Chereads / Story of Holland / Chapter 2 - Kehidupan Sophieke Veerle

Chapter 2 - Kehidupan Sophieke Veerle

Aku sangat bahagia saat melihat sahabatku, Saartje Vandenberg sudah menikah dengan seorang lelaki, anak dari pemilik perkebunan teh, Theodorus Koenraad.

Saat ku lihat di depan altar gereja, Saartje begitu cantik dan terlihat sangat bahagia. Begitupun dengan Theo yang sangat tampan. Ah, ingin rasanya aku memiliki kekasih seperti Theo. Namun apakah ada lelaki setampan Theo yang ingin mendekati seorang gadis pribumi sepertiku?

Rasa-rasanya, hal itu tak akan mungkin pernah terjadi. Beberapa kali Saartje berusaha untuk mencarikanku lelaki tampan dan kaya, namun beberapa kali pula mereka menjauhiku.

Aku sadar, wajahku memang tak secantik Saartje, tinggiku pun tak setinggi tubuhnya dan kulitku tak seputih kulitnya. Aku hanya seorang gadis pribumi yang memiliki banyak kekurangan.

Ah, mungkin saja Tuhan memiliki rencana lain untuk hidupku kedepannya. Mungkin juga Tuhan telah memilihkan lelaki terbaik untukku nanti. Aku tak ingin memusingkan itu.

Melihat Saartje menikah saja itu sudah cukup membuatku bahagia. Saartje sudah ku anggap sebagai adikku sendiri. Umur kami hanya terpaut dua tahun saja.

Saat pertama kali bertemu dengannya, ia begitu sombong dan angkuh. Ku pikir, dia adalah seorang gadis Netherlands yang sombong sama seperti gadis Netherlands lainnya.

Saat itu, aku dan ambu tengah memetik daun teh. Oh iya, aku biasa menyebut ibuku dengan sebutan ambu. Ambu adalah seorang pemetik daun teh yang bekerja di perkebunan teh milik keluarga van Devries.

Ambu selalu membawa hasil petikan tehnya ke pabrik teh yang tak jauh dari kebun. Pabrik teh itu milik keluarga Vandenberg, di sanalah aku bertemu dengan Saartje.

Ia terlihat tengah bermain dengan bonekanya. Aku terus menatap Saartje, berharap ia menyadari kehadiranku. Aku berdiri tak jauh dari tempatnya duduk.

Aku sangat ingin bermain dengan gadis berambut pirang itu. Ambu terus memanggil-manggil namaku, namun aku tak mempedulikan teriakan ambu. Aku terus menatap Saartje hingga ia menolehkan wajah ke arahku. Aku tersenyum manis, ia malah membalasku dengan tatapan sinis.

Perlahan ia berdiri lalu meninggalkanku, namun entah mengapa, aku malah mengikuti.

"Untuk apa kau mengikutiku?" tanya Saartje saat ia tersadar jika aku tengah mengikutinya.

Aku tersenyum, lalu membalas, "Aku hanya ingin berteman denganmu."

"Aku tak sudi memiliki teman sepertimu. Lihatlah, wajahmu begitu aneh. Kau seperti orang Netherlands, tapi aku tahu jika kau adalah seorang inlander. Pakaian yang kau kenakan itu begitu jelek. Keringat yang berada di dahimu itu juga membuatku jijik."

Aku terkejut mendengar ucapannya, namun aku tetap mencoba untuk terus tersenyum.

"Namaku Kathriena, kau boleh memanggilku Kathrien. Siapa namamu?" tanyaku sembari mengulurkan tangan.

"Aku tak peduli siapa namamu. Pergi sana! Jangan ganggu aku," ucapnya lalu pergi meninggalkanku.

Dia masuk ke dalam pabrik teh itu. Dengan kecewa, aku kembali ke ambuku lalu membantunya untuk memetik daun teh. Aku menceritakan hal itu kepada ambu.

"Dia adalah anak pemilik pabrik teh itu, Kathrien. Namanya Nona Saartje. Dia memang anak yang terlihat sombong dan angkuh. Tapi Ambu yakin, dia adalah anak yang baik hati," ujar ambu sembari terus memetik daun teh.

