Namaku Baron. Aku adalah seorang anak laki-laki kelas lima SD. Aku hidup bersama Ibuku, sedangkan Ayahku sudah lama tidak pernah menunjukkan batang hidungnya maupun lembar bibirnya kepada kami.
Aku dan Ibu hidup di sebuah rumah kecil peninggalan nenek. Hidup kami sederhana dan bahagia. Karena tidak ada Ayah, dari Senin sampai Sabtu Ibu bekerja mencari uang. Ibu bekerja menjaga sebuah toko roti milik Nyonya Siti tak jauh dari rumah. Sedangkan aku membantu Ibu mendapatkan uang tambahan pada hari Minggu, dengan berkeliling kota berjualan roti-roti kering yang diberikan oleh Nyonya Siti, hasil berjualanku kemudian akan di bagi dua.
Orang-orang sering memanggilku Anak Roti atau Anak Tukang Roti, meskipun aku bukan anak dari sebuah roti, aku juga bukan anak dari tukang roti.
Ibu selalu bilang untuk tidak mendengarkan olok-olokan orang lain. Ibu khawatir jika aku akan menjadi sedih dan menangis.
Akan tetapi aku tidak pernah sedih. Selama aku hidup bersama Ibuku yang pekerja keras dan selalu tersenyum, aku tidak akan pernah kehilangan semangat.
Membayar iuran sekolah itu memang berat, terlebih aku tanpa sengaja masuk ke dalam sebuah sekolah negeri elit dengan biaya yang mahal, tetapi di sekolah itu aku bertemu dengan Ade yang kini menjadi sahabatku.
Ade adalah anak pintar, terlihat jelas dari kacamata kotak yang selalu terpasang di wajahnya. Akan tetapi Ade itu lemah dan cengeng, ia selalu menjadi bulan-bulanan anak-anak kelas enam yang nakal. Disitulah peranku menjadi terang, aku akan selalu melindungi Ade sahabatku.
"Apa kamu tidak pernah kangen ayahmu, Ron?" tanya Ade di suatu sore di teras rumahnya yang berlantai keramik. Karena dingin, aku menjadi suka untuk berbaring sampai lupa waktu.
"Ayah? Aku bahkan tidak tahu bagaimana wajahnya," jawabku. "Dan jika aku tanya ibu apakah ayah masih hidup atau sudah mati? Ibu malah marah, aneh sekali! Jadi kesimpulanku ayah belum mati. Tapi kenapa dia tidak pulang?"
"Apa kamu tidak penasaran? Mau aku bantu untuk mencari tau?" Ade mendekatiku.
"Tidak tau deh, De." jawabku lesu. "Aku lebih kepikiran soal PR matematika yang diberikan Bu Nur kemarin."
"Aku juga."
Tante Desi, Ibunya Ade datang dari dalam rumah membawa nampan. Di atas nampan terdapat sepiring biskuit merek biskawat.
"Di makan ya, Nak Baron!" sapanya ramah. "Ini cemilan sisa lebaran." Ia tertawa sembari masuk ke dalam rumah.
"Kau tau Baron?" ucap Ade yang tidak menoleh sedikitpun ke arah biskuit, padahal aku sangat ingin memakannya, tetapi aku malu jika harus mengambil biskuit itu lebih dulu darinya.
"Apa?"
"Aku nanti akan tanya-tanya sama Bapak, siapa tau dia kenal dengan Ayahmu!"
"Ide bagus." jawabku, yang masih serius memerhatikan biskuit itu. "Ini sudah hampir maghrib, aku pulang yah?"
"Oke, jangan lupa besok hari Minggu, setelah jualan kamu datang ke rumah ya!"
"Oke, De." jawabku sembari berdiri. "Aku minta biskuitnya satu ya?"
"Ambil aja semua, dasar pemalu!" Ade menertawaiku lalu memberikan sepiring biskuit yang ku sambut dengan kedua tangan yang lapang
Seperti janjiku pada Ade, seusai berjualan aku langsung datang ke rumahnya. Ade adalah anak orang kaya. Rumahnya besar bertingkat dan memiliki halaman yang luas. Di teras rumahnya yang dekat dengan pohon rambutan yang rindang, kami sering mengobrol berdua. Biasanya, yang kami obrolkan itu tentang kartun-kartun keren di TV, seperti ninja atau alien, atau koboi, tetapi hari ini kami akan berbincang tentang siapa Ayahku sebenarnya.
"Kemarin waktu makan malam, aku bertanya kepada Bapak tentang Ayahmu," mulai Ade secara perlahan. "Bapakku bilang, Ayahmu itu jarang bergaul."
"Hm, sangat bisa di tebak."
"Tapi yang dia tau, Ayahmu adalah seorang penjelajah atau petualang atau pencari harta karun atau apalah itu, keren kan?" sebut Ade dengan mata berbinar. "Kadang Ayahmu pergi berbulan-bulan, lalu kembali dengan sekarung barang-barang antik yang berkilau. Tapi sayang, Ayahmu tidak kembali lagi sejak pergi tujuh tahun lalu. Mungkin ia tersesat atau sesuatu telah terjadi, yang menyebabkan dia menghilang."
