Tak ada jalan keluar untuk permasalahan yang tengah dihadapi keluarga Schyler. Marysa kembali menangis histeris setelah melihat wajah Kathriena. Anak perempuan itu merasa jika Kathriena memiliki sifat yang sama seperti Evelien. Kasih sayang dan perhatian yang Kathriena berikan kepada Marysa tak jauh berbeda dengan apa yang diberikan mama tercintanya. Keluarga van Devries pun memutuskan kembali pulang ke rumah dengan kesedihan. Mereka sedikit merasa bersalah karena tidak bisa menghibur Marysa yang terus menerus merasa sedih.
***
Dua minggu lebih setelah kejadian itu, Marysa kembali ceria. Ia sudah mau diajak untuk berkunjung ke rumah keluarga van Devries. Bahkan ia siap untuk menginap di sana. Ia sangat senang saat Kathriena membuatkan banyak kue untuknya. Banyak hal yang ia lakukan bersama Kathriena dan Holland. Sementara Diederick dan Albert tengah sibuk bekerja.
"Holland, Marysa! Kuenya sudah jadi," seru Kathriena kepada kedua anak itu. Ia membawa sebuah nampan berisikan kue yang baru saja matang beserta dua gelas susu hangat.
"Aku mau kue!" teriak Marysa sembari berlari mendekati Kathriena. Disusul oleh Holland di belakangnya. Mereka berdua mengambil kue itu lalu duduk di kursi taman belakang rumah keluarga van Devries.
"Hhhmm … Kue ini sangat enak Nyonya, bolehkah aku meminta lagi?" pinta Marysa.
"Huuu …, kau ini, Mary. Selalu saja ingin menambah kuenya. Jika terlalu banyak memakan kue, perutmu akan cepat membesar dan kau akan terlihat jelek!" ejek Holland sembari menjulurkan lidah.
"Mengapa kau selalu mengejekku, Holland?" tanya Marysa yang mulai kesal.
"Kau memang pantas diejek, Marysa."
"Kau selalu saja seperti itu, aku kan ...."
Kathriena merasa percakapan kedua anak itu semakin lama semakin panas, mereka akan saling mengejek dan pada akhirnya Marysa lah yang menangis kesal. Tak mau hal itu terjadi, ia segera memotong percakapan mereka, "Sudahlah! Kalian jangan bertengkar, aku tak ingin ada yang menangis hari ini."
Marysa dan Holland sama-sama diam, mereka menuruti ucapan Kathriena. Mereka kembali mengambil kue dan memakannya, lalu meminum susu hangat yang sedari tadi belum mereka sentuh. Melihat keadaan anak-anak yang mulai tenang, Kathriena memutuskan untuk kembali ke dapur. Ia akan mengambil kue lain yang dibuatnya, namun tiba-tiba saja ia terjatuh. Kaki Kathriena menyandung sebuah mobil mainan milik Holland yang terbuat dari kayu. Mobil mainan itu tergelatak begitu saja di rumput taman belakang rumah. Kathriena meringis kesakitan, perutnya yang tengah mengandung tiga bulan terbentur tanah berumput yang cukup keras.
Holland dan Marysa segera mendekati Kathriena dan menanyai keadaannya. Kathriena tak menjawab, ia terus meringis kesakitan. Marysa pun memanggil seorang bedinde untuk melihat keadaan Kathriena. Bedinde itu panik, ia memanggil seorang jongos dan menyuruhnya untuk membawa sang nyonya ke rumah sakit terdekat. Setibanya di rumah sakit, kandungan Kathriena dikabarkan telah keguguran. Benturan yang ia alami ternyata cukup keras, membuat sang janin meninggal dunia.
Kabar buruk itu pun telah sampai di telinga Diederick. Seorang jongos yang mengantar Kathriena ke rumah sakit telah memberitahunya. Pekerjaan pentingnya pun ia tinggal. Padahal saat itu, ia tengah mengadakan pertemuan dengan beberapa orang ternama. Namun ia rela meninggalkan pekerjaannya demi sang istri. Setibanya di rumah sakit, ia menanyakan hal itu kepada dokter yang merawat Kathriena. Dokter itu membenarkan kabar yang ia dengar. Tubuh Diederick lemas seketika, ia tak dapat menyeimbangkan tubuhnya hingga ia hampir terjatuh. Untung saja seorang jongos yang berada di belakangnya masih bisa menahan tubuh Diederick.
