Chereads / Story of Holland / Chapter 3 - Dimulainya Sebuah Penderitaan

Chapter 3 - Dimulainya Sebuah Penderitaan

"Jaka, aku ingin kau segera menikahiku!" pinta Sophie sembari menggelayut manja di lengan kanan Jaka.

Jaka terkejut mendengar permintaan Sophie. Bagaimana tidak? Jaka dan Sophie sudah menjalin kasih selama dua tahun dan Jaka tak pernah bertemu dengan kedua orang tua Sophie. Jaka sangat tahu jika keluarga Veerle adalah keluarga yang sangat terhormat, tak mungkin kedua orang tuanya akan menerima seorang inlander seperti Jaka.

"Mana mungkin aku bisa menikahimu. Aku yakin, orangtuamu tak akan setuju dengan pernikahan kita," balas Jaka dengan raut wajah sedih.

"Kau tenang saja, Jaka. Mereka akan menerimamu dan aku sendiri yang akan memaksa mereka agar aku bisa menikah denganmu," ucap Sophie meyakinkan Jaka.

Dengan ragu, Jaka mengangguk lalu tersenyum simpul ke arah Sophie. Dia tidak ingin ambil pusing dengan permintaan sang kekasih. Jaka sangat tahu bahwa pernikahan mereka adalah suatu hal yang sangat mustahil.

Namun...

Keesokan harinya, Sophie memutuskan untuk berbicara dengan orangtuanya. Dia mendekati mereka yang tengah asik memakan sarapan di ruang makan.

"Mama, Papa, aku ingin kalian menuruti keinginanku. Untuk kali ini saja," tutur Sophie hati-hati.

"Apa itu, Sayang?" tanya Sebastiaan dengan lembut. "Katakan saja keinginanmu."

Sophie terdiam sejenak. Ada keraguan di dalam dirinya. Dia juga menyadari jika menikah dengan Jaka adalah hal yang mustahil dilakukan. Namun dia sangat mencintai lelaki itu dan ingin segera menikah dengannya.

Dengan tertunduk malu, dia berkata, "Hhhmm... Aku… Aku ingin menikah!"

Sebastiaan dan Liesbeth saling berpandangan, mereka tersenyum dan mengangguk.

"Mama dan Papa juga ingin segera memiliki cucu," balas Liesbeth sembari mengusap puncak kepala Sophie. Sophie tampak begitu senang.

"Kita sudah siapkan calon suami untukmu, Sophie."

Senyum manis Sophie memudar ketika dia mendengar perkataan ayahnya.

"Nee, Papa! Nee! Aku sudah memiliki kekasih dan aku ingin menikah dengannya!" ungkap Sophie dengan jujur. Kedua orang tuanya mengernyitkan kening.

"Wie? Kenapa kau tidak mengenalkan dia kepada kami?" Liesbeth bertanya.

"Aku takut jika Mama dan Papa tak menyetujui hubungan kami."

"Siapa dia? Apa pekerjaannya? Siapa orang tuanya?" tanya Sebastiaan dengan nada meninggi.

"Dia Jaka Widjaja, inlander yang bekerja sebagai buruh angkut barang. Aku tidak tahu orang tuanya," ucap Sophie sembari menunduk. Ia tak berani untuk menatap kedua orang tuanya.

Tamparan keras harus diterima oleh Sophie. Liesbeth sudah tersulut emosi, ia tak dapat menahannya lagi. Untuk pertama kali, ia mengangkat tangan lalu mendaratkannya di pipi sang anak. Sophie hanya bisa menangis sembari memegangi pipinya yang perih dan panas akibat tamparan itu.

Tanpa rasa kasihan, Liesbeth menarik rambut Sophie dengan kasar.

"Doet pijn, Ma," lirih Sophie sambil meringis.

"Jauhi dia sekarang! Mama tak mau kau menjalin kasih dengan inlander itu!" bentak Liesbeth.

Sophie berusaha untuk melepaskan tangan Liesbeth dari rambutnya sembari berkata, "Aku mencintainya, Ma. Aku tak mungkin bisa melepas dia. Cinta kita sama-sama besar, tak ada yang bisa memisahkan kita."

Tamparan keras untuk kedua kalinya diterima Sophie, namun tamparan itu bukan dari tangan Liesbeth, melainkan dari tangan Sebastiaan. Ia sangat tidak suka jika anaknya menentang perkataan ibunya.

"Jangan kurang ajar kau, Sophie! Kami bisa memberikanmu benda apapun yang kau mau, tapi untuk hal ini, biar kami yang menentukan!" bentak Sebastiaan dengan nada yang semakin meninggi.

"Aku ingin tetap menikah dengan Jaka!" teriak Sophie.

Mendengar itu, Sebastiaan kembali melayangkan tangannya.

"Silahkan Papa tampar Sophie sepuas hati Papa, tapi Papa jangan berharap jika Sophie akan berubah pikiran!"

Sophie pergi meninggalkan kedua orang tuanya yang mematung. Mereka tak menyangka jika putri mereka akan berkata kasar seperti itu.

Liesbeth hanya bisa menangis dipelukan Sebastiaan.

