Mata Avreda membelalak lebar, dan mulutnya menganga. Tangan kanan wanita itu, berusaha tutupi suara pekikan kecil yang lolos dari bibirnya.
Bagaimana tidak? Seorang gadis berpakaian kurang bahan-dada bulat putihnya terekspos hampir tujuh puluh persen. Ber-make up tebal, high heels tinggi berukuran sekitar 17-an cm, berdiri nyalang di hadapan wanita konservatif berumur hampir setengah abad tersebut.
Gadis berambut blonde, dengan freckless di pipi itu, memandanginya dari atas ke bawah dengan tatapan memicing.
"Tolong panggilkan majikanmu! Katakan padanya kalau Nona Sabrina mantan pacarnya datang!" seru si gadis dengan tidak menunjukkan sedikitpun rasa sopan.
"Siapa yang kau sebut dengan majikan?" Avreda menatap gadis bermata biru kehijauan tersebut dengan tajam.
"MAXIME ANTERIOS!Siapa lagi? Dia pemiik bengkel dan rumah ini 'kan?" sungut Sabrina.
Seandainya gadis itu cukup pintar, pasti ia dapat membaca situasi apa yang akan dia hadapi. Sayangnya tidak semua gadis cantik berotak waras dan cemerlang.
"Cepat panggilkan dia!" bentaknya.
Avreda menahan amarah dengan tangan mengepal. Ingin sekali rasanya ia melempar gadis itu ke dalam kolam, untuk membasuh make up tebal yang menempel di mukanya.
"Baiklah, jika kau tak mau! Aku akan masuk saja! Permisi!"
Baru beberapa langkah gadis itu masuk, dia langsung bertemu Dean.
"Hei Dean, apa kabar? Di mana Maxime?" Lelaki yang sedang menggunakan mesin penyedot debu itu tak dapat mendengar panggilan Sabrina.
Merasa tak digubris, gadis itu menepuk bahu Dean dengan kasar.
"DEAN!"
Dean menoleh, lalu terjingkat. Matanya memandang Sabrina dan Avreda secara bergantian.
"DIMANA MAXIME?" teriak Sabrina.
Dean dengan tubuh kaku dan lidah kelu, ia tak tahu harus menjawab apa. ia tahu betul kalau Avreda sedang menahan letupan kemarahan di belakang Sabrina.
"Dean, dimana Maxime?" tanya Avreda penuh penekanan, hingga giginya bergemeretak.
"I-ibu, d-dia-"
"Ohhh ... jadi dia ibumu?" Sabrina melongo.
"Kukira dia pembantu baru?"
Dean terkesiap, ia dengan susah payah menelan ludah. Paham akan perang dunia yang mungkin akan segera terjadi di rumah ini.
"D-dia ini-" Dean coba menjelaskan akan tetapi Sabrina menyela pembicaraannya. "Aku tahu dia ibumu. Tolong cepat panggilkan Maxime, aku mau mengambil beberapa pakaian dalamku yang ketinggalan di kamarnya ... "
Mata Avreda semakin melebar mendengar ucapan Sabrina yang tentu membuatnya marah besar dan syok.
"Dean!Panggilkan anak itu sekarang! Mau kabur kemana dia?" geram Avreda.
Sabrina menoleh kepada wanita itu, "bi santai saja, aku hanya ingin mengambil pakaian dalamku. Aku akan langsung ke kamarnya saja, aku tahu dimana ia menyimpannya." Sabrina berbalik, dengan congaknya ia berjalan susuri tangga ke lantai dua.
"Mati kau Maxime!" gumam Dean dalam hati.
Perang dunia akan segera pecah,Maxime pasti akan mati di tangan ibunya.
Kedua orang tersebut- Avreda dan Dean, mengikuti Sabrina ke kamar Maxime.
"Kalian kenapa mengikutiku?" tanya Sabrina saat sadar kalau kedua orang itu membuntuti langkahnya.
Serempak Dean dan Avreda menggeleng pelan, Dean dengan wajah takutnya, sedangkan Avreda dengan wajah memerah yang menandakan kalau aliran darah ke kepalanya sedang mengalir lebih cepat dari biasanya.
Sabrina hentikan langkah di depan pintu kamar Maxime yang bercat putih.
Sebelum mengetuk, Sabrina menoleh kepada dua orang itu lagi. "Kenapa kalian masih disini?"
"K-kami hanya ingin membantumu," jawab Dean asal serta senyum kaku yang dipaksakan.
Avreda memasang senyum kali ini, senyum seekor singa yang siap menerkam mangsanya.
Tok ... tok ... tok ... tok ...
"Maxime ... apa kau di dalam?"