Diederick berlari mencari kamar inap Kathriena. Setelah bertemu, mereka berpelukan dan menangis bersama. Kathriena menjerit histeris, meratapi dirinya yang kembali merasakan kehilangan. Ini adalah kesekian kalinya ia harus merasakan sakitnya ditinggalkan orang yang ia sayangi. Sementara Diederick hanya bisa terdiam dengan air mata yang mengalir. Rahangnya mengeras, menahan semua rasa sakit yang sama seperti yang istrinya rasakan.
Kejadian hari ini akan menjadi malapetaka untuk kehidupan keluarga van Devries selanjutnya. Kathriena menjadi kalut karena peristiwa kematian yang terus menimpanya. Dimulai dengan kepergian sang ayah kandung, bahkan jauh sebelum ia dilahirkan. Kemudian disusul oleh sang ibu angkat yang telah membesarkannya. Evelien Schyler, ibu dari Marysa yang sudah dianggap saudara sendiri oleh Kathriena juga pergi meninggalkannya. Tepat hari ini pula, kejadian menyakitkan itu terulang. Bagaimana ia tidak kalut dengan semua kejadian pedih yang dialaminya? Kathriena terus menangis, bahkan ia mulai depresi. Terpaksa Diederick membiarkan Kathriena dirawat sementara di rumah sakit. Ia tahu kondisi istrinya saat ini sedang tidak stabil. Kathriena akan dirawat hingga tiga hari kedepan.
Setelah keadaan Kathriena membaik, barulah ia diperbolehkan pulang. Namun tetap saja, air mata Kathriena terus mengalir. Setibanya di rumah ia segera masuk ke kamar dan mengurung diri. Holland yang melihat Kathriena sudah pulang pun segera mengejarnya ke kamar.
"Mama!" serunya pelan sembari membuka pintu kamar Kathriena. Kathriena terlihat tengah menangis sesenggukan. Holland mencoba mendekati Kathriena dan kembali memanggilnya.
"Mama!"
"PERGI! Pergi kau, anak sialan! Semua ini salahmu, anakku mati karena ulahmu! Pergi kau dari hadapanku!" Kathriena kembali histeris, ia memukuli Holland dan berkata kasar kepada anak itu. Holland menangis kesakitan. Kathriena mencengkeram tangan kecil Holland, serta memukuli kepala dan punggung anaknya.
Mendengar suara gaduh dari kamar Kathriena, Diederick dan beberapa pekerja di rumah keluarga van Devries segera berlari memasuki kamar itu. Diederick mencoba melepaskan cengkeraman tangan Kathriena lalu memeluk istrinya dengan erat. Sementara Holland diajak keluar kamar oleh seorang bedinde bernama Minah.
Holland menangis kesakitan, kepalanya mulai terasa pusing, punggungnya pun sedikit membiru. Pukulan yang diberikan Kathriena tidaklah main-main, ia benar-benar memukul anaknya dengan penuh amarah. Ia menyalahkan Holland atas kematian sang janin. Kecerobohan Holland yang membiarkan mobil mainannya berserakan menjadi alasan Kathriena menyalahkannya. Kathriena mulai membenci Holland, ia sudah tak menganggap Holland anaknya. Bahkan saat Holland mencoba mengajak bermain, ia menolak dan memarahinya. Anak itu mencoba tegar, ia menahan tangisnya. Holland mencoba untuk tak terlihat lemah di hadapan Kathriena dan Diederick. Sang ayah hanya bisa memberi tahu Holland untuk tidak menganggu Kathriena. Tak banyak yang bisa lelaki itu lakukan untuk memperbaiki kondisi istrinya. Ia juga sudah kebingungan, merasa tak ada jalan keluar untuk masalah yang dihadapinya saat ini.
Marysa, anak itu menjadi penerang dalam keluarga van Devries. Ia selalu membawa keceriaan. Kathriena yang semula muram dan terus menangis akhirnya kembali tersenyum setelah bertemu Marysa. Tingkah Marysa yang lucu dan menggemaskan memang dapat mengembalikan hati yang tengah bersedih. Cuma ia satu-satunya yang bisa membuat Kathriena tertawa. Holland dan Diederick tak dapat melakukan itu. Perlahan tapi pasti, keadaan Kathriena sudah mulai membaik. Ia sudah jarang menangis. Namun kebenciannya terhadap Holland tak kunjung hilang, ia masih menyalahkan Holland atas kematian sang anak kedua.
Bersambung...
[ CERITA INI HANYA FIKSI BELAKA. JIKA ADA KESAMAAN TOKOH, TEMPAT, KEJADIAN ATAU CERITA, ITU ADALAH KEBETULAN SEMATA DAN TIDAK ADA UNSUR KESENGAJAAN ]
Please, jangan lupa vote & comment. Karena vote & comment anda semua berarti untuk saya.