Chereads / BARON / Chapter 2 - 2

Chapter 2 - 2

Partikel-partikel debu perlahan menipis. Garis cahaya matahari kecil menembus kumpalan debu, masuk ke dalam gelapnya ruang rahasia itu.

"Ada sebuah tangga," ucapku kepada Ade yang masih duduk diam dengan wajah terkejut.

"Tangga?" Ade bergegas merangkak ke sampingku yang berada tepat di hadapan pintu menuju ruangan rahasia. "Tangga menuju ke bawah, tapi ruangan di bawah situ gelap sekali. Menurutmu bakal sedalam apa, Ron?" kata Ade sembari gemetaran.

"Uh, jangan berpikiran yang tidak-tidak, De! Dasar penakut, kamu tunggu dulu disini ya, aku akan turun ke bawah," ucapku sambil menyalakan sebuah lilin lalu bersiap-siap menurunkan kakiku untuk menginjak anak tangga yang terbuat dari bambu.

"Hati-hati, tidak ada jebakan atau semacamnya kan?" sebut Ade yang ku dengar mulai samar seiring aku turun semakin dalam.

Ruangan ini terasa amat kering dan berdebu. Sering kali laba-laba kaki panjang berlarian saat aku tidak sengaja menghancurkan rumah mereka.

"Maaf," ucapku pelan.

Aku tanam kakiku di lantai ruangan rahasia Ayah. Aku coba untuk melihat seluruh isi ruangan dengan hati-hati. Rak-rak kayu berderet, menampilkan benda-benda antik nan unik.

"Kamu gak mau masuk, De? Aman kok cuma banyak laba-laba!" panggilku kepada Ade.

"Tu-tunggu ya!" balasnya.

Ade turun terburu-buru, tadi saat berada di atas dia ketakutan untuk turun ke bawah, sekarang dia seperti ketakutan sendirian di atas.

"Wow, Bapakku benar! Ayahmu punya banyak barang-barang antik," ujarnya. "Lihat! Mainan kuno berbentuk gajah, uang koin jaman dahulu, sebuah taring besar, sepatu berukuran kaki raksasa!"

Ade berputar-putar mengelilingi ruangan bawah tanah yang tidak terlalu besar ini. Ia tampak takjub dengan semua barang-barang milik Ayahku.

"Baron, lihat!" serunya memanggilku.

"Apa?"

"Itu apa?"

Sebuah benda berbentuk oval yang terbuat dari perak sebesar kepalan tangan menarik perhatian kami. Benda tersebut memiliki corak yang belum pernah aku lihat dimanapun. Ada sebuah lingkaran di bagian atasnya, dan lingkaran tersebut memancarkan cahaya sayu berwarna biru.

"Woa..."

Belum sempat kami berkata-kata, seseorang terdengar mengetuk pintu rumahku.

"Baron!" sahutnya.

"Itu Ibu!" ujarku kepada Ade. "Tumben sekali dia pulang jam segini, gawat, ayo buruan naik!"

Kami berdua menaiki tangga dengan terburu-buru, lalu menutup pintu rahasia di lantai dapur dan mengembalikan linggis ke tempatnya semula. Aku tidak tau apakah Ibu tau tentang ruangan rahasia Ayah atau tidak, tetapi perasaanku mengatakan bahwa Ibu tidak boleh tau kalau aku menemukannya.

"Baron!" panggil Ibu sambil ketuk-ketuk pintu.

Segera aku membuka pintu. Tampak wajahnya sedikit kesal lalu sekejap tersenyum saat ia melihat wajahku.

"Lama sekali nak, kamu lagi ngapain?" tekannya kepadaku.

"Em, anu..." jawabku bingung.

Aku tidak tahu harus menjawab apa, tetapi mata Ibu yang beralih ke wajah Ade menyelamatkanku.

"Aku lagi main sama Ade, hehe."

Ade langsung mencium tangan Ibuku.

"Oh," jawab Ibu tersenyum. "Ibu hari ini pulang cepat. Kalian sudah makan? Ibu buatkan telur goreng, yah?" ujarnya sembari masuk ke dalam rumah.

Saat itu tiba-tiba benda oval misterius yang berada di dalam kantung celana Ade mengeluarkan cahaya biru terang menembus celananya. Aku cemas Ibu akan menanyakannya jika ia melihat. Aku segera menarik Ade keluar dari rumah.

"Tidak usah, Bu! Aku mau main sama Ade, dadah!"

Aku dan Ade berlari secepat mungkin. Meninggalkan Ibuku dengan kepala keluar dari pintu dan melihat kami dengan bingung.

"Kita harus mencari tempat yang aman, De!" gagasku. "Lihat, noh! Cahayanya semakin terang."