"Aku ingin berteman dengannya, Bu," kataku.

Ambu terkejut mendengar keinginanku ini. Ia berhenti memetik daun teh lalu berpaling ke arahku sembari memegang kedua pundakku.

"Dengar! Kau boleh berteman dengan siapapun, asalkan dia memang baik. Kau juga boleh berteman dengan Nona Saartje, asalkan kau harus selalu menghormatinya, sekalipun jika suatu saat nanti ia akan menjadi teman atau bahkan sahabatmu," tutur ambu menasehati.

Aku hanya tersenyum dan menganggukkan kepala saja. Ambu membalas senyumanku lalu ia kembali memetik daun teh.

Ambu Aryanti adalah ibu terbaik untukku. Ia selalu memberikan nasihat terbaiknya. Aku sangat bangga memiliki ambu. Walaupun sesungguhnya, ambu Aryanti bukanlah ibu kandungku.

Ambu pernah bercerita jika aku masih memiliki ibu kandung namun ambu bilang bahwa aku tak boleh mengetahui lebih banyak tentang siapa dan dimana ibuku itu. Selain itu, Ambu juga bercerita bahwa ayahku sudah meninggal dunia jauh sebelum aku terlahir.

Namun ambu tak pernah menceritakan bagaimana ayahku meninggal, juga tak pernah bercerita bagaimana sosok ibu kandungku. Setiap aku bertanya, ambu selalu menutupinya dengan banyak alasan.

Entah apa yang membuat ambu tak mau bercerita, mungkin saja memang belum saatnya aku mengetahui hal sepenting itu. Mungkin juga suatu saat nanti ambu akan menceritakannya kepadaku tanpa aku pinta, ya mungkin saja.

***

Sophieke Veerle, gadis keturunan Belanda-Jerman yang lahir di Batavia ini adalah anak dari Letnan Jenderal Sebastiaan Veerle, yang tengah ditugaskan di negeri jajahan bangsanya ini. Ibunya, Liesbeth Veerle, adalah wanita keturunan Jerman yang sudah lama menetap di Batavia, Ibukota Hindia Belanda yang sekarang disebut Jakarta.

Sophie, begitulah biasanya ia dipanggil. Sophie adalah anak perempuan satu-satunya di keluarga Veerle. Kakaknya, Bleecker Veerle, memilih untuk tinggal di Belanda bersama omanya.

Berbeda dengan Sophie, Bleecker lahir di Den Haag, Belanda, tempat yang sama saat omanya melahirkan ayah mereka.

Sebastiaan dan Liesbeth Veerle sudah berkali-kali mengajak Sophie ke Belanda dan menyuruh Sophie untuk melanjutkan pendidikan di sana, namun Sophie menolak dan memilih untuk menetap bersama kedua orang tuanya.

Padahal pasangan Veerle sudah berusaha untuk tidak mengizinkan anak perempuannya tinggal terlalu lama di Hindia Belanda ini. Sophie sangatlah keras kepala, apapun yang ia katakan harus dilaksanakan dan tak ada yang boleh menentangnya.

Bukan tanpa alasan Sophie ingin tetap tinggal di Hindia Belanda, seorang inlander atau pribumi tampan berhasil memikat hatinya. Jaka Widjaja, dialah yang telah berhasil mencuri hati Sophieke Veerle.

Jaka bukanlah seorang lelaki yang kaya raya, dia hanyalah seorang pribumi yang bekerja sebagai buruh angkut barang. Upah yang selalu ia dapat masih tak cukup untuk memenuhi kehidupannya. Apalagi sekarang ia hanya tinggal sendiri.

Sudah tiga tahun Jaka menetap di Batavia. Semua keluarga Jaka berada di Bandoeng dan dia tak mampu untuk kembali ke sana.