"Pada saat aku berumur lima tahun, Ayah pergi meninggalkan aku dan Ibu."
"Begini," sambung Ade. "Menariknya, Bapak bilang di dalam rumahmu pasti banyak barang-barang antik prasejarah yang berharga!"
"Di dalam rumah? Rumahku kecil dan reot, De. Aku tau tiap sisi rumahku, aku tidak pernah melihat barang antik apapun di dalam rumah," ketusku.
"Coba pikir lagi, Baron! Pasti ada satu tempat, tempat dimana barang-barang antik itu di simpan sebab Bapakku tidak mungkin bohong," ucap Ade dengan dahi bergaris mencoba meyakinkanku.
Aku menepuk jidatku secara tiba-tiba.
"Jangan-jangan!"
"Ada kan?" riang Ade yang kian bersemangat.
"Aku selalu curiga dengan lantai kayu berdecit di dapur. Setiap kali aku atau ibu menginjaknya, ia selalu berdecit kik-kik-kik.
"Kadang aku merasakan sedikit angin yang meniup dari bawah, seolah-olah ada sebuah ruangan dibawahnya!"
"Itu pasti..." sebut Ade gemetaran. "Ruangan rahasia ayahmu, Baron!"
"Tidak mungkin!"
"Kita harus kesana sekarang juga!"
"Tunggu, tunggu dulu, De!" aku menarik bahu Ade yang sudah terlanjur meluncur keluar teras. Ade terpelanting dan kepala belakangnya menghantam tanah.
"Aduh, tunggu apa lagi?"
"Ini adalah hari Minggu, Ibu ada di rumah karena libur bekerja. Selama ini Ibu selalu menutup-nutupi tentang Ayah kepadaku, ia juga pasti menutup-nutupi tentang ruangan rahasia itu dariku. Tidakkah kamu mengerti, De? Ibuku tidak boleh sampai tahu tentang rencana kita atau dia pasti akan menghentikan kita! Kita tunggu sampai hari Senin, saat Ibu sedang bekerja. Tepat saat pulang sekolah kita akan ke rumahku."
Begitulah kami melambaikan tangan kembali. Malam berjalan amat lambat di kala aku menunggu pagi untuk datang. Aku sulit untuk tidur.
Esok hari saat sampai di sekolah, aku melihat wajah ngantuk Ade di lapangan upacara. Sepertinya Ade juga sulit untuk tidur semalam.
"Ibumu berangkat kerja kan?" sapanya kepadaku.
"Pasti, Ibu adalah wanita pekerja keras," jawabku.
Ade tersenyum, aku balas senyumannya. Aku tau dalam pikiran kami sama, kami berharap agar dapat cepat pulang dan bergegas menemukan ruangan rahasia Ayah.
Matahari terasa menyengat siang ini. Aku dan Ade berlari keluar dari dalam kelas. Menghampiri sepeda model terbaru lengkap dengan enam gigi kecepatan dan spakbor depan yang modern serta bentuk yang dinamis. Aku selalu mimpi untuk memilikinya!
Tanpa mampir ke rumah Ade, kami langsung menerobos angin menuju ke rumah kecilku. Seperti biasa dengan gerakan kaku aku mengambil kunci pintu rumah yang selalu disembunyikan Ibu di bawah pot bunga.
"Ayo, masuk!" ajakku.
Sorotan cahaya matahari masuk menembus celah kecil genting atap rumahku. Ade terlihat heran memerhatikannya, rumahku dan Ade perbedaannya terlalu jauh.
"Ayo Ade cepat!" ajakku lagi.
"Ini dia, lantai kayu berdecit yang aku bilang."
Kami berdiri tepat di atasnya. Ade mengangkat kedua kakinya bergantian, mengangguk dan tersenyum ketika lantai mengeluarkan suara decitan.
"Bagaimana cara kita membuka lantai ini?"
"Kita bukan membuka, kita mencongkel!" tegasku dengan tangan terkepal.
Ade mundur beberapa langkah ketika aku datang membawa sebuah linggis besar.
Aku tusukkan ujung linggis di celah sempit lantai papan kayu yang berapitan, kemudian aku alihkan berat tubuhku ke pangkalnya sehingga terangkat. Bunyi decitan yang khas semakin keras. Aku memaksanya terbuka dengan mengerahkan seluruh tenaga.
Menyemburlah kumpalan debu-debu yang langsung terbang seketika saat petak lantai kayu, yang ternyata adalah sebuah pintu rahasia, membanting terbuka. Sekilas seolah-olah cahaya terang keluar dari baliknya.
Aku menatap Ade yang sedang batuk akibat menghirup debu. Saat kedua tatapan kami bertemu, kami tau bahwa kami telah berhasil menemukan ruangan rahasia Ayahku.