"Setuju!" Ade mengangguk. "Ayo kita ke kamarku, kita kunci saja pintu kamarku dari dalam, jadi jika ada yang mau masuk mereka akan mengetuk terlebih dahulu. Itu akan memberikan kita waktu yang cukup untuk menyembunyikan benda kecil ini."

"Ide bagus," balasku. "Tapi kalau kita masuk seperti biasa dari pintu depan, Ibu dan Bapakmu pasti akan melihat cahaya biru yang keluar dari dalam celanamu, De! Lihat! Bahkan seolah-olah celanamu nampak terbakar."

"Kita masuk dari jendela saja. Aku sudah mempersiapkannya untuk saat-saat seperti ini. Aku tahu cara membuka jendela kamarku dari luar!" ucap Ade sambil sok keren dan tersenyum tipis seolah-olah ia adalah seorang agen rahasia atau mata-mata.

"Yah, terserah kamu saja deh!" kataku sambil mengangkat kedua bahuku.

Kami masuk mengendap-endap di halaman rumah Ade, berputar ke belakang dan memasuki kamarnya melalui jendela seperti kawanan pencuri.

Saat sudah berada di dalam kamarnya, Ade langsung merogoh kantungnya.

Ia tunjukkan kepadaku benda oval tersebut di atas kedua telapak tangannya.

"Benda ini bisa saja menjadi petunjuk tentang keberadaan Ayahmu, Baron," ucap Ade.

Aku mengangguk.

Beberapa menit kedepan kami diam. Tidak berbincang mengenai apa-apa. Kami berdua terpaku terhadap cahaya biru yang keluar dari dalam benda itu.

"Aku masih belum mengerti, meskipun aku berpikir keras," ujarku. "Apa fungsi dari benda ini?"

"Itulah yang dari tadi juga aku pikirkan," balas Ade sembari membanting bokongnya untuk duduk di atas kasur. "Sepertinya aku harus pinjam hp Bapak untuk buka internet. Kamu tau kan aku belum boleh punya hp, payah banget!"

"Tapi kalo kamu pinjam hp Bapakmu, dia pasti melihat apa yang sedang kamu cari di internet!"

"Aku akan memikirkan caranya agar tidak ketahuan Bapak. Benda ini untuk sementara aku simpan dulu. Demi mengungkap rahasia tentang siapa sebenarnya Ayahmu dan mengapa dia menghilang, aku akan menjaganya." Kali ini Ade berbicara bak seorang detektif ulung.

"Terserah kamu saja deh, De!" balasku. Kemudian aku berpamitan dengan Ade. Kami berjanji akan bertemu lagi esok pagi di sekolah, lalu pulang sekolah kami akan membahas tentang benda oval misterius itu lagi.

Setelah itu aku memanjat jendela Ade keluar dan dengan mengendap-endap pergi dari rumahnya.

Aku sudah tiba di rumah, namun Ade di kamarnya dengan cahaya biru benda misterius yang semakin menyala, melamun memerhatikannya.

Benda itu memenuhi isi kepala Ade. Saat malam tiba, Ade tau fungsi dari benda tersebut. Cahaya biru itu selalu mengarah ke satu tempat, tidak peduli jika Ade memutar-mutarnya. Ade tidak sabar untuk bertemu kembali denganku dan memberitahuku.

Di sekolah Ade menahan dirinya untuk tidak mengatakan apapun tentang benda tersebut, sebab Ade tidak ingin konsentrasi belajarku menjadi terganggu.

Ketika lonceng pulang berbunyi, Ade langsung menarik tanganku.

"Aw, sakit tau pelan-pelan!"

"Aku tahu! Aku tahu!" pekiknya.

"Pelan-pelan, De!"

"Ayo, kamu harus ke kamarku sekarang juga, aku tahu!"

Kali ini aku masuk ke dalam rumah Ade melalui pintu depan. Setelah mencium tangan Ibu dan Bapaknya, aku izin untuk ikut masuk ke dalam kamar Ade.

"Aku tau fungsi dari benda ini, Baron," ucapnya serius.

Aku terdiam.

"Kalau siang hari, memang tidak kelihatan. Tapi di malam hari sangat terlihat jelas. Cahaya biru itu seperti laser. Cahaya biru itu mengarah ke puncak gunung!" Ade berjalan perlahan mendekati jendela kamarnya, membuka jendelanya, lalu menunjuk ke arah bayangan gunung yang tinggi. "Benda ini adalah sebuah penunjuk arah!"

"Woa.... Apakah itu berarti Ayahku berada di sana?"

"Aku tidak tau."

"Tapi kalau dia berada di puncak gunung, kenapa dia tidak pulang?"

"Aku tidak tau, untuk mendapatkan jawabannya kita harus ke sana, Baron. Tapi sebelum itu, kita harus mencari petunjuk lagi. Petunjuk yang kuat selain benda ini."

"Hm, benar," balasku. "Ayo kita ke rumahku lagi!"