Ia lahir di suatu desa terpencil di Bandoeng dan memutuskan untuk mencari pekerjaan ke kota. Alih-alih mendapatkan pekerjaan, Jaka malah ditipu oleh seorang londo yang menjanjikan kekayaan kepadanya. Jaka dikirim ke Batavia dan ditelantarkan di sana. Sejak saat itu, Jaka tak ingin mempercayai orang-orang londo yang menjajah negerinya ini.

Demi mendapatkan uang dan keinginannya untuk kembali ke kampung halaman, Jaka memutuskan untuk mencari pekerjaan kecil di Batavia. Hanya sebagai buruh angkut baranglah yang bisa ia jadikan sebuah mata pencaharian.

Sedikit demi sedikit upah yang ia dapat ditabungkan. Namun setelah bertemu dengan Sophie, perlahan ekonomi dan kebutuhan Jaka terbantu. Sophie selalu memberikan beberapa gulden kepada Jaka dan dengan senang hati Jaka menerima pemberian Sophie.

Tak pernah sekalipun Jaka menolak pemberian kekasihnya itu. Walaupun uang yang ia butuhkan untuk kembali ke Bandoeng sudah terkumpul, namun Jaka tak bisa kembali ke kampung halamannya. Sophie tak mengizinkannya pergi walaupun hanya satu hari, Sophie tak ingin Jaka pergi jauh meninggalkannya. Gadis keturunan Belanda-Jerman itu benar-benar sudah tergila-gila dengan Jaka.

Sophie merasa berhutang budi kepada Jaka yang telah menyelamatkan nyawanya. Saat itu Sophie tengah berjalan pulang menuju rumah, ia baru saja berkunjung ke rumah seorang teman. Sophie memang jarang menggunakan sado ataupun kendaraan milik keluarganya. Ia sangat suka sekali berjalan kaki.

Kebetulan hari itu sudah malam dan udara malam semakin lama semakin terasa menusuk tulang. Sophie mulai kedinginan dan terus berjalan sembari menggosokan kedua telapak tangan, berharap gosokan telapak tangannya memberikan sedikit kehangatan.

Sophie berjalan sangat pelan dan tanpa ia sadari, ia melewati sekumpulan anak muda pribumi yang tengah mengadakan pesta mabuk-mabukan. Mereka memanggil dan mengajak Sophie untuk bergabung.

Sophie tidak menghiraukan ajakan para pemuda itu. Mereka kesal, tiga orang dari mereka menghampiri Sophie lalu mencengkeram lengan Sophie dengan sangat keras. Sophie meringis kesakitan dan terus menerus berteriak meminta tolong. Namun percuma saja, saat itu jalanan begitu sepi tanpa ada seorang pun yang berlalu lalang.

Sophie mencoba memberontak, namun tiga anak muda itu malah semakin keras mencengkeram lengan Sophie. Mereka menarik paksa Sophie untuk menemani mereka. Sophie pun dibawa lalu dikelilingi oleh beberapa pemuda yang tengah mabuk itu.

Salah seorang dari mereka mengeluarkan pisau lalu mengancam Sophie agar tidak menolak permintaan mereka. Sophie hanya bisa mengangguk pasrah dan terus menangis. Sang pahlawan yang kebetulan melewati jalanan itu mendengar suara tangisan seorang gadis diantara para pemuda. Dengan gagah, sang pahlawan bernama Jaka itu menghampiri mereka.

Jaka menghajar semua lelaki muda itu hingga mereka kesakitan. Karena takut, mereka pergi meninggalkan Jaka dan Sophie di sana.

Sophie yang melihat aksi Jaka langsung memeluk Jaka dan berterima kasih karena telah menyelamatkan hidupnya. Mungkin saja jika tak ada Jaka saat itu, hidup Sophie akan hancur dan ia akan mati karena mengakhiri hidupnya.

Semenjak aksi kepahlawanan yang Jaka lakukan, Sophie sering mencari Jaka dan mengajak Jaka untuk berjalan-jalan bersama. Sophie juga sering sekali membantu ekonomi Jaka yang memang benar-benar serba kekurangan. Perlahan tapi pasti, rasa cinta itu timbul. Hingga akhirnya mereka resmi menjalin suatu hubungan spesial yang tak diketahui oleh siapapun.