Sabrina mengetuk pintu, namun tak ada sahutan. Hanya kesenyapan yang menjawab.
"Biar kubantu kau untuk mengetuknya," tawar Avreda.
"Silakan," jawab Sabrina lalu mundur beberapa langkah.
"MAXIME!!" pekik Avreda lantang, dan ia tak hanya mengetuk tetapi lebih ke menggebrak pintunya.
Ia memutar kenop pintu dengan kasar, tapi sialnya Maxime telah menguncinya dari dalam.
"BUKA!" teriaknya lagi.
"MAXIME ANTERIOS!Aku bersumpah demi Tuhan akan mencincang dan menjadikan dagingmu ham untuk makan siang besok, jika kau tak segera membuka pintu kamarmu. SEKARANG!"
Sabrina dan Dean meringis sendiri mendengar ancaman Avreda yang mengerikan.
Avreda dengan penuh emosi terus menggebrak pintu dengan kasar. Pelan-pelan Sabrina meringis mundur.
"Maxime!!"
"Buka pintunya sekarang! Mantan pacarmu ingin mengambil pakaian dalamnya!"
"Dean apa kau bisa menolong Ibu?" Avreda menatap pada Dean dengan penuh pengharapan.
Tanpa perlu aba-aba, Dean sudah mengerti apa masksud Avreda. Ia segera mengambil ancang-ancang untuk mendobrak pintu kamar Maxime, "maafkan aku, sobat," gumamnya dalam hati sesaat sebelum menghempaskan tubuhnya ke pintu.
Postur Dean yang tinggi besar membuat pintu yang tadinya terkunci itu seketika terbuka dengan paksa. Meski setelah melakukannya ia akan merasakan lengan kirinya kebas untuk beberapa saat.
Kamar tampak lengang, tak ada tanda-tanda kehadiran Maxime. Akan tetapi pintu kamar mandi tertutup rapat. Avreda yang hampir kehilangan seluruh kesabarannya langsung menggebrak pintu tersebut dengan keras.
"Keluar Maxime!"
"Bibi ... kau tidak perlu memanggil dia. Aku sudah tahu dimana dia biasa menyimpan pakaian dalamku," celetuk Sabrina yang tetap terlalu bodoh untuk membaca situasi darurat yang sedang terjadi.
Sabrina langsung menuju sebuah nakas kecil yang berada di sebelah lemari baju milik Maxime. Dia menarik salah satu laci, dan mulai membuka sebuah kotak berwarna pink yang berisi berbagai benda miliknya.
Mata Avreda serasa ingin lepas dari tempatnya saat melihat apa isi dari kotak berwarna pink tersebut.
Semua benda di dalamnya berwarna pink, lingerie, celana dalam, lipstik, bra dan sebuah vibrator berwarna serupa.
"Terima kasih atas bantuan kalian. Katakan pada pengecut itu, kalau semua barang-barangku telah kubawa," lirih Sabrina menampakkan wajah sedih. Gadis itupun meninggalkan Avreda yang hampir terkena serangan jantung, serta Dean yang meringis karena membayangkan segala kemungkinan yang akan terjadi pada Maxime setelah ini.
"I-ibu-"
"Diam Dean! Kau tak perlu membelanya lagi. Aku sudah tahu semuanya, sebaiknya tutup mulutmu atau aku akan mencincangmu juga!" semprot Avreda dengan suara lantang dan amarah yang meledak-ledak.
Avreda tak berhenti di sana, kini ia mulai melakukan sweeping terhadap kamar Maxime. Ia membuka semua lemari dan laci nakas di sana. Namun, wanita itu tak temukan apa-apa lagi.
Dean masih berdiri diam di ambang pintu,tanpa tahu harus melakukan apa untuk menyelamatkan sahabatnya.
Dalam hati, ia terus berdoa agar Avreda tidak menemukan kardus yang Maxime sembunyikan di bawah ranjang.
"Dean, aku tahu, kau pasti tahu tentang sesuatu. Misalnya dimana Maxime menyembunyikan 'aib'nya?" Avreda mendekat pada Dean dengan tatapan dan nada suara mengintimidasi.
"T-tidak Ibu-"
"Jangan berbohong, Dean!" sela Avreda cepat.
"Kau jangan terus-terusan membela sahabatmu itu. Lihat betapa pengecutnya dia." Avreda menunjuk ke arah kamar mandi.
"Dia bahkan tak berani menghadapi masalahnya, dan lebih memilih bersembunyi disana seperti seorang pengecut!" pekik Avreda yang batas kesabarannya sudah menyentuh maksimal.
Siapakah pemenang dalam perang ini?