia sudah lelah setelah menangis beberapa jam sebelum ibunya dimakamkan. Diederick pun mencoba menenangkan Albert yang masih menangis dalam diam. Ia memeluk sahabatnya itu.

Holland masih tak mengerti dengan keadaan di sana. Ia belum mengerti arti kata 'meninggal'. Ia belum pernah merasakan ataupun melihat hal seperti itu. Ini adalah kali pertamanya melihat seseorang dimasukkan ke dalam peti serta dikuburkan di dalam tanah. Sepanjang perjalanan pulang, Holland mempertanyakan semua hal yang ia lihat tadi. Dengan sabar, Diederick memberitahu Holland tentang penyebab perginya Evelien. Kathriena juga ikut menjelaskan bagaimana seseorang bisa meninggal. Holland langsung mengerti dengan semua penjelasan dari kedua orang tuanya. Semua penjelasan dari Diederick dan Kathriena dapat dicerna oleh otak anak lelaki itu. Ia mulai memikirkan banyak cara untuk membuat Marysa tak bersedih lagi. Ia tahu pasti anak itu akan sangat sedih dan akan terus menangis.

***

Dua hari setelah meninggalnya Evelien, keluarga van Devries memutuskan untuk berkunjung ke rumah besar keluarga Schyler. Mereka ingin tahu bagaimana keadaan Marysa dan Albert. Mereka dibuat cukup terkejut dengan apa yang terjadi di keluarga itu. Marysa terlihat sedikit lebih kurus dari sebelumnya. Albert bercerita bahwa Marysa tidak mau makan jika Evelien tak kembali. Marysa menangis dan berteriak memanggil mamanya. Padahal Albert sudah berusaha memberitahu anak itu jika Evelien sudah tenang di surga sana. Namun tetap saja, Marysa hanyalah anak kecil yang belum mengerti apa-apa.

Sementara itu, Holland menghampiri Marysa di kamar. Ia melihat Marysa yang tengah disuapi makan oleh bedindenya.

"Mary!" panggil Holland sembari berjalan mendekatinya.

"Apa kabarmu?" tanyanya. Marysa hanya diam sembari terus menolak satu sendok berisi nasi beserta lauk pauknya yang disodorkan sang bedinde.

"Bibi, tolong izinkan aku untuk memberi makan anak menyebalkan ini," pinta Holland kepada bedinde itu. Tentu saja permintaannya disetujui, wanita itu memberikan sepiring nasi milik Marysa kepada Holland. Lalu ia izin pamit pergi ke dapur.

"Apa kau tidak lapar?" tanya Holland. Marysa menggeleng cepat.

"Baiklah, biar aku saja yang makan." Tak disangka, Holland menyuapkan satu sendok nasi ke mulutnya. Ia mengunyah makanan itu dengan nikmat.

"Hhhmm … betapa enak makanan ini, sayang sekali jika tidak dihabiskan," ujar Holland. Ia mencoba membuat Marysa goyah. Memang gadis itu tengah menahan rasa laparnya, ia hanya ingin makan jika Evelien yang menyuapi.

Tiba-tiba saja terdengar sebuah suara dari suatu tempat. Suara yang sangat jelas terdengar ketika kamar Marysa hening.

"Suara apa itu? Apa itu suara perutku? Oh ya, aku belum makan dari kemarin," sindir anak lelaki itu. Ia berhasil memasukkan suapan nasi kedua ke dalam mulutnya.

"Hhmm … Ah, lihat! Ada ayam goreng kesukaanku," ucapnya sembari memegang satu buah paha ayam goreng. Marysa yang sangat menyukai ayam goreng langsung mengambil piring nasi beserta ayam goreng yang dipegang Holland. Lalu anak perempuan itu memakannya dengan lahap.

"Haha … Kau lapar ya, Mary? Apa kau tergoda dengan apa yang aku ucapkan? Lemah sekali kau!" ejek Holland. Marysa hanya menatap sinis Holland untuk membalas ejekannya. Holland tersenyum senang, ia merasa bangga atas apa yang ia lakukan kepada sahabatnya itu.

"Aku kemari untuk menghiburmu, Mary. Aku membawakan kue kesukaanmu." Holland memberikan sebuah bingkisan kue yang dibawanya. Ia sengaja meminta Kathriena untuk membuatkan kue itu. Marysa mengambil kue pemberian Holland dan menaruh kue itu di sampingnya. Lalu ia kembali melahap ayam goreng yang ia pegang.

"Setelah ini, mari kita bermain!" ajak Holland. Namun Marysa menggeleng.

"Aku sedang tidak ingin bermain, Holland. Aku tidak ingin bertemu siapapun. Tolong biarkan aku sendiri." jawabnya. Lalu ia pergi keluar kamar, meninggalkan Holland sendirian di sana. Holland pun kembali kepada kedua orang tuanya dengan wajah muram. Kathriena menanyai penyebab wajah muram Holland, tentu saja Holland menceritakan apa yang ia bicarakan dengan Marysa. Albert meminta maaf atas apa yang Marysa ucapkan kepada anak lelaki itu.

"Apakah kami boleh membawa Marysa ke rumah kami? Mungkin saja ia akan merasa senang jika aku membuatkan kue yang banyak untuknya," tawar Kathriena.

"Tentu saja boleh, Kathriena. Aku sangat mengizinkannya. Namun apa kau yakin dia akan mau ikut denganmu? Aku sempat mengajak Marysa ke rumah kalian kemarin sore, ia menolak. Ia sedang tidak ingin kemana-mana dan benar yang Holland katakan tadi, ia tak ingin bertemu siapapun." Penjelasan yang Albert berikan membuat Kathriena mengurungkan niatnya untuk membawa Marysa ke kediaman keluarga van Devries. Padahal Kathriena hanya berniat untuk membuat Marysa kembali ceria.

Bersambung...

[ CERITA INI HANYA FIKSI BELAKA. JIKA ADA KESAMAAN TOKOH, TEMPAT, KEJADIAN ATAU CERITA, ITU ADALAH KEBETULAN SEMATA DAN TIDAK ADA UNSUR KESENGAJAAN ]

Please, jangan lupa vote & comment. Karena vote & comment anda semua berarti untuk saya.