"Seharusnya kita tidak memanjakan dia. Seharusnya dia dididik oleh Ibumu agar dia bisa menjadi anak yang tidak keras kepala seperti sekarang ini," ucap Liesbeth disela tangisnya.

Sebastiaan hanya diam saja. Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan saat ini. Semua terjadi begitu saja dan tanpa ia sadari, air matanya mengalir. Baru kali ini Sebastiaan mengeluarkan air mata. Semenjak diangkat sebagai Letnan Jenderal, Sebastiaan tak pernah menangis. Ia selalu menjaga wibawanya sebagai seorang pemimpin.

Sophie pergi ke rumah Jaka lalu meminta sang kekasih untuk segera menikahinya. Jelas saja Jaka menolak. Menurutnya permintaan Sophie terlalu terburu-buru. Ia tidak bisa menikahinya tanpa restu orang tua. Namun Sophie terus memaksa Jaka untuk menikahinya. Tentu saja Jaka tak henti menolak, lelaki itu tak ingin membuat kedua orang tua Sophie murka kepadanya.

Ia ingin pernikahan pertamanya berjalan lancar tanpa siapapun yang menentang pernikahan mereka. Namun Sophie tak mengerti akan hal itu.

Lama kelamaan Sophie kesal dengan tingkah Jaka yang tak ingin menuruti keinginannya. Ia mengambil pisau dapur milik Jaka dan hendak memotong urat nadi. Jaka terkejut dan menahan Sophie.

"Jangan, Sophie. Jangan lakukan itu!"

"Jika kau tak ingin melihatku mati, segeralah menikah denganku!" ancam Sophie.

Jaka terdiam sembari menunduk. Lalu berkata, "Orang tuamu tidak menyetujui hubungan kita dan aku hanyalah…."

"Genoeg, Jaka. Aku tak ingin mendengar alasan apapun, aku hanya ingin kita segera menikah!"

"Tapi Sophie…."

Tiba-tiba saja segerombolan orang Belanda dengan pakaian prajuritnya datang memaksa Sophie untuk segera pulang ke rumah, sementara itu Jaka berlari meninggalkan mereka. Sophie terus berteriak-teriak memanggil Jaka, namun Jaka terus berlari tanpa mendengarkan teriakan Sophie.

Sophie dibawa ke rumah orang tuanya oleh segerombolan orang Belanda itu. Ternyata mereka adalah suruhan Sebastiaan.

Sebastiaan sengaja menyuruh mereka untuk mencari putrinya dan membawa sang putri ke rumah. Dia begitu kesal dengan ulah Sophie yang mulai tak menghormati keputusan orang tuanya. Akhirnya Sophie dikurung di dalam gudang tanpa diberi makan dan minum selama tujuh hari.

Tubuh Sophie begitu kurus dan penampilannya pun berantakan. Tak seperti Sophie yang dulu. Setelah hari ketujuh, Liesbeth dan Sebastiaan memutuskan untuk mengeluarkan Sophie dari dalam gudang. Mereka merasa kasihan dengan putrinya yang begitu kekurangan asupan gizi.

Lalu dengan sabar, Liesbeth menyuapi Sophie makanan sedikit demi sedikit. Sophie terus menerus melamun dan terlihat tak bergairah untuk makan. Hanya beberapa suap makanan saja yang ia telan. Sisanya, ia muntahkan.

"Kenapa kalian memberiku makan? Biarkan saja aku mati," kata Sophie tiba-tiba. Liesbeth dan Sebastiaan terkejut mendengar perkataan Sophie.

"Jangan seperti itu, Sophie! Kami ini orang tuamu," balas Sebastiaan dengan nada tinggi.

"Jika kalian orang tuaku, seharusnya kalian tidak memperlakukanku seperti ini!"

Lisbeth geram mendengar ocehan putrinya. Dia membalas, "Jika saja kau tak membentak dan membantah keinginan kami, kau tak akan seperti ini. Berhentilah untuk berbuat hal menjijikkan seperti satu minggu lalu! Kau ini bukan inlander, Sophie! Kau adalah gadis keturunan Netherlands yang seharusnya tidak mencintai seorang inlander."

"Baiklah jika itu keinginan kalian, kalian boleh menikahkanku dengan lelaki manapun. Namun apakah ada lelaki yang ingin menikah dengan putri kalian yang kurus kering seperti ini?" tanya Sophie dengan tatapan tajam.

Liesbeth dan Sebastiaan saling berpandangan. Mereka bingung dengan apa yang harus mereka katakan pada putri mereka. Mereka hanya diam dan menunduk.

"Sebaiknya kau membersihkan dirimu, Sophie. Kau terlihat menjijikkan!" cerca Liesbeth.

"Dengan hanya melihatku saja, Mama merasa jijik, apalagi para lelaki di luar sana," balas Sophie lalu pergi meninggalkan kedua orang tuanya.

Lagi-lagi Liesbeth dan Sebastiaan hanya berpandangan saja, tak tahu apa yang harus mereka lakukan saat ini. Mereka kesal, tetapi tak bisa berbuat banyak. Mereka tahu bahwa Sophie akan semakin bersikap menyebalkan jika mereka melawannya.